9
Dua hari tanpa ada kabar, akhirnya Aya bisa melihat wajah tampan pria yang disukainya pada hari ini. Seperti biasa, saat Daniel baru saja mendudukkan tubuhnya di bangkunya, Aya bergelendot tak tahu diri layaknya kucing liar yang sok akrab pada manusia jika ada makanan. Daniel hanya mendesah. Sudah terbiasa akan perlakuan gadis aneh tersebut pada dirinya.
"Kamu dua hari ini nggak masuk, kenapa? Kamu sakit? Sakit apa? Coba aku cek." Daniel setengah kaget saat gadis itu tiba-tiba menempelkan pipinya pada pipi Daniel.
"Nggak panas," ucap Aya kemudian. Tanpa beban, dan seolah apa yang diperbuatnya barusan adalah hal biasa. Namun, bagi Daniel perlakuan itu adalah hal yang tak biasa baginya. Tak ada siapapun yang pernah seberani ini pada dirinya sebelum ini.
"Kamu nggak demam. Apa udah sembuh?" Aya bertanya, menatap langsung kedua bola mata Daniel. Pria itu masih tak bisa mengontrol rasa keterkejutannya hingga tak bisa mencerna pertanyaan yang diajukan Aya padanya.
"Hey..." Aya mengibas-ngibaskan telapak tangannya ke depan wajah Daniel. Hal itu mampu membuat pria itu mengerjap dan langsung berdehem guna menetralkan kegugupannya.
"Apa yang kamu lakukan barusan?" ketus, tapi jelas terlihat jika Daniel masih agak gugup dengan kejadian sebelumnya.
"Apa? Aku cuma mau memastikan keadaanmu. Kamu beneran udah sembuh? Selama kamu nggak masuk, aku cemas tau. Aku udah nanya-nanya sama staff untuk bisa nemuin alamat rumahmu, nggak dikasih. Padahal aku mau jenguk." Aya menjawab dengan nada sok manja. Bibirnya dicebik-cebikkan, jari-jari tangannya dengan nakal menusuk-nusuk lengan berotot milik Daniel, dan itu jelas seperti bukan Aya yang sebenarnya. Beruntung kelas masih sepi, tiga sahabatnya juga belum terlihat. Seandainya Uti, Aha, dan Hana melihat, mungkin ketiga orang itu menganga tak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini.
Mendengar bahwa Aya berusaha mencari tahu alamatnya melalui pihak sekolah, Daniel sedikit cemas. Meskipun pamannya sudah mengantisipasi hal itu dengan bekerjasama pada pihak sekolah untuk merahasiakan identitasnya, tetap saja dia khawatir.
"Sudah kubilang jangan pernah cari tahu dimana aku tinggal. Jangan nekat, karena jika terjadi sesuatu sama kamu, aku nggak bertanggungjawab. Dan jika apa yang kamu berusaha lakukan ini membahayakanku, aku nggak akan segan-segan menghabisimu." Daniel memperingatkan dengan sangat serius, tapi malah ditanggapi dengan kekehan oleh Aya.
"Kamu itu lucu, lho. Apa sih yang akan kulakukan sampe bisa bikin kamu bahaya? Aku ini membawa keberkahan, tau. Kalo kamu selalu deket sama aku, kamu itu akan ikut mendapat keberkahan itu. Jadi, nggak mungkin dong aku bakalan bahayain kamu. Hihihiii... Lucu, deh."
Daniel speechless, tak bisa menanggapi perkataan gadis itu lebih lanjut. Semakin Daniel meladeni, semakin Aya tak tahu diri.
Setelah itu, tak ada lagi pembicaraan yang terjadi antara keduanya. Daniel hanya membiarkan apa yang Aya lakukan terhadapnya. Mulai dari menatapnya tak berkedip, menggenggam telapak tangan Daniel, memainkan pipi Daniel, dan berhenti saat jari-jari nakal Aya bergeser menuju area paling favorit.
Bibir.
Daniel langsung mengelak, lalu menatap gadis itu dengan tajam. Aya hanya terkekeh. Pada akhirnya, jari-jari nakal yang ingin memainkan bibir Daniel, dipelesetkan ke arah dagu pria itu.
Daniel risih, tentu saja. Siapapun, saat sedang fokus pada suatu hal dan seseorang mengganggu layaknya makhluk tak kasat mata yang suka jail, pastinya akan risih. Namun, Daniel tak bisa mengelak jika makhluk yang mengganggunya saat ini bukanlah makhluk ghaib. Dia nyata dan Daniel ingin sekali menciumnya agar kapok.
Eh?
Daniel segera menggelengkan kepalanya saat pikiran konyol itu tiba-tiba melintas dalam pikirannya. Tak mungkin Daniel melakukan perbuatan itu pada gadis seperti Aya. Cantik sih memang, tapi Daniel tak ada perasaan apapun pada gadis itu selain perasaan dongkol.
Pada detik berikutnya, Daniel tiba-tiba berdiri. Aya bertanya-tanya, "Mau ke mana?" dan ditanggapi Daniel dengan datar. "Ke toilet. Mau ikut juga?"
Aya tersenyum-senyum malu. Daniel mulai was-was. Apakah gadis itu menganggap serius ajakannya barusan? Jika iya, Daniel menyesal, sumpah. Namun beruntung saat pada akhirnya Aya menggelengkan kepala, lalu melepaskan tangan pria itu untuk menyuruhnya bergegas sebelum bel masuk berbunyi.
"Aku masih waras, kok," cengirnya kemudian.
Daniel mendengus. Tak ingin membuang-buang waktu, pria itu bergegas meninggalkan kelas dan menuntaskan ritual kecilnya di dalam toilet.
***
PCB single layer, conector, antena, RF cable, capacitor, resistor, transistor, regulator, header pin, dan beberapa benda tak dimengerti lainnya sudah tersusun rapi di atas meja bedah Althaf. Berbekal kacamata khusus, sarung tangan, dan poni yang dicepol lucu, Al siap menjalankan misi yang diberikan sang kakak.
Percobaan pertama. Al sudah membaca pada sebuah buku dan beberapa trik dari internet tentang tatacara membuat sebuah alat pelacak sederhana di rumah. Semua bahan dibeli online pada situs jual-beli yang sedang hits pada masa kini.
Dengan ilmu yang ia dapatkan dari buku dan internet, Al mulai beraksi. Kedua tangannya dengan lancar merakit alat-alat yang disebutkan sebelumnya pada sebuah PCB ukuran mini. Tak mudah membuatnya, Al harus benar-benar fokus dan jeli memasang satu persatu kabel kecil pada masing-masing jalur konduktor. Beberapa kali Al berhenti hanya untuk mengusap matanya yang perih. Terlalu lama memelototi alat-alat itu, mata menjadi perih. Keringat yang sempat menetes, ia seka, kemudian lanjut bekerja.
Gigih usaha yang dilakukannya demi sebuah GPS tracker tak sekedar untuk mengamankan rahasia dirinya mengenai sesuatu tentang seorang gadis di sekolahnya, tapi ia sebenarnya juga senang melakukan kegiatan-kegiatan yang kata orang tak ada manfaatnya tersebut.
Al tak memandang seberapa uang yang harus ia keluarkan demi benda rakitan tersebut, tapi ia hanya ingin mempraktekkan ilmu yang sudah ia pelajari selama ini ke dalam bentuk nyata, agar ilmu yang ia dapat tak hanya sekedar teori yang akan hilang seiring berjalannya waktu. Al tak puas hanya dengan teori, ia perlu sebuah pembuktian. Dan usaha tak membodohi hasil. Al sukses melakukan semuanya.
Tokk tokk tokk...
"Dek, sholat dulu." Bunda menongolkan kepalanya pada celah pintu yang ia buka sedikit. Magrib sudah hampir tiba. Ayahnya akan ngamuk seandainya dua putranya terlambat pergi ke masjid.
Al merenggangkan lehernya yang terasa kaku, lalu berbalik pada bunda. "Iya, Nda."
Naya tersenyum. Pintu ruang kerja Al ditutup perlahan dan putra bungsunya tersebut menyusul kemudian.
Usai meminta pada ayah agar dibuatkan satu kamar khusus, tak butuh waktu lama sang ayah merealisasikannya. Ruangan kecil yang ada di lantai atas, dibereskan dan jadilah sebuah ruangan nyaman untuk menjadi ruang kerja Althaf, sehingga bisa dikatakan saat ini Althaf lebih spesial dibandingkan siapapun di rumahnya karena hanya Al yang mempunyai ruang kerja pribadi. Bahkan ayahnya saja tak punya ruang kerja spesial di rumah tersebut.
Althaf keren.
Setelah siap dengan celana kain panjang dan peci, Al juga siap berangkat ke masjid bersama ayah dan abangnya.
***
"Kita menemukan titik koordinat kendaraannya." Di posisi yang berbeda, salah seorang pria berseragam hitam lengkap dengan atribut modern yang digunakannya, berhasil melacak kendaraan yang digunakan sosok incarannya.
Akibat kecanggihan teknologi dan kecerdasan manusia itu sendiri, melacak keberadaan seseorang bisa dilakukan dengan sangat mudah. Entah bagaimana dan dengan cara apa mereka melakukannya, mereka sudah menggenggam identitas sang target.
"Ini hanya pekerjaan mudah." Satu pria lainnya menanggapi dengan nada angkuh. "Tinggal selangkah lagi, tugas kita selesai. Dan pastikan kita jangan sampai kehilangan jejaknya lagi."
"Baik."
***
Daniel memarkirkan sepeda motornya pada parkiran salah satu rumah sakit, kemudian melangkah mantap melewati ruangan demi ruangan hingga akhirnya berhenti pada salah satu ruang VIP. Sebelum masuk, ia melepas semua atribut yang dikenakannya seperti masker dan juga kacamata hitamnya hingga wajah tampan berkarisma yang dimilikinya terpampang nyata.
Beberapa perawat yang tak sengaja berpapasan atau bahkan tak sengaja bertugas sebagai perawat seseorang di dalam ruang VIP tersebut, akan berdecak kagum. Secara fisik, Daniel bisa dikatakan pria sangat sempurna pada masanya. Tapi, siapa yang tahu bahwa dibalik kesempurnaan fisiknya, ia mempunyai sekelumit masalah yang bahkan bisa mengancam nyawa?
Namun, inilah takdir yang harus dijalaninya. Jika ia bisa memilih, ia tak ingin dilahirkan menjadi seorang bernama Kim. Kim adalah namanya, ada sesuatu dibalik nama Kim yang tak seorangpun mengetahuinya selain dia dan juga keluarganya. Daniel, hanya nama samaran. Daniel Kim bukan nama sebenarnya. Bahkan Kim pada akhir nama Daniel bukanlah sebuah marga. Lalu, siapa Daniel sebenarnya?
Cklek...
"Kim..."
Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Daniel dengan senyum merekah. Sejak dua hari lalu dirinya terbaring lemah di ranjang rumah sakit karena penyakit yang dideritanya kembali kambuh. Selama dua hari tersebutlah Daniel tak bisa masuk sekolah, karena wanita yang terbaring tersebut merupakan seseorang yang ia cintai melebihi apapun.
"Bagaimana keadaan Mami?" Daniel meletakkan beberapa buah segar ke atas nakas.
Wanita itu tersenyum, lalu menanggapi pertanyaan sang putra. "Mami semakin membaik. Sebenarnya Mami ingin keluar dari sini, tapi pamanmu nggak kasih ijin."
"Paman melakukan yang terbaik, Mi. Jika Mami meminta pada Kim, maka Kim juga akan menolaknya. Mami masih harus butuh dirawat di sini." Daniel menyodorkan potongan buah apel yang sudah ia kupas pada sang ibu dan diterima wanita paruh baya itu sedikit tak suka.
"Mami udah sehat, Kim. Bahkan tadi Mami udah bisa ke kamar mandi sendiri."
"Dan Kim nggak akan pernah membiarkannya lagi." Daniel menjawab tanpa ekspresi.
"Kalian berlebihan."
"Berlebihan untuk kebaikan Mami. Kim dan paman hanya punya Mami. Jika terjadi sesuatu sama Mami, sama aja Mami menghancurkan perasaan kami."
Wanita itu mendesah. Suapan potongan apel kedua yang Daniel sodorkan ia tolak. "Mami udah kenyang." Lalu membaringkan kembali tubuhnya.
Daniel ikut mendesah. Pisau dan apel yang sejak tadi ada di tangannya, diletakkan ke atas piring di nakas. Ia menatap sang ibu perasaan berkecamuk. "Jangan seperti ini, Mi. Tolong bantu kami untuk melindungi Mami. Paman sedang bekerja keras untuk membantu kita agar terbebas dari rasa takut akan incaran pria bejat itu. Sedangkan Kim, Kim berusaha melindungi Mami dari ancaman apapun. Baik ancaman penyakit, ataupun ancaman pria itu. Tolong mengerti kami, Mi."
"Tapi Mami mau keluar dari sini, Nak. Mami lebih merasa aman jika berada di villa itu. Di sini, siapa yang berani menjamin keselamatan kita? Ingat, identitas kita palsu. Jika kita meminta bantuan polisi, kita bisa ikut masuk penjara."
Daniel terdiam. Apa yang dikatakan sang ibu benar. Sementara ini mereka menggunakan identitas palsu. Paman merencanakan semuanya untuk keselamatan mereka, paling tidak hingga dia berhasil menuntaskan kasus sang kakak.
Pria 17 tahun tersebut akhirnya mendesah. Ia tak punya kalimat sanggahan lain untuk membalas perkataan sang ibu. Ibunya mengatakan hal yang benar. Daniel melupakan satu hal tersebut. "Kita akan bahas masalah ini lagi nanti. Intinya Mami harus benar-benar sehat dulu untuk saat ini."
***
Jika biasanya Aya adalah orang paling akhir tiba di meja makan, untuk kali ini dan untuk pertama kalinya Al menjadi orang paling akhir tiba. Penampilan anak yang satu itu sedikit kacau. Rambutnya masih tampak kacau, ada lingkaran hitam pada bagian bawah matanya.
"Tumben telat, Dek?" Bunda bertanya.
Al tak menanggapi. Dengan lesu, ia menarik kursi makan dan duduk di sana dengan helaan napas lelah.
"Kamu sakit, ya?" Sang bunda langsung cemas. Ia bangkit dari duduknya, lalu meraba dahi sang putra bungsu hanya untuk memastikan keadaan anak itu.
Al spontan menghindar dari rabaan tangan sang bunda. Ia tidak sakit, dirinya hanya sedang lesu. "Al baik-baik aja, Nda."
"Baik-baik aja kok pucet gitu mukanya?" Sebagai ibu, tentu Naya tak percaya dengan jawaban sang anak. Jelas ia lihat Al sedang dalam kondisi yang tak baik, lalu baik-baik darimananya yang Al katakan?
"Habis begadang semalam, Bunda." Dengan santai Andra mengatakan hal yang sebenarnya.
Lebih tepatnya, hal sebenar yang tak sepenuhnya benar. Andra mengatakan hanya separuhnya saja, sehingga sang ayah yang selalu berprasangka buruk spontan memelototkan matanya.
"Begadang apanya?!!"
Tuh, kan?
Al mendesah. Tak ingin ambil pusing, bocah yang satu itu buru-buru mengambil piring, lalu menyendok sarapan paginya agar bisa segera enyah dari situasi ini.
"Maksud Abang, Al habis begadang karena belajar semalaman." Andra langsung meralat perkataannya.
Mendengar apa yang sang abang katakan, Al langsung meliriknya dan bertanya-tanya, kenapa abangnya berbohong? Padahal pada kenyataannya Al bergadang karena sibuk menyelesaikan benda rakitannya demi sang kakak. Jam dua pagi Al baru masuk ke kamar mereka dan tidur.
Seandainya ayah mengetahui fakta yang ada, mungkin pria hampir tua tersebut akan ngamuk.
"Belajar apa sampe begadang gitu? Boleh-boleh aja belajar, Dek, tapi jangan berlebihan sampe mengabaikan kesehatan. Liat sekarang wajahmu," Naya menangkup wajah Al, poni yang menutupi dahi sang putra, ia raup. "Pucet, kayak orang sakit gini."
Al menggerak-gerakkan kepalanya, risih. Naya mengerti, lalu melepaskan tangkupan tangannya pada wajah sang putra bungsu.
"Iya, Bunda. Nggak lagi," janjinya kemudian.
Naya kembali duduk ke tempatnya usai mendengar janji yang diucapkan putra bungsungya. Mereka kembali melahap sarapan mereka tanpa adanya percekcokan seperti biasanya. Aya juga tampak lebih kalem hari ini. Sejak tadi Alif sudah mencurigai tingkah putrinya tersebut yang tak biasa. Pria itu semakin menduga-duga hal tak genah mungkin akan terjadi.
Mengunyah suapan terakhir, Alif meletakkan sendok makannya ke atas piring, lalu menangkup ke dua tangannya ke atas meja. Tatapannya masih lurus pada Aya. Sayangnya gadis itu tak menyadari tatapan tajam yang ayahnya berikan padanya saat ini.
"Ayah berangkat kerja pagi ini." Alif tiba-tiba bersuara.
Semua anak menatapnya dengan ekspresi yang berbeda-beda. Yang satu tampak kecewa, satu lagi tampak biasa saja, dan yang satu lagi tampak gembira. Semua telihat dari bola mata ketiganya.
"Jadi, Ayah nggak bisa ngantar. Ini," Alif meletakkan kunci mobil ke atas meja makan. Dengan tak tahu malunya, Andra langsung mengambil kunci tersebut secepat kilat, lalu menyengir lebar.
"Makasih, Yah," ucapnya kemudian.
Alif berdecak kesal, tapi tidak ingin mengomelinya. "Ayah serahin kuncinya ke Abang. Itu mobil Ayah. Jaga mobilnya baik-baik. Mobil kalian masih di bengkel buat di cat ulang. Ingat, jangan bikin mobil Ayah lecet sedikitpun. Nanti biaya servisnya bisa setengah gaji Ayah, lho. Awas, ya."
Andra mengangguk-angguk masih dengan cengiran lebarnya.
Alif mengalihkan tatapan matanya pada Aya. Sejak tadi ingin ia korek tentang apa yang sedang putrinya itu rencanakan dibalik ekspresi gembiranya usai mendengar bahwa ayahnya akan kembali bekerja. "Kakak jangan sampai bikin masalah selama Ayah kerja. Berhenti bikin bundamu susah. Kamu nggak liat badan bunda kalian itu nggak gede-gede sejak dulu? Segituuu terus. Kalo kondangan, selalu dikira bawa anak. Semua karena kalian. Nggak berenti bikin orangtua susah."
Aya terkikik. Jari tangannya membentuk huruf V, berjanji pada ayah.
Hanya sampai disitu. Alif tak pernah memberikan nasehat apapun pada Al sebelum ia berangkat kerja, karena Alif yakin bahwa putra bungsunya tersebut bisa diandalkan dalam menjaga akhlak. Tak pernah sekalipun dia membawa masalah pada kedua orangtuanya. Berbeda dengan dua anak kembarnya, saat Alif sudah menasehati panjang lebar saja kadang tak pernah ada yang nyantol ke telinga mereka, apalagi jika tidak dinasehati? Ck, ck...
"Ya udah, udah mau jam 7, mau jam berapa kalian baru berangkat, ha?"
Andra langsung tersadar, "Eh? Iya, Yah. Dek, Kak. Buruan napa. Lembek."
Plaak.
"Abang banci!"
Andra memelototi sang kembaran. Mulutnya kumat-kamit menyumpahi Aya tanpa suara. Jika saja tidak ada ayah, jangan harap Aya akan lolos.
Naya geleng-geleng kepala. "Anak-anak luar biasa," gumam hatinya.
***
"Sasaran bergerak."
Pada layar LCD yang menempel di dashboard mobil, titik koordinat target mereka bergerak dari posisi awal. Mereka ikut bergerak mengikuti arah titik kecil itu membawa mereka. Mobil yang dikendarai memutar arah, berusaha mengejar target sebelum menghilang.
"Semakin dekat. Di depan sana. Tambah kecepatan kita. Cepat!!"
"Baik, Ketua."
Seseorang yang disebut ketua dalam geng mereka menerbitkan senyum licik. Tak salah mereka melacak mobil tersebut. Plat yang terpasang, sama persis dengan plat mobil dua pria dan satu gadis yang menemui Daniel di sebuah hutan malam itu.
Sekian menit dalam perjalanan, mobil yang diikuti membelok ke satu wilayah sekolah. Bersamaan dengan itu, titik koordinat pada LCD mobil ikut berhenti. Sang ketua geng kembali memasang senyum misterius.
"SMA Labschool Kebayoran?" gumam pria itu.
"Apa kita harus menunggu atau langsung menyergap?" pria di sebelahnya bertanya.
"Jangan. Kita hanya perlu membuntutinya agar kita bisa ikut melacak keberadaan Tuan Muda Choi."
***
Selamat Malam minggu, Mblo. Wkwkwk...
Tos, yoook... Hihihiii...
See You...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top