7
"Masuk!"
"Punya satu anak gadis kok malah jadi kayak gini. Bikin susah orangtua terus kerjaannya. Sejak kapan kamu menjalin hubungan sama dia, ha! Mau jadi apa kalian, masih ingusan udah berani dua-duaan di hutan. Untung kalian keciduk duluan sebelum melakukan hal yang bukan-bukan. Atau emang udah? Jawab Aya! Jangan pasang ekspresi kayak anak kucing kesiram air panas gitu!"
Seharusnya Aya sudah menduga akan seperti apa berangnya sang ayah kala mendapati putrinya pulang jauh lebih lambat dari jadwal biasanya. Sepanjang jalan di mobil, ayahnya tak berhenti mengomelinya. Aya tahu ayahnya sangat mengkhawatirkan dirinya, tapi Aya bisa menjaga diri, dan dia juga tidak melakukan hal yang bukan-bukan seperti apa yang ayahnya pikirkan.
Memang Aya yang salah dalam kasus ini. Tanpa memberitahu siapapun, Ia nekat menyusul Daniel hanya karena penasaran dan membuat keluarganya khawatir.
Apa yang bisa Aya lakukan selain menunduk merasa bersalah? Jika ayah sudah marah besar seperti ini, maka bundanya juga tak bisa membantu.
Brrrmm...
"Nda, kayaknya motor Bunda bo..."
"Sssst..."
"Cor... Eh?" Andra buru-buru menutup mulutnya kala bunda memberikan kode agar tak bersuara di tengah situasi genting saat ini.
Anak itu baru saja tiba di rumah setelah terkendala di jalanan bersama motor mini sang bunda. Di tengah jalan, Andra sempat oleng karena ban motor bunda tiba-tiba kempes dan belum sempat ia bawa ke bengkel tadi. Motor itu bocor mungkin tak kuasa menanggung beban Andra yang lumayan berat.
"Siapa yang kamu turuti, Kak? Si Korea itu? Jika itu yang kamu ikuti, Ayah bakalan bakar semuanya."
"Ayaaah..." Aya mulai cemas. Ia merengek, berharap sang ayah tak membakar semua koleksi K-POP yang sudah ia kumpulkan sejak lama. Jangan sampai itu terjadi.
"Kakak nggak ngelakuin apa-apa di sana, Yah. Kami juga nggak pacara. Cuma Kakak yang suka sama dia, tapi dia enggak. Tadi, Kakak yang ngikutin dia karena penasaran. Soalnya dia anak baru di kelas Kakak, dan dia sedikit misterius." Aya berusaha menjelaskan.
"Terus kamu mau jadi detektif gitu? Kalo kamu berhasil mendapatkan jejak dia, mau kamu apain? Masukin koran? Majalah? Tempel di mading? Atau kamu dapat piala emas 24 karat? Apa yang Kakak lakukan itu nggak guna. Giliran disuruh belajar, nggak mau. Ngintilin anak perjaka orang, juaranya. Masa depan apa yang mau kamu gapai sih, Kaaak? Ya Allah..." Alif meraup wajahnya frustasi. Jika terus-menerus seperti ini, rambutnya bisa memutih sebelum waktunya.
"Iya, Kakak yang salah. Kakak minta maaf sama Ayah sama Bunda karena udah bikin kalian susah. Kakak nggak ngulangin lagi." Aya berucap sungguh-sungguh.
"Ini permintaan maaf yang ke sekian, dan janji yang ke sekian. Nggak ada satupun diantaranya yang sungguh-sungguh kamu lakukan. Ayah sayang sama kamu, Kak. Ayah melakukan semua ini karena nggak mau kamu terjerumus, luka, ataupun menangis. Bahkan Ayah terpaksa merestui kegiatan ekstra taekwondo sama tari-mu karena nggak mau kamu menganggap ayah terlalu kolot dan berlebihan. Cuma, untuk urusan kenal dekat sama cowok atau berkendara sendiri, Ayah benar-benar minta maaf. Ayah nggak bisa memberikannya untuk saat ini."Alif mendudukkan tubuh lelahnya di sofa sembari mendesah panjang. Naya dengan sigap memberinya air putih dan diminum Alif setengahnya.
Aya sungguh merasa bersalah pada sang ayah. Melihat ayahnya sedih, gadis itu ikut sedih. Ia kemudian melangkah mendekati sang ayah, lalu berjongkok sembari memegang lutut ayahnya. "Yah. Maafin Kakak, ya? Kakak benar-benar nggak bermaksud membuat ayah dan bunda sedih. Kak Aya bisa jaga diri. Makanya Kakak nekat ingin ikut bela diri di sekolah agar bisa melindungi diri Kakak sendiri disaat nggak ada ayah atau abang yang bantu."
Alif menatap mata jernih sang putri, lalu kembali menghela napas. "Pergi mandi. Kamu bau." Dan beranjak ke kamar meninggalkan Aya begitu saja.
Althaf yang sedari tadi menyaksikan dalam diam adegan haru di ruang tengah, ikut bernajak pergi. Hingga sekarang hanya tersisa Andra dan bunda yang menemaninya. Andra melangkah mendekat. "Sebenarnya Abang malas belain anak bandel kayak kamu, Kak. Tapi, tiap Kakak sakit, Abang juga sakit, Kak. Jadi Abang nggak bisa untuk ikutan membuatmu sakit. Ayah pasti akan baikan besok. Ingat, setelah ini jangan bikin ayah marah lagi." kembarannya tersebut mengusap kepala Aya pelan sebelum pergi meninggalkannya di ruang tengah.
Bunda menepuk pundak sang putri untuk memberinya kekuatan. Jika ia tak bisa membela, maka ia hanya bisa menguatkan melalui belaiannya. "Kakak udah janji nggak akan mengulanginya, kakak pegang janjinya. Ayah dan Bunda menyayangi kalian semua sehingga tak ingin kalian terlibat masalah. Bukan karena kami orangtua yang kolot, kami juga pernah merasakan menjadi remaja seperti kalian, tapi kami selalu mendengarkan nasehat yang diberikan orangtua kami untuk kebaikan kami sendiri. Jaman semakin cepat berubah, Kak. Di masa ini, semuanya serba menakutkan. Jika kami salah langkah mendidik kalian, selamanya kalian akan terjebak dalam perangkap buaya. Jadi tolong, ingatlah kami sebelum kalian melakukan kesalahan."
Perkataan bunda begitu melekit di hati Aya. Untuk sementara ini, ia tersadar. Tapi tak ada yang bisa menjamin untuk ke depannya. Biasanya lingkungan di luar jauh lebih berpengaruh diibanding lingkungan di dalam keluarga.
"Iya, Bunda." Aya menyahut dengan suara parau.
"Bunda yakin kamu anak gadis Bunda yang baik."
***
"Kami berhasil melacak keberadaanya, Tuan."
Pria paruh baya yang masih terlihat sangat bugar tersebut menarik sebelah sudut bibirnya sinis. Akhirnya, setelah pencarian selama satu bulan usai berhasil melarikan diri dari Chiang Mai, Thailand, kali ini mereka menemukannya di Indonesia.
"Pulang kampung halaman, heh?" sinis pria itu. "Seperti dugaanku. Ck. Kalian tidak akan pernah berhasil lari dariku."
"Tapi kami masih berusaha mencari alamat mereka tinggal saat ini. Kami tak sengaja melihatnya diikuti seorang gadis. Kami hampir berhasil menyergap anak laki-laki itu, tapi dua orang pria tiba-tiba datang dan membuat anak itu pergi dengan cepat, " lapor ketua ajudannya.
"Oh? Seorang gadis dan dua orang pria? Siapa mereka?"
Sang ketua ajudan menundukkan kepalanya hormat, lalu menjawab, "Kami akan mencari tahu lebih banyak."
"Cari tahu tentang gadis itu, dan pastikan bahwa dia adalah kelemahan dari anak laki-laki itu."
"Siap, Tuan."
"Kalian tahu rencana apa yang harus dilakukan, 'kan?"
"Kami mengerti, Tuan."
"Bagus."
Klik.
Pria paruh baya tersebut kembali tersenyum miring. Kedua tangannya saling bermain, seolah ia sudah membayangkan bagaimana takdir akan membawa mereka. Dengan sangat optimis, ia meyakini bahwa rencana yang sudah disusun sejak awal untuk memusnahkan bukti besar kehancuran bisnis dan nama besarnya, serta melenyapkan dua nyawa pengkhianat tersebut dari muka bumi ini.
Selama keduanya belum ditemukan, selama itu pula dia tak bisa duduk tenang dikala nama besarnya dikancah bisnis baja internasional sedang dalam proses untuk dihancurkan. Ia tak peduli meskipun dua orang tersebut adalah anak dan juga istrinya. Pengkhianat tetap pengkhianat. Demi uang dan nama baik, ia rela melakukan segala cara.
"Bagaimana? Sudah berhasil ditemukan?"
Pria paruh baya tersebut mengusap telapak tangan halus yang bertengger di pundaknya. Seperti perempuan liar, wanita itu bergelayut manja menumpukan dagunya ke kepala pria tersebut.
Wanita itu telah menjadi duri dalam pernikahan ibu Daniel. Karena wanita tersebut jugalah suaminya berpaling hati darinya. Bahkan tanpa bukti nyata, sang suami tega menyiksa dan menuduh dirinya mengancam melalui video karena cemburu pria itu selingkuh. Ibu Daniel bahkan tak pernah berpikiran sebejat itu.
"Tak lama lagi, kita bisa bebas dari rasa takut ini, Sayang. Jika perempuan itu mati, aku bisa mengumumkan hubungan kita ke publik tanpa takut dikecam oleh masyarakat. Nama baikku harus tetap dijaga, bukan?"
Wanita itu tersenyum genit, "tentu saja, Sayang. Aku tak sabar menantikan kabar bahagia itu terdengar ke cuping telingaku."
***
Tak ada orangtua yang membenci anaknya, dan tak ada orangtua yang bisa marah serta kesal pada anaknya dalam jangka waktu lama. Buktinya pagi ini Alif kembali seperti semula dengan raut wajah bersahabat. Ia bangun subuh, lalu membantu Naya menyiapkan sarapan buat mereka sekeluarga. Alif spesial membuat nasi goreng hati ayam kesukaan si kembar dan nasi goreng bawang kuchai dengan telur ceplok di atasnya hanya untuk Althaf.
Sebenarnya patut dikatakan bahwa Naya yang membantu memasak, sementara suaminya melakukan semuanya sendiri. Naya hanya membuat susu dan menyiapkan piring. Saat semuanya selesai, mereka menatanya ke atas meja bersama-sama.
"Hmm... wanginyaaa..." Andra menghirup aroma sedap yang berasal dari nasi goreng yang terhidang di meja makan, dengan hidung mancungnya. Tas sekolah yang ia tenteng, disampirkan di kaki meja sebelum menyendok nasi gorengnya dengan tak sabaran.
"Pelan-pelan, Bang. Nasi gorengnya masih banyak." Naya menegur sembari ia mengulurkan susu coklat ke sisi putranya tersebut. Andra hanya membalas dengan cengiran lucu.
Tak lama kemudian, Al datang menyusul. Anak itu hanya menunjukkan ekspresi seperti biasa. Kalem, tak banyak bicara. Saat nasi goreng bawang kuchai dengan telur ceplok dihidangkan ke hadapannya, anak itu tampak mendesah lalu menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa, Dek?" Naya bertanya.
"Al udah gosok gigi sama pake obat kumur, masa iya harus makan bawang kuchai lagi? Kenapa Bunda nggak bilang dulu kalo mau masak ini?" Al bukan protes. Hanya saja ia sedikit serba salah harus bagaimana. Ini adalah nasi goreng kesukaannya. Bagaimana dia bisa menolak?
"Gosok gigi lagi, dong. Susah banget cuma gosok gigi, kok. Lagipula, itu ayah yang masak, bukan Bunda. Masakan ayah enak, lho."
Uhukk...
Andra kontan terbatuk begitu bunda bilang ayahnya yang memasak sarapan mereka pagi ini.
"Makan pelan-pelan, Abang. Udah dibilangin juga." Naya menyodorkan air putih ke hadapan Andra dan langsung ia minum.
Alif melirik sekilas, lalu lanjut memakan sarapannya. "Kayak nggak suka masakan Ayah aja," gumamnya kemudian.
"Eh? Bukan gitu, Yah. Malahan Abang nyari-nyari saat ayah sempat masak kayak gini. Masakan Ayah top markotop pokoknya." Andra tidak sedang membuat guyonan saat ini. Ia hanya berkata yang sejujurnya. Sejak kecil, masakan ayah yang selalu dicari. Sayangnya, ayah mereka itu tidak selalunya punya mood baik untuk meringankan tangannya memasak di rumah. Selama ada bunda, jangan harap ayahnya itu mau turun ke dapur. Tapi kali ini, ayahnya mungkin sedang dalam mood bagus.
Tak banyak bicara, anak-anak itu makan dengan lahap hingga tak tersisa satu butir nasipun tertinggal di piringnya. Al bahkan memungut kembali potongan bawang kuchai yang sempat terjatuh di celananya, lalu memakannya kembali.
Sungguh luar biasa lezat masakan ayah Alif.
Saat dua saudaranya selesai sarapan, Aya turun dari lantai atas dengan penampilan rapi seperti kemarin. Dengan senyum lebar, ia menyapa anggota keluarganya riang. Ayahnya dengan sigap menyendokkan nasi goreng hati ayam kesukaan anak itu ke piringnya, lalu menitah agar segera menghabiskannya.
Aya mengangguk masih dengan senyum cerah. Saat ia mencicipi suapan pertama, Aya langsung takjub. "Woaaa... Ayah yang masak pasti 'kan?" ia berkata dengan mulut penuh oleh nasi.
Alif hanya menanggapi dengan deheman malu-malu. Ia senang dipuji, dan memang sudah sepantasnya ia mendapatkan pujian itu dari anak-anaknya. Tak banyak ayah yang bisa sekeren dirinya di muka bumi ini. Dalam satu paket, semua bidang bisa ia geluti. Pilot, Peternak, Pekebun, Chef, Sopir mobil, Bodyguard, sampai buruh cuci dia bisa lakukan. Kurang keren apalagi coba?
"Cepat habiskan. Ayah yang antar kalian ke sekolah," ucap Alif kemudian.
Andra spontan menatap sang ayah, lalu berkata, "Berarti nggak jadi naik angkot, dong?"
Alif hanya diam tak menanggapi. Tak perlu dijelaskan, Andra mengerti maksudnya. Dengan sorakan heboh, Andra memeluk Al erat hingga membuat remaja baru tumbuh itu sebal bukan main. Abangnya terlalu berlebihan. Cuma naik mobil kok seheboh itu. Apalagi jika diantar menggunakan jet pribadi kali, ya?
"Abang lebay," kesal Al setelah berhasil meloloskan diri dari pelukan sang abang. Apa peduli Andra? Yang penting dia tidak harus berdesak-desakan di angkot bersama penumpang lain dan membuat seragamnya jadi bau apek. Adiknya itu saja yang aneh berlebihan.
Dasar keluarga aneh.
***
Tidak ada yang berubah dengan tingkah Aya meskipun kemarin baru saja habis diamuk oleh sang ayah. Hanya saja, ia sedang berusaha membatasi sentuhannya dengan pria tersebut. Rasa penasaran masih senantiasa menghantuinya. Ditemani tiga sahabatnya, Aya nekat ke ruang Tata Usaha hanya untuk menanyakan alamat rumah Daniel. Namun sayang, pihak sekolah tak bisa memberikannya dengan alasan bahwa itu adalah privasi sekolah. Pada akhirnya, Aya kembali ke kelas dengan tangan hampa.
Aya terduduk di bangkunya dengan frustasi. Ia melirik bangku kosong di sebelahnya, lalu mendesah. Hari ini Daniel tak masuk sekolah. Tidak ada keterangan apapun darinya. Entah sakit atau izin, tak ada siapapun yang tahu.
"Jangan galau, Neng. Katanya kemarin kamu ngintilin dia pulang. Nggak berhasil?" Uti bertanya.
"Gimana mau berhasil? Yang ada gue diamuk bokap. Mereka malah mikirnya aku sama Daniel lagi macem-macem beduaan gitu di hutan," jawab Aya sebal.
Aha dan Hana membulatkan matanya, shock, lalu memekik. "Lo ngintilin dia sampe ke hutan? Nekat banget lo, Ay."
"Rumahnya di hutan apa gimana, sih? Dia bukan keturunan Tarzan 'kan?" Perkataan Aha barusan sontak mendapat desisan kesal dari Aya. Aha spontan mengatup bibirnya rapat, dan tak menanggapi apapun lagi setelahnya. Ia takut Aya murka lalu menganiayanya.
Mendesah, itu yang sering Aya lakukan akhir-akhir ini. Karena cinta yang mengambang tak jelas, gadis itu jadi frustasi sendiri. "Gue juga nggak tau apa maksudnya dia bawa gue nyasar ke hutan. Dia bener-bener aneh."
Hana mengusap dagunya tampak berpikir. "Ngeliat lo penasaran kayak gini, bikin gue ikutan penasaran sama tu cowok. Kalo emang dia nggak mau privasinya diganggu, berarti bisa jadi dia nyembunyiin sesuatu."
"Ah, mungkin rumahnya jelek kali." Aha kembali menyela dengan pemikiran konyolnya. Bahkan kali ini Uti ikut menggeplak lengan gadis itu karena kesal.
"Nggak mungkin kalo rumahnya jelek, tapi penampilannya so wow kayak gitu. Dia pasti orang kaya. Orang kaya yang bermasalah." Hana memberikan asumsi yang sedikit masuk akal dibanding pemikiran Aha.
Tiga sahabatnya yang lain mengangguk-angguk menyetujui asumsi Hana. Mendengar hal itu, Aya kembali mengabaikan janji yang sudah ia katakan pada sang ayah. Demi mendapatkan jawaban atas rasa penasaran terhadap diri Daniel, jiwa penantang Aya kembali bangkit. Selama ia belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaan yang berkelebat di kepalanya seputar identitas Daniel, selama itu pula Aya tak bisa duduk manis menikmati konser ekslusif Wanna One di chanel youtube salah satu tv swasta Korea.
***
Daniel masih misterius ya. Besok tak lanjut deh, biar dijelasin dikit. Kayaknya besok ada action dikit2 deh. Tungguin aja.
Malam ini Kak Mell mau belajar karate dikit, biar sambil ngetik bagian action-nya, kak mell ikutan berantem sama keyboard. wkwkw... Biasanya kalo lagi menghayati isi tulisan, saya suka gitu. Kalo bagian sedih, saya nangis dulu baru lanjut ngetik. kalo bagian ngomel, saya biasa ngomel dulu baru ketik. Nentuin ekspresi saya kudu berekspresi dulu baru ketik, kalo bagian berantem, mungkin saya harus berantem dulu kali, ya. Hmm...
O, ya. Gak ada Pict kali ini. Si cogan-nya saya simpan dulu buat saya sendiri. wkwk...
See You
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top