5


Sejak tadi Aya terus senyam-senyum di hadapan cermin. Tak ada yang lucu di sana. Bahkan wajahnya juga tampak baik-baik saja, tidak ada upil yang menempel di pipi atau di bagian wajah manapun, seperti yang lalu-lalu.

"Kamu lucu," gumamnya geli. Cermin rapuh menampilkan wajahnya sendiri, tapi yang ada dalam bayangan gadis itu, ada wajah Daniel terpampang nyata di cermin tersebut.

Cinta sudah membutakan mata Aya, dan membuka lebar angan kosongnya. Kasian.

Al geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah sang kakak dari arah pintu kamar dan menyandar di sana. "Kak, masih bernyawa 'kan?"

Aya spontan berbalik, dan menatap sang adik dengan delikan tajam saat kalimat pertanyaan tidak sopan tersebut terlontar tanpa beban dari bibir sang adik. "Mulutmu emang kayak comberan ya. Kurang ajar sama kakak sendiri. Kualat nggak ada obatnya loh, Dek."

Gadis itu kemudian menyiapkan keperluan taekwondo ke dalam tas ransel kebanggaannya. Dengan pakaian khusus taekwondo dan sabuk merah strip hitam 2 yang sudah terpasang rapi di pinggangnya, Aya siap berangkat latihan. Rambut panjang sepunggungnya ia gelung tinggi, hingga memperlihatkan leher jenjang dan wajah mungilnya yang cantik.

Satu keunggulan yang Aya miliki adalah memiliki paras yang cantik. Tak heran bila Alif sangat menyayangkan jika ada sedikit saja lecet di wajah ataupun anggota tubuh lain anak gadisnya tersebut.

Namun, saat Aya keukeuh memutuskan ikut ekstrakurikuler taekwondo di sekolah, Alif bisa apa? Lagipula, pada jaman sekarang wanita memang harus memiliki kemampuan bela diri untuk melindungi diri dari hewan buas di luar sana.

Jaman semakin mengerikan. Alif membenarkan Aya karena teringat akan kejadian yang menimpa sang istri 17 tahun lalu. Alif tak mau putri satu-satunya tersebut mengalami kejadian yang sama seperti istrinya.

"Ngapain ke sini?" Aya bertanya setelah tiba di hadapan sang adik. Berdiri di depan Al, Aya merasa berdiri di depan tiang. Padahal yang lebih tua di antara mereka siapa, ya?

"Mana bokser biru Al? Kakak yang pake 'kan pasti? Kembaliin." Al menadah tangannya, meminta sang kakak segera memberikan celana bokser biru yang kadang suka Aya colong dari lemarinya.

Aya menyengir. Ia kemudian berbalik, menggeledah isi keranjang pakaian kotornya, lalu menyerahkan bokser biru beraroma menyengat tersebut pada Al. Al memekik sembari menutup hidung mancungnya guna mengusir aroma menyengat tersebut darinya.

"Bau banget, sih? Kenapa nggak dicuci? Udah make nggak bilang, sekarang dibikin bau." Al mengomel geram. Kakaknya memang sudah keterlaluan. Banyaknya pakaian yang dibelikan orangtuanya buat mereka masng-masing, tetap saja kakaknya tersebut lebih sering memakai pakaian Andra ataupun Al. Pakaian cowok itu adem, katanya. Alasan saja.

"Belum sempat, Dek. Besok aja. Kakak buru-buru mau latihan, nih. Udah ya, kamu pake bokser lain aja. Bai. Hihihiii..." Aya melemparkan bokser baunya ke wajah Al begitu saja, lalu kabur sebelum sang adik murka dengan meneriaki namanya.

"Kakaaaak!!!"

Aya tertawa terpingkal-pingkal di ruang tengah melihat hidung adiknya kembang kempis usai ia kerjai. Bunda yang sedang fokus menjahit celana sobek Andra hanya diam membiarkan keduanya berperang. Ia sudah lelah menasehati. Toh, jika ia bersuara pasti tak ada diantara keduanya yang memperdulikan.

"Bunda. Kakak itu udah keterlaluan tau, nggak? Udah nyolong celana orang, nggak dicuci, malah dilempar ke muka Al." Al mengadu dengan nada marah, bukan lagi sebuah rengekan seperti bocah lima tahun yang ngotot ingin dibela. Al hanya berusaha membuat bundanya mengetahui tabiat busuk sang kakak yang sudah sangat keterlaluan kali ini.

Naya menyudahi menjahit celana Andra. Selangkangan celana yang bolong sepanjang 15 sentimeter itu kini sudah tertutupi dengan rapi, hasil pekerjaan sang bunda yang tiada duanya.

Ibu tiga anak itu hanya mendesah, lalu memijat pelipisnya yang berdenyut. "Terserah kalian, deh. Pusing!"

"Hahahaha..." Aya terbahak, dan membuat emosi sang adik kembali terpancing. Al mengambil kotak tisu di nakas tepat di sebelahnya tanpa sang kakak sadari. Tanpa berpikir dua kali, kotak tisu yang sebelumnya terpajang indah di nakas, kini melayang menghantam wajah sang kakak.

"Great." Al bergumam dengan senyum miring sembari menyapu kedua telapak tangannya penuh kepuasan, lalu melenggang meninggalkan ruang tengah.

Kini berbalik hidung Aya kembang-kempis. Rambut yang sudah ia gelung rapi kini tampak berantakan. Giginya bergemeleluk geram, lalu berteriak, "DEDEK CACIIIING!!!"

Brak!

Al menutup dan mengunci pintu kamarnya dan sang abang, kemudian terkekeh. Andra yang sedari asik membaca buku ensiklopedi di atas ranjang, menoleh sejenak sebelum kembali fokus pada bacaannya. "Ada apa?" tanyanya kemudian.

Al tak berhenti terkekeh. Ia beranjak dari depan pintu, lalu membuka lemari pakaiannya. "Biasa," jawabnya singkat. Pintu lemarinya ia tutup kembali setelah mengobok-obok isi lemari dan mendapatkan celana bokser lain di lipatan terbawah. Handuk yang sedari tadi bertengger manis di pinggangnya ia lepaskan, dan menggantinya dengan celana bokser tersebut.

"Kamu apain?" Andra kembali bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari buku.

"Lempar pake kotak tisu." Al menjawab singkat, lalu terkekeh sebelum menarik kursi belajarnya dan membuka buku pelajaran Biologi.

Mendengar jawaban singkat sang adik, Andra ikut terkekeh. Luar biasa sekali adiknya yang satu itu. Dia jarang bersuara, jarang berekspresi, dan jarang menunjukkan emosinya pada siapapun. Sekali dia ngamuk, barang yang bisa ia jangkau, melayang indah di wajah orang yang membuatnya kesal.

"Ayah nggak liat 'kan?"

Al menghentikan kegiatannya sejenak, lalu menatap sang abang, "kalopun liat, Al tetap akan melakukan hal demikian. Ayah juga nggak akan belain anak yang udah keterlaluan kayak kak Aya itu. Bokser bau dilemparin ke muka Al, itu pelecehan namanya."

"Hahahaha... mantap sekali kamu, Dek. Abang aja nggak berani. Bisa-bisa tu mobil dijual lagi."

Al mendengus, "mobil aja terus dipikirin."

"Iyalaaah. Tanpa mobil itu, kita nggak bisa gegayaan lagi. Masa orang keren nggak punya mobil. Ck," ucap Andra sombong.

Al tak menanggapi lagi setelahnya. Terserah apa yang mau abangnya katakan. Tidak kakak, abangnya juga sama. Persis seperti maksud omelan ayahnya kemarin.

***

"Kamu itu lho, Kak. Udah gede kok masih aja kayak bocah. Kapan kamu dewasanya, sih? Bunda juga kepengen hidup tenang di rumah ini. Merawat kalian hingga sebesar ini tuh bukan hal yang mudah. Apa perlu Bunda mesen panti jompo sekarang, dan tinggal di sana?" Naya terus mengoceh sejak kejadian dimana kening Aya benjol karena serangan maut Al. Tak tanggung-tanggung loh kotak tisu yang dilemparkan Althaf terbuat dari plastik yang keras. Untung saja tidak gegar otak kakaknya itu dibuatnya.

"Cuma becanda kok sama dia. Dianya aja nggak bisa diajak becanda." Aya membela diri, sementara bunda menyapu benjolnya dengan obat.

"Udah tau Al itu nggak bisa diajak becanda, masih aja dicoba. Untung kamu nggak gegar otak dibuatnya tau, nggak. Belum lagi kalo ayahmu liat keningmu ini, bisa murka dia." Kebetulan Alif sedang ke peternakan sekarang. Jika pria itu melihat kejadian dua anaknya tadi, bisa ada gempa di rumah mereka.

Bibir Aya mengerucut. Ia menghentikan tangan sang bunda memberikannya obat, lalu berdiri. "Kakak mau ke sekolah dulu. Ada latihan. Bai." Aya buru-buru berlari. Bahkan seruan sang bunda saja tak ia indahkan.

Tak lama kemudian, Aya kembali masuk ke dalam rumah. "Bunda," panggilnya.

Naya membuka laci nakas tv, dan memberikan kunci motornya pada putrinya tersebut. Aya menyengir lebar. Bunda memang selalu mengerti apa maunya. Dengan riang ia menerima kunci tsersebut, lalu mengecup pipi sang bunda sebelum pamit pergi.

"Ingat, Kak. Bawa motornya hati-hati. Bunda nggak mau ayahmu makin murka setelah bunda ijinin kamu pake motor ke sekolah. Kak Aya?"

Brrrmmm...

Naya menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Belum sempat ia memberikan pesan, anak itu sudah tancap gas meninggalkan halaman rumah.

Dasar anak bapaknya.

***

Latihan di istirahatkan sejenak. Aya langsung menuju ke pojokan untuk mengambil minumannya di dalam tas. Sembari duduk santai, gadis itu mengambil ponselnya di saku tas, dan mulai senyum-senyum tak jelas. Hana menyusul duduk di sebelah Aya, ikut menenggak minumannya, lalu mengernyit melihat sang sahabat terus tersenyum sejak tadi.

Hana kemudian menyikutnya, "ada apa, sih?"

Aya terkekeh, lalu memperlihatkan ponselnya pada sang sahabat.

"Ya ampuuunnn... Nggak jauh dari dia," respon Hana malas.

Aya menjuihkan bibirnya, tak peduli. Hal yang Aya perlihatkan barusan ada wallpaper ponselnya yang memperlihatkan Daniel sedang duduk menyender memejamkan mata dengan earphone di telinganya. Entah kapan Aya mengambil foto tersebut.

"Lo bisa gila kalo terus ngintilin Daniel kayak gitu."

"Yang penting gue bahagia," balas Aya tak peduli.

Hana mendesah. Orang jatuh cinta memang susah ditebak. Aya saja bisa berubah 180 derajat, kok. Cinta memang sudah gila.

Kasian cinta. Ck ck...

"Eh," Aya menyimpan ponselnya sejenak untuk fokus bercerita dengan Hana. "kira-kira lo tau nggak rumah Daniel di mana? Gue udah nanya sama dia kemarin, nggak dijawab sama dia. Sumpah dia susah banget mau buka mulut."

Hana mengernyit, "Mana gue tauu... Lo temen sebangkunya aja nggak tau, apalagi gue?"

Bibir Aya mengerucut. "Dia itu misterius banget. Di kelas, gue bahkan udah hapal di luar kepala alamat rumah temen sekelas kita. Cuma si Daniel aja yang belum ada kejelasan. Apa gue harus intilin dia pulang sekolah?"

Kali ini Hana menatapnya serius. Gadis itu hanya merasa Aya harus lebih waspada pada Daniel. Jika tidak ada kejelasan mengenai identitasnya, bisa saja anak itu adalah penjahat yang sedang menyamar.

"Gue bukannya mau menghalangi perasaan lo sama dia, Aya. Cuman, gue sebagai sahabat lo merasa kurang yakin dengan apa yang lo bilang barusan. Gue ngerasa aja nih, tu cowok punya masalah serius sama kehidupannya. Kalo lo berani ngintilin dia sendiri-sendiri, siapa yang mau tanggung jawab kalo lo kenapa-kenapa?"

"Jadi lo mau nemenin?" Aya mengedip-ngedipkan matanya, merayu.

"Ogah." Hana buru-buru menolak. "Maksud gue gini, daripada lo ngintilin dia kayak penguntit, kita cari cara lain."

"Caranya?"

"Tanya sama staf TU sekolah kita. Biasanya mereka 'kan punya data para siswa."

Aya mengangguk-anggukkan kepalanya membenarkan. "Iya, ya."

"Iya 'kan? Gitu aja kok repot." Hana membanggakan diri.

"Kok gue nggak kepikiran, ya?" Aya garuk-garuk kepala.

"Lo 'kan emang rada-rada. Cara gampang gitu aja kok nggak kepikiran."

Mendengar perkataan Hana yang terkesan mengejek, kontan membuat Aya mendelik menatapnya tajam. "Nggak gue comblangin lo sama Eggy."

"Eh? Sorry, sorry. Maafkan diriku, yaaa... Diriku khilaaaf. Ampuuun..." Hana memohon, tapi terkesan bercanda. Bahkan ia terkekeh usai memohon pada Aya.

Aya berdecih, tak ingin menanggapi candaan Hana lebih lanjut. Dalam kepalanya hanya memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa menemukan alamat rumah Daniel dan mengenal keluarganya. Sepertinya di otak Aya sudah membayangkan akan menjadi menantu di keluarga Daniel.

Membayangkan hal itu, Aya terkikik geli. Hingga tak terasa waktu jeda latihan taekwondo telah berakhir dan latihan kembali dimulai.

***

Sekolah sudah hampir sepi. Hari sabtu biasanya hanya diisi oleh siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Hanya tersisa beberapa siswa, dua orang guru, dan satpam sekolah. Bahkan Hana sudah pamit padanya sejak setengah jam yang lalu. Sedangkan Aya, anak yang satu itu masih sibuk mendiskusikan sesuatu bersama anggota Diva Dance sekolah dan sang pelatih.

Baru saja mereka diinfokan bahwa sekolah mereka akan mengikuti lomba tarian modern se-Jakarta. Konsep tarian sudah ditentukan oleh juri. Konsep yang ditentukan oleh para juri adalah tarian modern dipadukan dengan tarian tradisional.

Aya menyimak apa yang dikatakan oleh sang pelatih. Setiap ide yang dikatakan pelatihnya sudah terbayang di dalam otaknya. Jadi, saat anggota lain sibuk bertanya akan hal yang tak dimengerti, Aya hanya diam dengan mimik serius.

"Saya udah bisa bayangin gimana gerakannya, Coach," ujarnya tiba-tiba.

Sang pelatih takjub. Beliau sudah tak meragukan kemampuan Aya dalam bidang ini. Biasanya, saat beliau kekurangan ide untuk menentukan koreo, maka kepada Aya-lah beliau meminta masukan.

"Bagus, Ya. Nah, untuk pilihan musiknya, saya sudah menentukan. Sudah saya edit juga." Sang pelatih menyerahkan beberapa kaset musik yang akan mengiringi tarian mereka, pada setiap anggota Diva Dance. "Tinggal kalian dengarkan, pelajari, dan coba praktekkan sesuai dengan ide tarian yang saya katakan sebelumnya."

"Siap, Coach," kompak semua anggota.

"Kemudian untuk besok, kita stay di studio jam 9 pagi, ya? Kita harus bergegas latihan biar semakin mantap," lanjut sang pelatih.

Semua anggota kembali mengangguk. Aya melirik jam di pergelangan tangannya, sudah setengah enam. Dia harus bergegas pulang jika tak ingin ayahnya melapor ke polisi atas kasus hilangnya seorang anak gadis. Ayahnya itu 'kan memang agak berlebihan.

"Ee, Coach, saya boleh permisi pulang duluan, nggak? Udah mau magrib, saya pasti dicariin nih di rumah. Hape saya lowbat soalnya."

"Oh, iya. Saya hampir nggak sadar udah mau magrib. Okelah, kalau begitu, sampai di sini dulu diskusi kita, ya? Besok kita langsung latihan aja. Oke, selamat bubar. Hati-hati di jalan."

"Siap, Coach."

Aya bergegas lari ke parkiran, mencari kelibat motor maticnya yang tak kelihatan sama sekali. Dia bahkan lupa dimana memarkirkan motornya tersebut. Saking jarangnya membawa kendaraan ke sekolah sendiri, dia jadi bingung sendiri.

" Ah, itu dia." Akhirnya gadis itu sedikit bernapas lega saat menemukan motornya di parkiran paling ujung dan agak gelap. Hanya motor itu satu-satunya yang tertinggal di sana. Anggota Diva Dance yang lain rata-rata membawa mobil sendiri.

"Ya ampun, sayangnya bundaaa. Kamu kok parkirnya jauh amat siih." Aya mengoceh sendirian di keremangan sore hari yang sedikit mendebarkan jantung. Ia buru-buru memasukkan kunci ke dalam lubangnya, tapi selalu meleset. Tangannya jadi bergetar. Bukan takut pada hantu, tapi ia berpikir, seandainya ada cacing keluar di dekat kakinya tanpa ia sadari, bagaimana nasibnya? Mana gelap pula.

"Akhirnyaaa..." Aya buru-buru menstarter motornya saat ujung kunci sudah klop masuk ke lubangnya. Tanpa membuang banyak waktu, gadis itu tancap gas meninggalkan sekolah yang sudah hampir menggelap.

***

Panas, gerah, dan macet. Badan Aya sudah melekit sana-sini. Azan magrib sudah berkumandang sekarang, dan dia masih terjebak macet di jalanan. Aya mendesah. Lehernya terasa kaku, pundaknya berat seolah ada beban satu ton bertengger di sana.

"Kapan nyampainyaaaaa..." teriak Aya spontan. Beberapa pengendara yang ikut terjebak macet di sana menoleh ke arahnya. Semua orang juga ingin cepat sampai ke rumah, tapi tidak perlu berteriak juga kali. Itu semakin menambah kekesalan orang-orang yang ada di sana. terlalu berisik.

Sekian lama menanti, sedikit demi sedikit kendaraan di depan sana bergerak juga. Baru belum sampai dua meter bergerak, mereka kembali berhenti. Macet lagi. Aya memukul stang motornya geram. Ingin memaki, tapi pada siapa? Disaat seperti ini, dia malah membenarkan apa kata adiknya, Al. Seandainya semua orang sadar dan menggunakan kendaraan umum dalam beraktivitas seperti di negara maju, mungkin kemacetan di Jakarta bisa teratasi.

"Apa harus nunggu Al jadi presiden baru Jakarta bebas macet? Hadeeeh..." gumamnya ngasal.

Sembari menunggu, Aya memainkan jari-jari tangannya pada stang motor. Matanya melirik sana-sini mencari objek yang menarik untuk dilihat. Tapi, tak ada yang menarik selain hanya melihat gedung menjulang tinggi, pedagang kaki lima di trotoar, pengamen jalanan, dan kendaraan yang terjebak macet. Hingga kemudian tatapannya terhenti pada satu objek yang sukses membuat matanya melotot.

"Daniel?" tanyanya pada dirinya sendiri. Ia mengamati dengan lebih teliti seseorang dengan motor besar, helm menutupi kepala, dan jaket hitam yang menutupi tubuh idealnya. Meskipun wajahnya tertutupi, tapi Aya sangat hapal dengan motor, dan bentuk tubuh pria itu.

"Nggak salah lagi. Pasti Daniel."

Saat kemacetan terurai, seseorang yang Aya pikir adalah Daniel tersebut melaju meninggalkan posisi Aya. Aya seolah lupa akan tujuannya ingin cepat sampai ke rumah. Gadis itu malah membelokkan motornya ke arah yang berbeda dari arah rumahnya.

Aya nekat. Ia ikut melaju mengejar motor besar berwarna hitam hanya untuk memastikan bahwa pria itu benar Daniel. Jika tebakannya benar, mungkin Aya bisa menemukan dimana pria itu tinggal.

"Sorry, Ayah. Kakak melanggar peraturan sebentar. Demi calon menantu ayah," gumamnya dibalik helm yang ia kenakan.

Sekian lama berkendara, Aya tiba-tiba dibuat bingung akan lingkungan sekitarnya. Jejak pria itu juga menghilang entah kemana. Aya menghentikan motornya, membuka kaca helm-nya, dan menoleh ke kiri dan kanan, tak ada orang sama sekali. Bahkan bangunan juga tampak tak terlihat di sana.

Hari sudah semakin gelap. Pencahayaan hanya berasal dari bias-bias matahari terbenam di ufuk barat dan dari lampu motornya.

Aya berdecak. Ia tak takut sama sekali dengan keadaan mencekam yang terjadi di sekitarnya. Meskipun ada kuntilanak yang tiba-tiba nongol di depannya, ia tetap santai. Jika ada penjahat, Aya bisa mengatasinya. Hanya saja, Aya masih penasaran kemana perginya pria bermotor tadi?

"Ck, misi menguntit gagal."

Gadis itu kemudian berusaha menstarter motornya, berniat kembali pulang. Tapi, baru beberapa meter beranjak dari sana, motornya tiba-tiba mogok. Saat ia lihat jarum minyaknya, ternyata kosong.

"Aaah, masalah," keluhnya. "masa iya gue harus nyeret ni motor sampe pom bensin nun jauh di sana?"

Aya kembal berdecak sebal. Ia turun dari atas motor, membuka tangki minyaknya hanya ingin memastikan bahwa bensinnya benar-benar kosong.

Tak ada harapan sama sekali. Tangkinya kering kerontang. Ia kemudian mencoba menghidupkan ponselnya yang lowbatt, dan hanya bisa bertahan sedetik sebelum kembali mati.

Aya meremas rambutnya gusar. Ia terduduk di jalanan aspal yang sepi dan dipenuhi dedaunan kering, layaknya tunawisma yang tak punya arah tujuan.

"Gimana gue bisa pulaaang? Hiks... Ayaaah... jangan bilang ini do'a ayah karena kakak mangkir janji, ya? Kalo iya, tega bener ayah gitu sama Kakak? Kalo Kakak kenapa-kenapa, gimana? Ayaah... Hik hik..." Aya menelungkupkan wajahnya ke lutut. Bukan menangis, tapi mengantuk. Ditambah tubuhnya sudah sangat lelah usai latihan taekwondo sebelumnya.

"Aku udah nebak itu kamu. Ck, dasar penguntit."

Aya mengangkat wajahnya dari lutut, dan mendongak melihat siapa gerangan yang berkata padanya barusan. Saat tahu siapa dia, Aya kontan berdiri dan tersenyum lebar. "Daniel? Bener 'kan tebakanku, kalo tadi itu kamu. Kok kamu bisa tiba-tiba ngilang, sih? Dan sekarang tiba-tiba muncul. Kamu malaikat atau apa?"

Daniel, pria itu turun dari atas motor besarnya, lalu mendekati Aya. "Kenapa mengikuti?"

Mengabaikan ocehan panjang Aya, Daniel bertanya to the point.

Gadis itu kemudian menyengir. "Karena penasaran, dan aku yakin banget kalo yang aku ikutin itu kamu."

Daniel mendengus. "Setelah ini, jangan pernah lakukan itu."

Daniel kembali naik ke atas motor, bersiap pergi tapi Aya segera menahannya. "Tunggu dulu!"

Daniel menatapnya dengan kedua bola matanya yang tegas.

"Motorku, kehabisan bensin. Seenggaknya, kasih aku sedikit biar aku bisa pulang," pinta Aya sungguh-sungguh.

Daniel menatap motor dan gadis itu bergantian, lalu mendesah pelan sebelum turun dari atas motornya. Pria itu membuka tas dan mengeluarkan selang kecil dari sana. Motornya ia seret agar semakin mendekati motor Aya yang kalah besar dari motornya, membuka tangkinya, lalu menghubungkannya dengan tangki minyak motor Aya.

Aya tak berhenti tersenyum sembari menggigiti bibir bawahnya atas perlakuan manis yang diberikan Daniel untuknya. Dibalik sikap dingin pria tersebut, Daniel adalah pria yang baik. Tak salah Aya menyukainya.

"Sudah. Kamu boleh pergi." Perkataan Daniel menyadarkan Aya dari lamunannya. Buru-buru ia mendekat.

"Makasih, ya. Kamu, pulang ke arah mana?" tanyanya kemudian.

Daniel tak menanggapi. Ia kembali mengenakan helm, dan bersiap pergi. Namun beberapa saat kemudian, sebuah mobil melaju ke arah mereka. Aya dan Daniel sama-sama menatapnya. Silau cahaya yang berasal dari lampu mobil tersebut menghalangi pandang mereka.

Rasanya Aya mengenal mobil itu.

Seseorang keluar dari sana, dan...

"KAK AYA!!"

O' oow... ternyata itu ayah.

Tamat riwayatmu, Aya.

*** 

Jika ada yang kenal, jangan berisik, ya. Cukup tau aja. 

1. Daniel Kim

2. Amalya Khalila Irsyad 

3. Andra Khalif Irsyad

4. Althaf Khalifi Irsyad 

Udah kece belum? Mau nyari yang lebih slengean dan pesek kayak Aya tuh susah bener. Ini nemu satu orang. 

Diantara tiga cowok tuh, siapa paling keren? Alip udah gak bisa dipajang, ya. udah uzur. Hahaha...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top