8


Ps. Koreksi kalo ada yang salah, ya. Sumber informasi tentang Jaksa di sini hanya saya dapatkan sedikit. Dari Google, Drama, dan Satu teman. Apalagi kalo ada pembaca yang kerjanya jadi jaksa, waah saya butuh banget sarannya tuh. hehe...

Selamat Membaca...

*** 

Pelaku kejahatan memang harus diberantas. Tidak ada celah bagi seseorang yang terbukti melakukan tindak kejahatan untuk meloloskan diri. Tak terkecuali di negara manapun. Menuntas kejahatan tak hanya diemban oleh aparat kepolisian. Petugas hukum di kejaksaan turut bekerjasama dalam mengusut kasus-kasus yang terjadi di dalam negara.

Hal demikian yang dilakukan oleh seorang pria dalam kisaran usia 30-an. Menjadi seorang jaksa bukan pilihan, tapi keinginan. Tugasnya sebagai penuntut umum mengharuskannya ikut serta melakukan penyidikan langsung atas kasus yang akan diadili. Menjadi seorang jaksa bukan sebuah permainan. Mereka bertugas sebagai penegak keadilan, mengemban amanah untuk kesejahteraan negara dan masyarakatnya.

Oleh karena beliau adalah seorang jaksa, memiliki seorang kakak yang terlilit masalah serius mengancam nyawa, sudah seharusnya beliau bertindak lugas. Menjadi warga negara asing selama 20 tahun, menjadikan sang kakak tak bisa melakukan penuntutan secara mudah di negara asing yang ditinggalinya. Alhasil, beliau mencoba mengajak sang kakak kembali, bersembunyi di tempat teraman bersama sang putra.

Pria itu adalah seseorang yang sering dipanggil Daniel dengan sebutan Paman Sultan. Beliau adalah satu-satunya paman yang dimiliki Daniel. Remaja itu sedikit merasa tenang selama paman ada bersama mereka. Namun, demi keselamatan Daniel dan sang ibu, sang paman tak bisa mengunjungi mereka setiap waktu. Dengan demikian pula paman Sultan bisa lebih fokus mencari celah untuk menuntut, dan mengumpulkan bukti lain agar bisa menyelamatkan nyawa sang kakak dan keponakan dari serangan pria bejat yang dinikahi sang kakak 18 tahun lalu.

"Bayu, kamu sudah menyelesaikan berkas perkara yang saya minta kemarin itu?" Sultan bertanya pada sang bawahan yang berada satu tim dengannya di kejaksaan.

Pria yang lebih muda darinya itu tampak terdiam sejenak. Bingung harus mengatakan bagaimana agar tak menimbulkan amarah dari ketua tim-nya. "Sudah hampir saya selesaikan, Pak. Hanya saja, kita tidak bisa menyerahkan berkas tuntutan itu tanpa bukti yang kuat. Lagipula, dalam kasus ini siapa yang ingin Bapak tuntut? Sulit untuk menuntut warga asing jika kita tidak menjalin hubungan kerjasama dengan negara tempat tersangka ini berada. Sejauh ini, bukti yang kita pegang hanya beberapa menit rekaman video amatir."

Sultan mengalihkan fokusnya dari berkas penyidikan yang sedang ia pelajari, kemudian menatap Bayu lekat-lekat. "Saya tau apa yang harus saya lakukan. Jadi, lakukan saja apa yang menjadi tugasmu. Saya akan berusaha merundingkan ini kembali bersama ketua jaksa untuk memberikan ijin kepada kita menyelidiki secara tuntas kasus ini. Ini bukan kasus main-main. Bahkan peredarannya sudah mencapai negara kita."

Bayu tak bisa menyela kali ini. Jika ketua tim-nya sudah membulatkan tekad, sebagai bawahannya dia bisa apa?

Tak lama berselang, petugas lain dari ruangan sebelah datang untuk mengabarkan sesuatu. "Ketua ingin kita berkumpul di ruang rapat sekarang. Ada kasus baru."

Bayu mendesah lelah. Kasus yang ada saja masih menunggak untuk diselesaikan. Ia kemudian memandangi rak-rak yang berjejer menutupi dinding ruangan mereka, lalu bergumam, "Berkas kasus sebanyak itu kapan kita bisa menyelesaikannya?"

Sultan bangkit dari posisinya. Ia membereskan tumpukan kertas yang berserakan di atas mejanya, lalu di simpan apik ke dalam laci. "Jangan mengeluh. Ini sudah menjadi tugas kita. Membantu orang lain menyelesaikan masalah itu pahalanya tak terhitung materi," balasnya. "Ayo bergegas."

***

"Kita mendapat laporan terbaru." Ketua jaksa membuka rapat mereka kali ini tanpa basa-basi seperti biasanya. Lugas dan tepat, karena waktu adalah kesempatan.

"Seorang warga di kepulauan seribu melapor ke kepolisian setempat bahwa mereka sering melihat kapal asing wara-wiri di laut mereka. Salah satu saksi sempat mengikuti ke mana kapal itu berlabuh. Dan ternyata mereka berhenti di dermaga sebuah pulau milik pribadi." Jeda sejenak.

"Pihak kepolisian mencurigai adanya barang-barang terlarang yang sedang coba diselundupkan ke Indonesia melalui pulau ini. Salah satu saksi sempat memotret kapal tersebut. Dan saya langsung terfokus pada tulisan di badan kapal tersebut. Coba lihat ini...," Ketua jaksa menayangkan sebuah gambar hasil jepretan saksi, lalu membesarkan bagian badan kapal yang terdapat tulisan asing.

"Kita bisa melihat jelas ada tulisan asing di badan kapal, dan yang saya ketahui ini adalah tulisan hangul. Kepolisian masih mengusut tuntas kasus sebenarnya, tapi mereka sudah menyerahkan laporan ini kepada kantor kejaksaan kita, dan mereka meminta kerjasama dari kita. Bagaimana menurut kalian?"

Beberapa anggota rapat tampak saling berdiskusi. Dilihat dari bahasa tubuh mereka, sang atasan dapat melihat beberapa diantara mereka ada yang tidak menyetujui kasus ini masuk ke list kasus mereka. Tapi, ada satu orang yang begitu beliau percaya bisa memecahkan kasus ini bersamanya.

"Jaksa Sultan? Bagaimana menurut anda? Saya yakin anda sedang berpikir untuk menerima kasus ini dan diselidiki 'kan?"

Sultan memasang duduk tegak. Ia mengangkat arah pandangnya yang semula fokus pada gambar di layar, dan mencocokkan dengan kasus sang kakak yang sedang berusaha ia pecahkan. Sultan menarik napas sejenak, dan semua anggota lain tampak menanti jawaban yang akan dikeluarkan pria tersebut.

"Saya sebenarnya sedang berpikir, apakah kasus ini sama dengan kasus yang sedang coba saya selidiki saat ini? Jika benar dugaan warga dan polisi bahwa kapal Korea tersebut masuk secara ilegal dan berusaha menyelundupkan barang berbahaya, maka saya tertarik untuk menerima kasus ini dan saya yang menanganinya bersama tim saya. Mohon atas ijinnya, Pak."

Sang atasan tersenyum, sedangkan rekan tim-nya, Bayu menunjukkan ekspresi yang sebaliknya. Satu tim bersama Sultan benar-benar merupakan penyiksaan baginya. Ia sudah lelah karena kasus yang mereka emban tak pernah berakhir walau hanya jeda satu hari saja. Tak jarang mereka harus lembur dan tetap bekerja saat hari libur hanya untuk menuntaskan kasus yang sedang diambil.

"Jadi kita harus ke pulau pribadi itu untuk menyidik?" Bayu akhirnya bertanya dalam perjalanan menuju ruangan mereka. Ia sedikit kesal pada Sultan sekarang.

Sultan mengangguk sebagai jawaban. "Bukankah jaksa yang terbaik itu bisa membuktikan secara akurat kasus yang diembannya? Itu tugas kita, Bayu."

Bayu mendesah lelah. "Jadi, kasus kita sebelumnya bagaimana? Tentang video itu? Itu aja belum kelar, Bapak udah nerima satu kasus lagi."

Sultan berdecak, lalu menatap Bayu kesal. "Bukankah sudah saya bilang di ruang rapat tadi bahwa kemungkinan dua kasus ini saling berkaitan? Makanya kalo lagi rapat kamu jangan molor. Dasar!"

Sultan marah, lalu meninggalkan Bayu begitu saja dengan langkah lebar menuju ruangan kerjanya. Bayu menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu berlari mengejar Sultan untuk meminta maaf. Namun, baru saja sampai di ruangan, perkataan Bayu terhenti ketika ponsel Sultan tiba-tiba berdering dan pria itu langsung memekik dengan raut cemas.

"Apa?! Sejak kapan? Iya, tunggu sebentar, Paman akan segera tiba di sana."

Klik.

"Pak, ada apa?"

Sultan tak menanggapi. Pria itu bergegas mengambil jas kerjanya, dompet, serta kunci mobil, dan bergegas pergi tanpa pamitan pada Bayu.

Alhasil, Bayu hanya bisa garuk-garuk kepala menyaksikan ketua tim-nya berlari dengan sangat terburu-buru.

***

"Huuufttt..."

"Huuuft..."

Ini adalah desahan ke sekian kali yang didengar Uti dari sang sahabat di sebelahnya tersebut. Sang sahabat tampak uring-uringan semenjak dua hari ini, dan kali ini gadis itu hanya duduk dengan menumpukan dagunya ke atas meja.

Uti menghentikan bacaannya sejenak, lalu memfokuskan diri pada gadis itu. "Kenapa sih, Ya?"

Lagi-lagi desahan itu kembali terdengar. Gadis itu menoleh pada Uti lalu cemberut. "Udah dua hari ini Daniel-ku nggak keliataaaan. Kangen, tauuu..."

Uti speecless. Ia pikir gadis itu sedang memikirkan pelajaran atau ekstrakurikulernya yang semakin padat. Ternyata masalah cowok tidak jelas itu? Ck, ck, Sepertinya Aya benar-benar sudah dimabuk cinta.

"Haah..." desahan itu terdengar keluar dari bibir Uti. Sontak Aya balik menatap gadis itu dengan kernyitan di dahi.

"Nah, elo sekarang kenapa?"

Uti mendesah sekali lagi. "Gue cuma prihatin aja sama sahabat gue. Gara-gara cowok yang gak jelas, dia jadi kehilangan akal kayak gini. Hmh, miris, ya."

"UTIIII..."

"Hihihi..." kemarahan Aya dibalas Uti dengan kikikan geli. Setidaknya ia sudah berhasil mengembalikan jiwa sang sahabat kembali ke tubuhnya. "Gue malah lebih suka denger lo teriak kayak monyet gila gini, dibanding pendiem kayak ayam penyakitan." Uti bicara lebih berani kali ini. Biasanya hanya Hana yang sering mengeluarkan kata-kata pedas dan blak-blakan padanya. Berhubung Hana dan Aha sedang ngintilin flowerboy di kantin, maka Uti terpaksa menjadi sosok menggantikan Hana untuk menghibur Aya.

"Gue kangen Daniel, Utiii. Hiks." Aya merengek pada Uti. Bahkan dia ngelendot manja di pundak gadis itu layaknya ia bersama sang bunda.

Uti menepuk-nepuk pelan pundak Aya, memberikannya sedikit semangat. "Kalo jodoh nggak ke mana, kok. Sabar aja menanti dia berbalik menatap lo. Gue yakin aja, karena cinta gak pernah salah. Jiaah bahasa gue. Kekeke..."

Aya melirik Uti dari bahu gadis itu, lalu bergumam, "Kayak berpengalaman aja."

"Pengalaman gak pengalaman, pokoknya itu yang gue tau." Uti menyahut.

"Gue curiga lo lagi jatuh cinta sama seseorang juga. Tapi lo gak berani bilang 'kan? Ayooo, bilang ke gue jujur." Aya malah merasakan adanya wangi-wangi bunga yang bermekaran di wajah Uti. Seperti orang yang sedang jatuh cinta, tetapi Uti berusaha menyimpannya seorang diri.

"Ish, siapa bilang gue jatuh cinta, sih? Gue lagi berusaha membentengi diri gue dari kata yang namanya 'cinta'. Seperti yang gue bilang, cinta itu gak akan pernah salah. So, gue cuman berharapnya jatuh cinta pada cowok yang pas suatu saat nanti. Nggak untuk sekarang."

"Loh, emang kenapa kalo sekarang?"

"Selain cinta yang tak pernah salah, cinta juga bisa menghanyutkan. Dan untuk masa ini, gue cuman mau mikirin pelajaran." Uti menutup perkataannya sebelum kembali membuka buku pelajarannya.

Bibir Aya mengerucut. Curhat tentang cinta pada Uti tidak seru. Jika bersama Hana, jauh lebih seru. Tak ingin mengganggu Uti sedang belajar, Aya memutuskan keluar dari kelas dan menuju taman hijau di belakang sekolah mereka. Suasana di sana memang lebih nyaman untuk merefreshkan otak yang semraut. Tak banyak siswa yang berada di sana. Mungkin hanya ada dua atau tiga orang yang sedang khusyuk membaca buku.

Aya melangkah ke sebuah pohon yang ada di sisi pagar pembatas antara SMA dan SMP Labschool. Dengan desahan yang kesekian kalinya, Aya mendudukkan tubuhnya menyandar ke batang pohon. Sejuk dan tenang. Jika saja ia tak mendengar bisik-bisik pelan namun terdengar tegas di balik pagar pembatas sekolah, mungkin Aya sudah terlelap ke alam mimpi.

"Thanks buat bantuan lo tadi. Habis pulang sekolah nanti, gue bakalan traktir lo makan sepuasnya di kantin. Gimana, kita bisa impas."

"Gue lakuin itu bukan buat minta bayaran materi. Gue lakuin itu agar lo berhenti usilin Garnish."

Aya semakin penasaran dengan dua remaja pria yang asik berbicara di taman belakang. Apa sebenarnya yang mereka bicarakan? Dan sepertinya Aya mengenal suara itu. Mungkin sudah tabiat Aya untuk menjadi seorang kepopers alias orang yang suka sekali kepo terhadap hal apa saja yang ia dengar. Pada akhirnya ia bangkit dari duduknya, dan melangkah mengendap-endap mendekati pagar. Melalui beberapa tanaman bonsai yang sudah tinggi, Aya berusaha melihat siapa mereka. Suaranya terdengar familiar.

"Lo suka Garnish, ya?"

Sang lawan bicara tak menjawab. Aya masih berusaha mengintip wajah-wajah dua remaja baru netes itu.

"Ah, apapun itu, gue tetap akan nraktir lo makan di kantin semau lo karena udah kasih contekan ulangan biologi ke gue. Untung gak ketahuan, kalo iya, mampus kita berdua. Dan masalah Garnish, lo tenang aja, Al. Gue bakalan jauhin dia, asal lo tetep bantuin gue saat ulangan. Oke, Althaf? Kita bisa deal?"

Aya spontan menarik sebelah sudut bibirnya licik. Ia mengetahui satu fakta tentang adik kecilnya yang super datar tersebut. Aya yakin Althaf yang dimaksud remaja tadi adalah Al adiknya. "Ternyata kecil-kecil cabe rawit kamu ya, Dek. Baru netes udah berani cinta-cintaan sama cewek. Ck, ck."

Satu ide muncul di kepala Aya. Senyumnya terkembang sempurna kala ide itu muncul di kepalanya. "Ide brilliant. Yakin Al nggak bisa berkutik nih."

Aya tertawa. Dengan langkah ringan, seolah beban rindu yang ditampungnya untuk Daniel sudah sirna ketika ide itu muncul di kepalanya. Entah ide apa yang sedang Aya rencanakan ke depannya. Lihat saja nanti.

***

Aya bersiul-siul penuh makna sejak memasuki mobil jemputan sang ayah. sembari melirik-lirik nakal pada Al di sebelahnya, Aya bernyanyi asal seolah menyindir sang adik. Sayangnya Al tidak peka sama sekali. Bocah itu tetap asik membaca buku yang terdapat gambar rakitan benda-benda elektronik. Hobi baru Al sepertinya.

"Yah, Al mau minta satu hal, boleh?" Al tiba-tiba membuka suara, meminta ijin pada sang ayah di depan kemudi sana.

"Apa?"

"Umm..."

"Jangan bilang tentang Garnish? Oops..." Aya menyela tiba-tiba. Hal itu sontak membuat Al dan dua laki-laki di depan, menatap Aya menuntut penjelasan.

"Garnish apa? Kamu mau nyoba masak? Ya ampun, Dek. Hal pertama yang kamu butuhkan saat masak itu bahan utama, bumbunya, jangan langsung mikirin garnish-nya. Memangnya di sekolahmu lagi ada lomba masak antar kelas, ya?" dan sang ayah yang tak peka malah menganggap garnish adalah sebuah makna 'hiasan' yang ada dalam makanan atau minuman agar terlihat indah dipandang.

"Eh?" Kini Al dan Aya sama-sama mengerjap tak mengerti akan perkataan yang keluar dari bibir sang ayah. Ayahnya tak nyambung sama sekali. Semua karena kakaknya yang tiba-tiba nyeletuk bilang garnish. Padahal maksud Al bukan itu.

"Al bukan maksudin ituuu. Kakak jangan menyela kalo orang lagi ngomong." Althaf membalas sang kakak dengan perkataan ketus seperti biasa.

"Habis itu?" Alif bertanya.

"Ah, pasti minta tambahan uang saku buat beli es cendol di gang depan kompleks rumah kita. Kan ada simpanan dia di sana."

"APAH!!"

Usai sang kakak yang berulah, kali ini sang abang. Abangnya itu tiba-tiba berceletuk membahas hal lain yang sama sekali tak Al pikirkan. Kedua saudaranya memang aneh dan biang masalah. Alhasil, ayah jadi ngamuk duluan, 'kan?

Dasar, saudara aneh!

Melihat kemarahan sang ayah yang seperti biasa, menggelegar, membuat Al kewalahan sendiri. Bagaimana tidak? Dia difitnah dua kali oleh dua saudara sableng-nya.

"Abang jangan buka mulut! Kakak juga!"

Aya dan Andra kompak menutup mulut menggunakan telapak tangan, menggoda. Kedua saudara kembar tersebut kemudian membuat gerakan seolah men-zip mulutnya agar tak seperti bantal kapuk sobek yang terburai alias bermulut bocor.

"Dek, kamu satu-satunya harapan Ayah untuk nggak bikin orangtua stres. Jangan jadi kedua kakakmu yang hobinya bikin masalah. Kalo kamu berani menentang peraturan yang Ayah buat, awas kamu." Meskipun Alif tak mengetahui rahasia apa yang anak bungsunya itu coba sembunyikan, Alif tetap memberikan peringatan keras padanya. Contoh nyata sudah ada di depan mata. Aya yang tak diberikan kendaraan, dan mobil Andra yang disita. Jika Al bertingkah sama, maka barang-barang eletronik hasil rakitan anak itu akan Alif jual, dan uangnya untuk menambah koleksi ternak Alif. Kan lumayan. Wkwk...

"Ayah itu ngomong apa? Kakak sama Abang jangan di dengerin. Al belum selesai bicara udah main potong-potong aja." Al kesal. Niat awalnya untuk menyampaikan satu hal penting pada sang ayah seolah sirna. Mood-nya sudah hancur lebur. Semua karena saudara kembar sableng tersebut.

Dasar.

"Trus, mau bilang apa?" Alif bertanya.

"Nggak jadi," balas Al ketus.

"Kamu suka gitu, Al. Ditegur malah ngambek. Udah ngomongnya susah, ambekkan pula. Jangan kamu tiru tingkah abangmu semasa kecil. Jelek. Liat abangmu sekarang, keren." Andra spontan tersenyum bangga sembari membenarkan kerah kemeja sekolahnya, sok keren.

"Itu wajib kamu turuti. Keren itu anak Ayah. tau?" sambung Alif.

"Nggak kayak Kakak aja, Yah?" Aya tiba-tiba menyela. Tapi sayang, ayah mencuekinya hingga Aya cemberut.

"Sekarang bilang mau apa, Dedeeek? Mumpung Ayah nawarin ni."

Al mendesah pelan, dan akhirnya mengatakan hal yang ingin ia katak sedari tadi. "Al mau minta sama Ayah buat bikinin Al ruangan baru. Kecil juga nggak apa."

Alif mengernyit, demikian halnya dua saudara kembarnya.

"Buat apa?" Alif bertanya.

"Umm... Al mau ngoleksi rakitan Al di ruangan khusus agar nggak kecampur sama barang lain di kamar Al sama Abang.

Andra mengangguk menyetujui permintaan Al. "Bener banget itu. Abang juga udah sumpek sama barang-barang itu. Kalo aja Abang tega, udah lama tu benda aneh di kamar dikardusin ke gudang."

Mendengar perkataan sang abang, Al meliriknya tajam. Benda aneh yang dikatakan Andra itu adalah aset berharga yang Al ciptakan sendiri selama beberapa tahun belakangan ini.

Alif tampak berpikir sejenak. "Nanti Ayah coba pikirin dimana lokasi yang cocok. Tapi ingat, setiap apa yang Ayah berikan, Ayah maunya itu dimanfaatkan dengan baik. Jangan karena Ayah berikan dengan gampang, kamu memperlakukannya semena-mena. Ingat, aturan Ayah tetap berlaku."

Al mengepalkan telapak tangannya bahagia. Bersama senyum manis yang merekah, Al bangkit dari jok belakang lalu memeluk leher ayah, sembari berujar, "makasih, Yah." Alif ikut tersenyum. Rangkulan Al, Alif balas dengan tepukan ringan.

***

"Ehm!"

Al mendongakkan kepalanya dari buku ke arah seseorang yang berdehem barusan. "Apa?" tanyanya datar.

Aya masuk ke dalam kamar saudara laki-lakinya dengan senyum penuh makna. Al mengernyit. Heran melihat tingkah sang kakak yang lain dari biasanya. Al merasakan ada suatu gertakan yang akan sang kakak lakukan padanya.

Al mendesah. Ia kembali melanjutkan membaca bukunya sembari menunggu sang kakak mengatakan tujuannya menemui Al di kamar. Jika tak meminjam bokser, pasti kaos oblong.

"Tadi kamu habis kasih contekan ulangan biologi sama temenmu, ya?" Aya berkata tiba-tiba. Hal itu sontak membuat mata Al membulat. Buku bacaannya ia abaikan sejenak, lalu fokus pada sang kakak.

"Jangan bilang Kakak habis ngintilin Al di sekolah?" tebaknya.

Aya mencebikkan bibirnya. Ia memilih mengabaikan pertanyaan sang adik, Aya kembali menambahkan, "dan seseorang bernama Garnish...,"

Al melotot. "Kakak!" pekiknya spontan. "Darimana Kakak tau itu semua?!"

"Oh itu?" Aya mengibaskan rambut sepunggungnya dengan centil, "kamu nggak perlu tau, Dedek sayaang. Intinya adalah, Kakak megang dua rahasia kamu. So, kalo kamu nggak hati-hati sama Kakak... Kamu tau apa resikonya?"

Geram. Al tak bisa melakukan apapun untuk membela diri. Anak itu juga tak tahu harus balik mengacam sang kakak dengan cara apa. Karena kakaknya itu 'kan sangat mudah ditebak sehingga semua rahasianya dengan mudah diketahui sang ayah. Al tak menyangka saja bahwa rahasia yang sudah lama ia simpan, akan ketahuan oleh sang kakak. Apalagi mulut bocor saudara perempuannya itu memang sudah tak terselamatkan. Bahkan dijahit dengan kawat besi saja tidak mempan.

Bocah itu akhirnya mendesah. Balik mengancam sang kakak bukanlah solusi terbaiknya. Al juga yakin, diiming-imingi dengan bokser pasti tidak mempan karena Al sudah menebak ada suatu hal yang sedang direncanakan sang kakak untuknya.

"Bilang Kakak mau apa?" tanyanya kemudian, datar dan tampak tak rela sama sekali.

"Um? Maunya Kakak? Kakak sih nggak minta yang muluk-muluk, ya," jawabnya. "Kakak cuma mau kamu dan Kakak kerjasama dalam satu hal. Hanya kita berdua. Gimana?"

Curiga, Al mencurigai apa yang sedang kakaknya itu coba lakukan. "Al nggak mau terlibat kriminal bersama Kakak." Al angkat tangan. "Jika mau terlibat perang, bikin sendiri pedangnya. Jangan libatkan Al."

"Eh? Beneran nggak mau? Kakak bilang ayah sekarang, ya? Hati-hati loh, semua koleksi robot rakitanmu bakalan di barter sama hewan ternak."

Mendengar ancaman itu, Al tak punya pilihan. Daripada koleksinya dijual, lebih baik dia bekerjasama dengan sang kakak. "Asal jangan melakukan tindak kriminal, Al nggak mau."

Aya terkekeh. "Kamu tenang aja, Dek. Kakak cuman mau kamu bikinin Kakak sesuatu dengan otak cerdasmu ini." Aya mengetuk kepala Al menggunakan telunjuknya, dan membuat anak itu mendengus risih.

"Bikinin apa?"

"Kamu bisa merakit sesuatu 'kan?"

Al mendesah, "mau dirakitin apa nih? Kalo senapang rakitan, sorry, nggak bisa."

Aya berdecak, lalu menjentik dahi sang adik gemas. "Bukan, ish. Kamu bisa bikin alat pelacak?"

"GPS Tracker?" Aya mengangguk.

"Buat apaaa?! Kakak mau jadi City Hunter? Korban drama korea kamu, Kak. Kasian." Al menggeleng-gelengkan kepalanya, kasihan.

"Bukan itu juga kali, Al. Kakak cuman... Gini, Kakak tuh punya temen baru di kelas. Dia siswa pindahan dan ada satu hal yang kayaknya dia sembunyikan karena dia terkesan tertutup sama siswa yang lain. Kakak penasaran aja sama dia. Makanya, Kakak mau kasih alat pelacak di tas dia, dan memecahkan segala pertanyaan yang berkelebat di kepala Kakak." Aya membuat alasan yang konyol. Bukankah sudah jelas jika siswa pindahan itulah yang menyebabkan kakaknya pulang terlambat ke rumah kala itu dan diamuk ayah? Apa kali ini sang kakak kembali ingin membuat masalah? Jika Al terlibat, bukankah sama saja Al akan mendapatkan hukuman juga?

"Nggak." Al menolak tegas.

"Al..." Aya menatapnya lama.

Al mendesah. "Kakak diamuk ayah karena cowok itu, Kak. Yang Kakak maksud siswa pindahan itu, cowok yang sama dengan yang kemarin itu 'kan? Jika Al membantu Kakak dalam hal ini, bukankah sama saja Al akan turut mendapatkan hukuman dari ayah? Apa bedanya antara Kakak bocorin rahasia Al, sama ketahuan bantu Kakak dapetin cowok itu?"

"Kakak nggak akan bilang kalo kita kerjasama. Kakak cuma mau kamu bikinin Kakak pelacak. Udah, sampai situ aja kerjasama kita."

Bingung. Al menarik napas, lalu menghebuskannya pelan. Ia tampak berpikir serius selama beberapa saat, hingga kemudian ia mengangguk. "Ya udah, besok Al bikinin."

"Huaaa... Ini baru adeknya Kak Ayaaa. Makasih Dedeeek. Muah muah muaaah... Hihihiii..."

"Iiiih, Kakak! Al bukan anak kecil lagi!" Al murka. Kecupan yang diberikan sang kakak secara bertubi-tubi di wajahnya, Al seka kasar menggunakan tisu basah yang selalu tersedia di nakas. Al selalu higienis. Bahkan kamarnya jauh lebih rapi dan bersih dibandingkan kamar orangtuanya sekalipun. Dan Andra bangga punya teman kamar seperti Al sehingga ia tak perlu capek-capek membersihkan kamar mereka.

Dasar.

*** 

Bagian actionnya nggak jadi. Hahai. Belum pas di part ini. Lagipula, saya belum praktek silat, jadi gak bisa membayangkan gerakannya. wkwkw...

See you.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top