HANYA KAMU

Mata Ily mengejap, kepalanya terasa pusing dan tubuhnya kaku. Perlahan dia membuka mata dan merasakan tangan kekar memeluk tubuhnya dari belakang. Ily melihat dirinya sendiri, hanya tertutup selimut putih tipis. Ily merasakan punggungnya hangat karena kulitnya bersentuhan dengan kulit seseorang di belakangnya. Ily tahu jika orang itu Al, karena dari kamar yang tak akan pernah dia lupakan. Ily berusaha melepas pelukan Al, tetapi justru Al lebih mengeratkan pelukannya.

"Lepasin tangan lo atau gue gigit?" Ily meronta, Al tak menggubrisnya.

"Ck! Stop, Sayang, semakin kamu meronta, kamu membangunkan makhluk kecil di bawah sana," ujar Al tanpa membuka matanya. Ily menghentikan gerakannya.

"Lepasin tangan lo. Namanya, ini lo memperkosa gue!" kata Ily mencoba melepaskan tangan Al dari dadanya.

"Idiiihhhh mana ada sih, Yang, diperkosa sampai minta lima ronde. Udah, tidur lagi. Capek tahu, Yang. Kamu mainnya buas banget kalau lagi enggak sadar. Terkuras nih tenagaku," jawab Al santai semakin mengeratkan pelukannya.

"Apa!" Ily terkejut menoleh ke belakang melihat Al yang masih menutup mata.

"Ck! Sssssstttt," decak Al membalikan tubuh Ily lalu membuka mata dengan senyum termanisnya.

"Masih pagi jangan teriak-teriak," ucap Al mencium singkat bibir Ily.

"Apaan sih lo, lancang banget cium-cium gue." Ily mendorong tubuh Al. Namun, sia-sia tubuh Al lebih kukuh dari tenaganya.

"Kalau kamu masih pakai lo-gue, aku perkosa kamu."

Ck! Dasar remaja, pikirannya masih labil dan mudah sekali dihasut.

"Kamu sudah tidak marah kan, sama aku?" tanya Al hati-hati dan lembut sambil tangan menggerliya di tubuh Ily.

"Tergantung."

"Tergantung gimana?" tegas Al untuk mendapatkan jawaban yang jelas dari Ily.

"Kalau kamu masih dekat dengan si Nissa itu, lebih baik kamu jauhin aku," jawab Ily menghentikan cumbuan Al. Ily membuka matanya menatap Al yang ternyata sedang menatapnya.

"Enggak bisa, Sayang. Dia kembali ke sini untukku dan ...."

"Ya sudah, jauhi aku dan hubungan kita sudahi saja sampai di sini. Aku enggak mau jadi yang kedua atau jangan-jangan kamu jadiin aku yang ktiga, keempat, kelima, ke---" Belum juga Ily menyelesaikan ucapannya, Al sudah membekap mulut Ily dengan bibir. Al memagut hingga Ily terbuai dengan ciuman panas itu. Perlahan Al melepas ciumannya.

"Jangan bicara seperti itu lagi. Aku tidak suka. Cuma kamu sekarang yang menjadi pacarku. Soal Nissa, dia kembali karena ada sesuatu," jelas Al mengangkat Ily agara diterungkapkan di atas tubuhnya.

"Apa sesuatu itu?" tanya Ily memainkan kalung Al.

"Dia dari dulu mengidap kanker paru-paru. Dia pergi bersama orang tuanya untuk kemoterapi di Singapura. Dia mengidap kanker paru-paru stadium akhir. Kata dokter, dia tidak bisa bertahan lama. Makanya dia pulang ke Indonesia ...."

"Biar bisa dekat dengan kamu, kan?" sahut Ily cepat sebelum Al menyelesaikan ucapannya. Al mengangguk.

"Itu artinya aku harus rela berbagi kamu dengannya?"

"Bukan aku yang dibagi, tetapi waktuku yang terbagi," jelas Al cepat agar Ily tidak salah paham lagi.

"Yang penting tidak cintamu yang terbagi dua," ujar Ily menidurkan kepalanya di dada bidang Al.

Al terdiam memikirkan ucapan Ily barusan. Dia harus bisa menjaga hatinya saat berdekatan dengan Nissa, apalagi Al masih memiliki secuil perasaan pada Nissa. Al mengeratkan pelukannya dan menutupi tubuh naked mereka dengan selimut.

"Honey," panggil lirih Ily.

"Hhhmmmm," jawab Al sambil menutup mata.

"Kita enggak masuk sekolah?" tanya Ily lalu Al membuka matanya menoleh ke kalender yang ada di nakas.

"Tanggal merah, Sayang," jawab Al lalu Ily mengangguk paham.

Saat mereka baru saja memejamkan mata, ponsel Al berdering tanda panggilan masuk. Al menggapai ponselnya di nakas tanpa menurunkan Ily. Al melihat layar flat itu lalu menatap Ily.

"Siapa?" tanya Ily penasaran.

"Nissa," jawab Al hati-hati takut Ily marah. "Aku angkat boleh?" Al meminta izin lalu dijawab Ily dengan anggukan yang tidak ikhlas. Al menghela napasnya panjang lalu menggeser tombol hijau.

"Halo, ada apa, Sa?" tanya Al mengeratkan pelukannya pada Ily.

"...."

"Kalau agak siangan gimana? Aku masih ada urusan," jawab Al melirik Ily yang sudah mengerucutkan bibirnya.

"...."

"Iya, tunggu aku, sejam lagi sampai," jawab Al lalu memutus sambungannya.

Al melempar ponselnya ke tempat tidur, lalu menggulingkan Ily ke samping dan menindihnya. Ily masih saja mengerucutkan bibir, mengalihkan pandangannya.

"Hei, kamu harus belajar sabar dan mencoba mengerti dengan keadaan ini. Cuma kamu yang bisa memahami situasi ini. Beri aku waktu, Sayang. Maaf, jangan berpikir aku mempermainkanmu. Aku hanya ingin memberikan apa yang dia inginkan sebelum dia benar-benar pergi," ujar Al sambil mengangkat dagu Ily.

"Janji jangan menyentuh dia dan jangan cium-cium dia," ucap Ily manja.

Jujur saj, ada perasaan tidak rela di hati Ily, jika harus membagi waktunya dengan Nissa apalagi membagi Al-nya dengan orang lain.

"Iya, Sayang, janji!" Al mengangkat dua jarinya membentuk huruf 'V'.

Al tersenyum manis lalu menyerbu bibir Ily, pada akhirnya pagi menjelang siang itu mereka kembali melakukan itu lagi. Setelah mereka membersihkan diri, Al mengantar Ily pulang ke rumahnya, sedangkan Al segera melajukan mobilnya ke rumah Nissa. Sesampainya di rumah Nissa, Al disambut hangat kedua orang tua Nissa.

"Nak Al, sudah datang? Mau antar Nissa ke rumah sakit, ya?" tanya ayah Nissa yang melihat Al masuk ke rumah.

"Iya, Om," jawab Al sopan.

"Hai, Beb?" sapa Nissa ceria lalu bergelayut manja di lengan Al. Seketika pikiran Al melayang mengingat janjinya kepada Ily, yang baru saja dia ucapkan.

"Berangkat sekarang saja, ya?" ajak Al melepas tangan Nissa perlahan dari lengannya.

"Oke," jawab Nissa riang dan lebih bersemangat.

Orang tua Nissa melihat anaknya bersemangat berobat menjadi ikut bahagia. Ini semua berkat Al.

"Om, Tante, berangkat dulu, ya?" pamit Al mencium tangan kedua orang tua Nissa. Walau bagaimanapun, Al adalah tamu mereka yang harus bersikap sopan.

"Iya, hati-hati ya, Nak Al?" pesan bunda Nissa.

"Iya, Tante," jawab Al lalu keluar dari rumah Nissa.

Pikiran Al selalu tertuju kepada Ily, walau di sampingnya ada Nissa,entah mengapa kata-kata Ily selalu membayanginya.

"Beb, kita habis ke rumah sakit jalan-jalan, ya?" ujar Nissa manja. Al hanya mengangguk dan tersenyum simpul.

Setelah mereka pulang dari rumah sakit, Nissa mengajak Al jalan-jalan di mal. Nissa selalu bergelayut manja di lengan Al. Dari kejahuan, Dion dan Briana melihat Al lalu menghampirinya.

"Hei, Brother Al," sapa Dion menepuk bahu Al dari belakang.

Membuat Al dan Nissa menoleh. Briana terkejut melihat wanita lain yang berjalan dengan Al. Wajah Briana seketika menjadi masam dan jutek melihat Nissa.

"Eh, kalian, berdua aja?" tanya Al kepada Dion.

"Iya, Bro." Dion melirik Nissa lalu berbisik ditelinga Al.

"Siapa dia?" tanya Dion pelan tepat di telinga Al.

"Temen," jawab Al berbisik, tetapi Dion tersenyum miring.

"Gue enggak akan segan-segan habisin lo kalau sampai lo mempermainkan Ily. Inget, lo sudah merusak anak orang dan lo harus bertanggung jawab apa pun itu risikonya." peringatan Dion tak main-main membuat Al berpikir keras.

"Ayo, Yang, kita pergi! Takut mengganggu yang lagi pa-ca-ran," ajak Briana menekan kata 'pacaran' sambil melirik tajam kepada Al. Dion dan Briana berlalu meninggalkan Al dan Nissa.

"Mereka siapa, Beb?" tanya Nissa menatap Al.

"Teman," jawab Al singkat dan memikirkan perkataan Dion tadi. "Udah ayuk! Mau ke mana lagi kita?" tanya Al yang terlihat gelisah.

"Kita makan, ya?" ajak Nissa menggandeng tangan Al mesra.

Pikiran Al berkecamuk. Hati tak tenang. Biasanya Al mengumbar kemesraan dengan Ily. Namun, kini bukan Ily yang mendampingi melainkan masa lalunya yang hadir kembali di saat dia sedang merasakan manisnya cinta.

Saat mereka sedang berjalan menuju salah satu restoran yang ada di mal itu, dada Nissa terasa sesak dan seketika tubuhnya lemas. Al menopang Nissa.

"Kita pulang saja, ya?" ujar Al lembut sambil memapah Nissa. Al hati-hati memapah Nissa ke parkiran.

Sampai di parkiran, Al membantu Nissa masuk ke mobil. Wajah Nissa terlihat pucat dan tubuhnya lemas. Al segera melajukan mobilnya pulang ke rumah Nissa. Sesampainya di pelataran rumah Nissa, Al mengangkat Nissa, membawanya masuk ke rumah.

"Nak Al, ada apa dengan Nissa?" tanya ayah Nissa khawatir.

"Tubuhnya melemah, Om," jawab Al buru-buru membopong Nissa naik ke kamarnya.

Al menidurkan Nissa di ranjang dan menyelimutinya. Saat Al ingin melangkah keluar, pergelangan tangan Al dicegah Nissa.

"Temani aku di sini, Al," ujar Nissa lemah. Al tak dapat menolaknya melihat kondisi Nissa seperti itu.

Al duduk di tepi ranjang lalu tersenyum manis ke arah Nissa. Al mengelus rambut Nissa dan mencium keningnya.

Janji jangan menyentuh dia dan jangan cium-cium dia.

Seketika kata-kata Ily menyadarkan Al. Al melepas bibirnya dari kening Nissa.

"Maaf," ucap Al gelagapan kepada Nissa.

"Kenapa harus minta maaf. Aku suka kamu lakukan itu," kata Nissa tersenyum manis.

Maafin aku, Sayang? kata Al dalam hati teringat Ily.

"Kamu sekarang tidur, ya? Aku temani kamu di sini." Al membenarkan selimut Nissa.

Nissa menggenggam tangan Al, dia menutup matanya. Al merasa gelisah, tidak tenang, memikirkan Ily. Al merogoh ponselnya dan mengetik pesan untuk Ily.

My Love

Sayang, kamu lagi apa?

Beberapa detik menunggu Al mendapat balasan.

Cintaku

Lagi tiduran, kepalaku pusing, Honey ....

Al khawatir lalu menatap Nissa yang terlihat sudah tertidur.

My Love

Tunggu aku, sebentar lagi datang ke rumah kamu.

Al menunggu dan tidak ada jawaban Ily. Perasaannya semakin tidak tenang. Perlahan Al melepas tangannya dari Nissa. Al beranjak pergi meninggalkan kamar Nissa dan berpamitan kepada orang tua Nissa. Al tergesa-gesa melajukan mobilnya untuk datang ke rumah Ily. Sesampainya di rumah Ily, Al segera masuk ke rumah dan berlari ke kamar Ily.

"Sayang." Al membuka pintu kamar Ily.

"Honey," rengekan Ily manja yang bergelut di bawah bed cover tebalnya. Al menghampiri dengan perarasaan khawatir lalu memegang kening Ily.

"Apa yang kamu rasakan, Sayang?"

"Kepalaku pusing dan mual."

Deg!

Perut mual? Perasaan Al seketika tidak enak. Ada rasa takut menyelimuti hatinya.

"Kita ke dokter, ya?" ajak Al segera mengangkat Ily.

Sepanjang perjalanan, pikiran Al kalut, sesekali melihat wajah Ily yang memucat. Ily seakan ingin mengeluarkan isi perutnya. Namun, tidak ada yang keluar saat dia berusaha muntahkan. Al mengusap punggung Ily lembut dan menyodorkan botol air mineral untuknya.

"Bertahan sebentar ya, Sayang? Sebentar lagi sampai," ujar Al, padahal perasaannya juga tidak tenang.

"Honey, apa aku ...?" Ily menatap Al.

"Ssssssttttt ... jangan mikir yang tidak-tidak. Kan, aku seringnya ngeluarin itu di luar, Sayang. Udah, kamu tenang aja, ya?"

"Tapi, aku takut, Honey?"

"Kalau sampai itu terjadi, aku siap tanggung jawab," jawab Al meyakinkan Ily walau sebenarnya dalam hati belum siap.

"Gimana sekolah kita?" tanya Ily mulai menangis. Al terdiam tak menjawab, dia fokus pada jalanan.

Sesampainya di rumah sakit, Al mengangkat Ily masuk ke ruang UGD. Al menemani Ily yang diperiksa dokter. Jantung Al berdebar, menunggu hasil dokter.

"Ada hubungan apa Anda dengan Nona ini, Mas?" tanya dokter membuat jantung Al semakin berdetak cepat dan bingung menjawab.

"Bisa kita bicara di ruangan saya?" ucap dokter itu lalu dijawab Al dengan anggukan.

Al menghampiri Ily, mencium kening dan mengelus pipinya lembut memberi ketenangan walau dirinya sendiri tidak tenang.

"Sebentar, ya? Aku nemuin dokter dulu?"

"Cepet, ya? Jangan lama-lama, aku takut," rengek Ily manja menggenggam tangan Al erat.

"Iya, Sayang, sebentar," ujar Al lalu melepas tangan Ily dan berlalu keluar dari ruang UGD.

Ily menunggu Al gelisah, tangan kirinya sudah tertancap jarum infus. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Al datang dengan wajah lesu dan berjalan gontai. Al menghampiri Ily lalu memeluknya erat.

"Maaf ...."

##############

Maaf untuk apa sih Al, kamu?

Makasih vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top