CEMAS BERLEBIHAN
Hujan deras tengah malam ini, Ily dan Al masih terjaga. Ily tidur bersandar di dada bidang Al sambil memainkan kalungnya. Mereka sama-sama disibukan dengan pikirannya masing-masing. Petir dan guntur terdengar menggelegar, Al tahu jika seperti ini, Ily sangat ketakutan, makanya dia tidak jauh dari Ily sejengkal pun.
"Yang."
"Iya," jawab Ily mendongak menatap Al yang menunduk, menatapnya.
"Kenapa belum tidur?" tanya Al lembut mengusap pipi Ily denggan punggung tangan.
"Aku takut, Honey, hujan di luar sangat deras dan petirnya juga bikin aku enggak bisa tidur," rengek Ily manja membuat Al gemas.
"Ih, kamu tuh, ya, udah ada aku di sini masih aja takut. Sudah tidur saja. Apa mau kita main kuda-kudaan dulu?" tanya Al menggoda Ily, menaik-turunkan kedua alisnya.
"Enggak nolak kalau kamu ajak," jawab Ily membuat tawa Al lepas memenuhi kamar sederhana mereka.
Al beranjak dari ranjang, mematikan lampu utama menggantinya dengan lampu tidur yang remang membuat suasana semakin mendukung untuk mereka melakukannya. Malam yang dingin diiringi air yang gemericik menjadi melodi ronantis. Al menghampiri Ily yang tidur terlentang, Al merebahkan tubuhnya di samping Ily. Al tersenyum, meraba bibir tipis Ily hingga si pemiliknya terpejam meraskan sentuhan lembut Al.
"I love you, Cabun," bisik Al pelan di telinga Ily lalu dia melancarkan aksinya.
Napas Al dan Ily sama-sama memburu. Al menjatuhkann tubuhnya di samping Ily lalu menoleh Ily yang masih mengatur napasnya. Saat Al baru saja memejamkan mata, suara telepon terdengar. Al tak menghiraukannya, tetapi Ily mengambil dan melihat peneleponnya.
"Honey, Supri menelpon. Angkat cepat, siapa tahu penting," perintah Ily lembut mengulurkan HP kepada Al.
Dengan malas Al menerima panggilan itu.
"Halo, ada apa, Pri?" tanya Al, mata masih terpejam.
"Mas, gelombang tinggi, kapal sandar di Lanal. Pelabuhan ditutup."
"Terus bagaimana keadaan barang-barang kantin? Masih aman?" tanya Al khawatir lalu duduk bersandar di kepala ranjang.
Ily yang sedang memakai dasternya, menjadi cemas mendengar percakapan suaminya itu. Ily bersandar di dada Al, memberi ketenangan. Dia menarik selimut untuk menutupi bagian bawah Al yang masih polos.
"Cuma barang yang ada di gudang Mas, sepertinya kemasukan air," jawab Supri membuat Al semakin cemas.
"Besok pagi aku naik ke kapal. Kamu selamatkan dulu barang yang bisa diselamatkan."
"Baik. Mas," jawab Supri lalu Al memutuskan panggilannya.
Al meletakan HP-nya di nakas lalu melihat Ily yang sudah melendot manja di dadanya.
"Apa kata Supri?" tanya Ily mendongak melihat Al yang tersenyum tipis.
"Masalah sedikit. Besok pagi aku naik ke kapal, ya? Kamu jangan bekerja apa pun dulu sampai nanti setelah melahirkan. Jangan bandel, kalau dibilangin nurut sama suami. Aku enggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenapa saat lahiran nanti. Aku mau kamu dan anak kita sehat," ujar Al mengelus rambut Ily.
"Iya, Honey, aku sementara ini juga sudah menolak pesanan. Padahal sudah mulai ramai orderan, sebenarnya saying, Honey, tapi aku juga enggak mau terjadi apa-apa sama anak kita."
"Aku mengizinkankanmu bekerja hanya untuk mencari kesibukan biar kamu enggak jenuh saat aku tinggal kerja. Mencari nafkah itu tugas utamaku, kamu hanya sekadar membantu," terang Al sambil menangkup kedua pipi Ily lalu mencium bibirnya singkat.
"Iya, Honey, tapi nanti kalau sudah melahirkan, boleh, ya, aku melanjutkan lagi? Sepertinya memasak sekarang menjadi hobi yang bermanfaat untukku, Honey."
"Tergantung situasi dan kondisi nanti. Aku enggak mau kamu terlalu sibuk terus melantarkan anak kita, loh, Yang. Jangan sampai anak kita kekurangan perhatian dan kasih sayang. Cukup kita yang merasakannya."
Peringatan Al dengan nada lembut.
"Iya, Honey, aku bakalan mengutamakan anak kita walau sesibuk apa pun kita nanti. Aku mau seperti Tante Mora, walau dia sama Om sibuk, tapi mereka eggak pernah menelantarkan Dia. Aku salut sama keluarga itu, Honey," ujar Ily membayangkan keharmonisan keluarga tante dan omnya.
"Kenapa kamu bisa salut sama mereka?" tanya Al yang sebenarnya di dalam hatinya juga merasakan hal yang sama seperti Ily. Hanya Al ingin tahu apa alasan Ily.
"Karena dulu, seingatku, Tante sama Om itu kawin lari, karena Oma sama Opa enggak menyetujui hubungan mereka. Opa sudah menjodohkan Tante sama anak rekan bisnisnya. Tapi, karena Tante cintanya cuma sama Om Choky, dia rela pergi meninggalkan rumah dan enggak dianggap anak lagi sama Opa, Oma," cerita Ily membuat Al tertarik mendengarnya.
"Terus gimana cara mereka mengambil hati kedua orang tua?" tanya Al antusias mendengarkan cerita Ily selanjutnya.
"Karena dulu Om sama Tante pulang, niat silahturahmi ke rumah Opa saat lebaran, mereka membawa Nidia yang masih kecil, imut-imut, dan gemesin. Awalnya mereka enggak menerima, tapi karena Nidia selalu menunjukan tingkah lucu dan polosnya, akhirnya hati semua keluarga luluh," terang Ily membuat Al semakin percaya diri jika suatu saat orang tuanya pasti bisa merestuinya.
Walau mereka tidak menganggap Al dan Ily, setidaknya mereka mau menerima anaknya nanti, Pikir Al.
"Sudah enak kita, Honey, dibantu Tante sama Om. Daripada mereka dulu enggak ada yang bantu dan membimbing. Mereka hidup di Bali tanpa sanak saudara, berjuang, merintis semua dari nol. Tapi bedanya, Om Choky sudah punya pekerjaan tetap, walau gaji belum seberapa, masih bisalah untuk mencukupi kehidupan mereka yang sederhana dulu," sambung Ily.
"Tapi Tante Mora seperti kamu, Yang. Ulet dan cerdas, enggak bisa melihat peluang sedikit yang nganggur langsung saja dia serobot. Aku kagumnya, walau dia sibuk, masih bisa mendidik dan merawatnya tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berhati mulia seperti orang tuanya. Aku menjadi malu jika sampai gagal. Aku harus membuktikan kepada Om dan Tante, berkat usaha mereka, aku bisa memegang dua usaha sekaligus walau dengan pendidikan yang rendah," ucap Al membayangkan semua yang sudah Mora dan Choky lakukan untuknya dan Ily.
"Iya, Honey, kita harus buktikan kepada mereka dan kita beli semua omongan orang-orang yang sudah menganggap kita rendah. Jangan kecewakan Om sama Tante lagi ya, Honey?" sahut Ily semangat dan semakin yakin untuk memajukan keadaannya saat ini.
"Kalau begitu sekarang kita tidur, ya?" ajak Al melorotkan tubuhnya dan Ily menidurkan kepalanya di dada Al. Al memeluk Ily, memberinya kenyamanan. Mereka sama-sama memejamkan mata dan mulai membuka gerbang mimpi.
Segala ujian yang Tuhan beri tidak akan melebihi batas kemampuan kita. Tuhan lakukan itu kepada kita karena Dia menyayangi kita. Bila kita mampu melewatinya, berarti Tuhan akan menaikan derajat kita. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita di saat situasi dan kondisi apa pun. Hanya terkadang kita yang lupa dengan keberadaan-Nya. Kita lupa untuk mengucap syukur kepada-Nya. Maka ingatlah selalu untuk mengucap syukur, mulai saat kita membuka mata dan ingin menutup mata untuk-Nya yang selalu memberikan nikmat dan karunia-Nya.
***
Mora tergesa-gesa menuruni tangga. Sore ini hujan lebat mengguyur Bali, langit gelap menyelimuti kota Singaraja. Mora mencari Nidia yang masih berada di kamar.
"Dia! Sayang, ayo kita berangkat sekarang," seru Mora dengan suara keras hingga terdengar Nidia yang sedang bersiap di kamar.
"Iya, Ma," jawab Nidia ke luar menutup pintu kamarnya. Mora menggandeng Nidia ke garasi.
"Ayo, cepat naik, Sayang," ujar Mora tergesa-gesa membantu Nidia masuk ke mobil.
Setelah Nidia masuk, Mora mengitari mobil dan duduk di belakang kemudi. Mora terlihat cemas dan khawatir, dengan perasaan yang tak keruan, Mora bergegas meninggalkan rumah besar dan luas itu.
"Mama pelan-pelan, Dia takut," ujar Nidia manja dan terlihat wajahnya yang tegang.
"Maafin Mama, Sayang, ini situasinya genting. Mama harus segera sampai di sana. Kasihan yang menunggu," ujar Mora tetap menerjang hujan lebat. "Tutup mata kamu, Sayang, bayangkan yang indah-indah saat kita liburan bersama Papa," tambah Mora memberi sugesti kepada Nidia agar dijauhkan dari pikiran negatif dan takut.
Nidia melakukan apa yang mamanya katakan. Bibir tipisnya tersenyum membayangkan liburan bersama kedua orang tuanya. Namun, Mora masih tegang dan cemas memikirkan sesuatu. Dia tidak peduli hujan yang mengguyur mobil mewahnya, yang ada di dalam pikirannya sekarang, dia harus bisa sampai di tempat itu tepat waktu. Walau AC di dalam mobil menyala, tetapi keringat dingin keluar bercucuran dari tubuhnya.
Ya Allah, lindungi dan selamatkan dia, ucap Mora di dalam hati.
Mora memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah bersalin. Hujan malam ini tak kunjung reda, dia masih terlihat gugup dan tergesa-gesa. Mora mencari payung di jok belakang.
"Mama turun dulu, kamu tetap di sini, kalau Mama belum ke sini jangan turun. Oke?" pesan Mora kepada Nidia.
"Iya, Ma," jawab Nidia patuh.
Mora mencium pucuk kepala Nidia lalu segera keluar dari mobil dan masuk ke rumah bersalin. Mora gugup mendekati Neneng dan Itha yang kebetulan ikut menunggu di depan ruang bersalin.
"Tante!" pekik Corin baru saja datang sebelum Mora sempat menyapa Neneng dan Itha.
"Corin, kamu juga baru datang?" tanya Mora setelah Corin di depannya.
"Iya, Tan, maaf tadi waktu Al telepon aku lagi ngantar Mama belanja," jelas Corin dengan napas tersengal.
"Iya sudah, enggak apa-apa. Kamu ke sini sama siapa?" tanya Mora melihat kanan dan kiri Corin.
"Sendiri, Tante," jawab Corin mengatur napasnya.
Mora segera mengalihkan pandangannya kepada Neneng dan Itha.
"Bagaimana dengan keponakan saya?" tanya Mora khawatir.
"Masih di dalam, Mbak, katanya baru pembukaan lima," jawab Neneng berdiri di depan Itha.
"Al di mana?" sahut Corin cepat.
"Mas Al menunggu Neng Cantik di dalam," jawab Itha.
"Oh, ya sudah, sedikit lega perasaanku." Mora mengelus dada. "Tante jemput Nidia dulu di mobil," ucap Mora kepada Corin.
"Nidia ikut, Tan? Biar Corin yang jemput saja. Tante di sini," ujar Corin lalu menjemput Nidia.
Mora duduk di kursi tunggu, perasaannya gelisah. Dia sudah menghubungi Choky, mungkin Choky masih dalam penerbangan, jadi tidak dapat tersambung. Namun, Mora sudah meninggalkan pesan jika Ily melahirkan. Suara decitan pintu terdengar, semua orang menoleh, terlihat Al keluar dari ruang itu. Mora cepat berdiri lalu mendekati Al.
"Bagaimana keadaan Ily, Al?" tanya Mora cemas dan khawatir.
"Tante masuk saja, masih lama katanya Bu Yanthi," ujar Al lalu Mora masuk.
Al keluar dari ruang bersalin digantikan Mora menjaga Ily. Al duduk di kursi yang juga diduduki Itha dan Neneng. Corin datang bersama Nidia.
"Kak Al," sapa Nidia lalu melendot manja pada Al.
"Apa sayangnya Kak Al?" sahut Al lalu Nidia dipangku.
"Adik bayinya sudah keluar?" tanya Nidia polos.
"Belum, masih menunggu," jawab Al dengan perasaan tak keruan.
"Mama di mana?" tanya Nidia celingukan mencari keberadaan Mora.
"Mama di dalam, nunggu Kak Ily," jawab Al mengelus rambut Nidia lembut.
"Nidia mau ikut Mama, Kak."
"Nidia nunggu di sini saja sama Kak Corin, ya? Nanti kalau adik bayinya sudah lahir, baru kita masuk," ujar Corin kepada Nidia.
"Iya deh, Kak."
Al menurunkan Nidia dari pangkuannya, lalu masuk melihat Ily yang berjuang melahirkan buah cinta mereka. Perasaan Al tidak tenang jika lama meninggalkan Ily.
"Tante, ini sakit banget," keluh Ily memegang erat tangan Mora, peluh membasahi keningnya.
"Sabar ya, Sayang, kamu harus kuat. Nanti sakitnya juga hilang setelah melihat si kecil lahir," ucap Mora lembut menenangkan Ily walau dalam hatinya mencemaskan.
Di usia Ily yang baru saja menginjak 18 tahun membuat Mora mencemaskan risiko yang akan dialaminya. Dibandingkan dengan yang hamil di usia 20-30 tahun, hamil dan melahirkan di usia 18 tahun ke bawah memang jauh lebih berisiko. Makin muda remaja perempuan mengalami kehamilan, maka makin berisiko bagi persalinan dan anak yang dikandungnya.
Hal ini dikarenakan tubuhnya secara umum belum siap untuk menjalani proses persalinan, seperti panggul mereka yang masih belum lebar. Ada risiko yang lebih mengkhawatirkan hati Mora, konon katanya remaja perempuan usia 15-19 tahun yang meninggal tiap tahun pada masa kehamilan atau pada saat proses persalinan. Sekitar satu juta bayi yang lahir dari remaja perempuan juga meninggal sebelum usia mereka mencapai satu tahun. Bayi dari seorang ibu yang melahirkan di bawah usia 18 tahun 60 persen lebih berisiko meninggal sebelum satu tahun. Pikiran Mora sudah tidak keruan, dia tidak tega melihat Ily yang menahan kesakitan.
"Al, kamu jaga istrimu, Tante mau keluar, kasihan Nidia mencari nanti," ujar Mora yang sebenarnya tidak tega melihat Ily.
"Iya, Tan, tadi Nidia juga nanyain Tante," jelas Al sudah berdiri di samping Mora memegang tangan Ily.
"Sayang, Tante, tunggu di luar, ya? Kamu harus berjuang dan Tante yakin kamu pasti bisa. Di luar ada Corin, Bunda Neneng, dan Tante Itha. Jadi, kamu enggak sendiri. Nidia juga sudah tidak sabar menunggu keponakannya lahir."
"Makasih ya, Tante, mintakan maaf Ily sama Mommy dan Daddy," ucap Ily menangis menahan sakit sekaligus rindu kepada orang tuanya.
"Sudah, jangan pikirkan itu. Kamu pikirkan saja dirimu dan kelahiranmu, ya?"
"Iya, Tan," jawab Ily sambil meringis menahan sakit.
"Al, Tante keluar." Mora menepuk bahu Al berniat memberi kekuatan kepada Al.
"Iya, makasih, Tan," ucap Al dibalas anggukan Mora.
Mora keluar dari ruang itu meninggalkan Al dan Ily yang berjuang kelahiran anak pertama mereka.
"Honey, aku haus."
Al segera mengambilkan minum untuk Ily. Keringat dingin bercucuran dari tubuh Al. Rasa panik, cemas, takut, bahagia bercampur menjadi satu. Al mengarahkan sedotan kepada Ily. Setelah Ily puas minum, Al kembali meletakan botol minum di atas lemari kecil yang tersedia di ruang itu.
"Bagaimana, Ily?" tanya Yanthi saat masuk ke ruang bersalin.
"Sakit, Bu, kapan lahirannya?" tanya Ily terdengar tidak sabar.
Yanthi hanya tersenyum lalu mengecek bagian sensitif Ily.
"Sebentar lagi, ya? Sudah pembukaan delapan," ujar Yanthi lalu tersenyum kepada Ily dan Al bergantian.
Proses melahirkan normal seperti yang dijalani Ily saat ini selalu dibarengi dengan proses Pembukaan mulut rahim yang dihitung dengan satuan sentimeter. Saat Yanthi tadi berkata 'pembukaan delapan' itu berarti mulut rahim Ily sudah terbuka sebesar delapan sentimeter, berarti jalan lahir anak Ily adalah sepanjang delapan sentimeter.
"Honey, bajuku basah," rengek Ily merasa tidak nyaman karena air ketubannya selalu keluar.
"Mau ganti dulu? Aku bantu," tawar Al dengan wajah yang cemas dan dalam hati tidak tega melihat Ily kesakitan seperti itu.
Ily mengangguk lalu Al membantunya mengganti daster yang lebih longgar agar pergerakan Ily leluasa. Al mengusap pinggang Ily yang sangat sakit. Sesekali terdengar suara tangisan Ily menyayat hati Al. Perasaan bersalah menjalar dalam hati Al, menyesal pasti ada. Namun, ini tetap harus Al jalani karena hasil kenakalannya yang tidak bisa menahan nafsu. Setelah menunggu lumayan lama, Yanthi kembali lagi dan dia mengecek bagian sensitif Ily. Dia tersenyum dan mengangguk kepada asistennya.
"Siap melahirkan? Ini sudah pembukaan sepuluh, sudah pembukaan sempurna," ujar Yanthi membuat Al tegang.
Ily menatap Al sambil memegang tangan Al erat. "Kamu jangan jauh dari aku, ya? Aku takut."
"Iya, Sayang, aku akan selalu menemani kamu. Jangan takut karena aku di sini untuk kamu dan anak kita, ya?" jawab Al lembut sambil mengelap keringat Ily.
Di luar ruang bersalin, Mora tak bisa tenang, dia selalu berjalan, tidak bisa duduk diam seperti Neneng, Itha, dan Corin yang memangku Nidia. Mereka yang melihat kegelisahan Mora, malah ikut cemas dan khawatir.
"Tante, jangan seperti itu. Aku jadi enggak tenang," tegur Corin ikut was-was dengan kondisi Ily.
"Maaf, Corin, Tante enggak tenang dan bingung mau melakukan apa."
"Duduk dulu, Mbak Mora, yakin semua akan berjalan lancer. Kita berdoa saja bagaimana?" usul Neneng lalu Mora duduk di sebelah Corin.
Mereka memanjatkan doa untuk keselamatan Ily dan anaknya. Setelah selesai berdoa, tidak berapa lama Choky datang tergesa-gesa, masih mengenakan seragam kebanggaannya.
"Mama!" panggil Choky, keringat di kening bercucuran, mendekati Mora. "Bagaimana keadaan Ily?" tanya Choky khawatir.
Choky mengangkat Nidia dari pangkuan Corin dan menciumi wajahnya.
"Masih di dalam, Pa, mungkin masih proses melahirkan," jelas Mora terus meremas tangannya.
"Ya sudah, kita tunggu. Papa mau ganti baju dulu. Di mana toiletnya?" tanya Choky melihat ke kanan dan kiri.
"Di sana, Om," tunjuk Corin yang melihat tulisan toilet.
"Oke, makasih," ucap Choky lalu menyeret kopernya ke toilet.
Setelah mengganti pakaiannya, Choky ikut menunggu bersama di depan ruang bersalin. Tak berapa lama suara tangisan bayi terdengar keras dari luar ruang.
"Alhamdulilah," ucap mereka bersamaan dah hati mereka sedikit lega.
"Papa, kita jadi pamud sama mamud," ujar Mora girang membuat semua menoleh kepadanya dengan kerutan di dahi.
"Maksudnya apa, Ma?" tanya Choky yang benar-benar tidak mengerti dengan ucapan istrinya tadi.
"Opa muda sama oma muda," sahut Mora cepat membuat semua tertawa bahagia.
"Ah, Tante, aku pikir apaan. Ada-ada aja, Tante. Tante gaul!" celetuk Corin menambah gelak tawa mereka semakin keras.
Saat semua sedang tertawa girang, Al keluar ruang bersalin dengan wajah tertekuk dan tubuh lemas. Semua terdiam dan berdiri menghampiri Al.
"Bagaimana keadaan Ily, Al?" tanya Choky khawatir lalu Al memeluk Choky, menangis meluapkan sesak di dadanya, semua menjadi tak tenang.
"Al, ada apa kamu menangis?" tanya Mora mengguncangkan tubuh Al.
"Om, maafin, Al," ucap Al, perasaan mereka tambah tidak tenang.
"Ily baik-baik saja, kan, Al?" tanya Corin menuntut jawaban.
"Ily baik-baik saja dan anak kami juga selamat. Gue terlalu bahagia dan lega, Rin, tapi yang bikin gue sedih, kenapa orang tua kami enggak ada yang dating, padahal kalian sabar dan setia menemani kami."
"Ooooh," jawab semua barengan dengan perasaan lega.
"Sudah, kamu jangan pikirkan mereka yang jauh, pikirkan yang di dekat saja. Enggak usah khawatir di sini masih ada Om sama Tante yang selalu siap menjadi pengganti orang tua kalian," tukas Choky menegakan Al.
"Hapus air mata lo, Al! Enggak malu apa ... lo sekarangkan udah jadi bapak, jangan cengeng dong," cibir Corin membuat semua terkekeh.
"Sialan lo, Rin, bikin gue malu aja," umpat Al menghapus air matanya.
"Pak Al," panggil perawat. Al cepat menoleh ke sumber suara. "Bisa ikut kami sebentar?"
Lalu Al mengikuti suster itu masuk ke ruang persalinan lagi. Ily terbaring lemas setelah selesai dibersihkan. Al mendekati Ily dan mengelus rambutnya. Dia tersenyum tipis, merasakan tubuh lemas.
"Ibu Ily, bayinya diberi ASI pertama dulu, ya?" ujar perawat membawa bayi mungil terbungkus kain bedong, masih merah.
Perawat itu menidurkan bayi di dada Ily. Al tersenyum bahagia melihat buah cintanya lahir normal, sehat, dan sempurna. Al mengelus pipi anaknya.
"Selamat datang jagoan, Ayah," sapa Al kepada anak lelakinya.
Ily tersenyum sangat manis, rasa bahagia tak dapat dia gambarkan dengan kata-kata.
"Makasih, ya, Sayang. Kamu sudah berjuang melahirkan anak kita di dunia ini. Maaf karena ulahku kamu jadi kesakitan seperti tadi," ucap Al menyesal sekaligus bahagia.
"Kenapa harus minta maaf? Kita sudah sepakat enggak akan mengungkit hal itu lagi. Itu adalah proses pembelajaran kita, Honey, sekarang kita harus memikirkan ini, jagoan kita," tunjuk Ily, matanya berbinar.
"Iya, kita harus menjaganya dengan baik dan aku akan lebih giat bekerja untukmu dan anak kita." Al lalu mencium pelipis Ily.
Setelah semua proses dan syarat dilengkapi, Ily dan bayinya dipindahkan ke ruang rawat. Al tidak pernah jauh dari mereka. Saat sudah diizinkan besuk, mereka yang sedari tadi menunggu di depan ruang bersalin masuk.
"Ily," pekik Corin girang sambil merentangkan tangannya.
Corin memeluk Ily dari belakang karena posisi Ily yang baring miring menghadap buah hatinya. Al berdiri di sebelah Ily mundur satu langkah, bergantian yang mau melihat keadaan Ily.
"Cucu, Oma, aduh, gantengnya," ucap Mora langsung mengangkat bayi mungil itu. "Kok mirip Al ya, Pa?" canda Mora sambil melirik Al.
"Iyalah, itu anak Al, Tante. Usaha keras mendapat hasil seganteng itu, Tan," sahut Corin sambil terkekeh.
"Usahanya sampai di mobil juga, ya?" celetuk Choky yang berdiri di samping Mora.
"Enggak hanya di dalam mobil, Om, di mana pun asal ada kesempatan," timpal Corin membuat semua tertawa.
Al hanya tersenyum malu sambil menggaruk tengkuknya.
"Enggak apa-apa, kalau hasilnya seganteng ini Om bisa pahami itu," ujar Choky agar Al tidak minder dan malu. Ily yang melihat tingkah malu Al hanya tersenyum.
"Bunda Neneng, Tante Itha, makasih sudah mau menemani aku melahirkan," ucap Ily tulus. Neneng dan Itha tersenyum lalu mencium pipi Ily bergantian.
"Iya. Selamat sudah menjadi ibu muda. Nanti kalau butuh sesuatu atau bantuan, Bunda siap membantu."
"Iya, Bun, makasih."
Dengan dititipkan anugerah terindah dari Tuhan tidak ada kata yang lebih indah kecuali ucapan terima kasih dan rasa syukur.
############
Makasih vote dan Komentarnya.
Part ini puas kalian baca. Soalnya ada 3000 kata lebih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top