4



"Apa, sih?!"

Daniel menepis tangan Aya yang sedari tadi asik bergelayut di tangannya. Ia tak menyangka saja, saat dirinya baru keluar dari mobil, tiba-tiba ada seseorang menarik lengannya dan menggandengnya erat. Bagaimana Daniel tidak kesal coba?

Saat tahu siapa pelaku yang dengan berani memegangnya barusan, pria itu mendengus dan memutuskan untuk menepisnya.

Aya menyengir lebar. Beruntung pagi ini penampilannya jauh lebih sempurna. Ia mandi, gosok gigi, sisiran, dan menaburi wajahnya dengan bedak bayi. Semua itu ia lakukan karena ada ayah di rumah. Jika tidak, ayahnya sendiri akan turun tangan mengguyur tubuhnya tanpa ampun.

"Pegang dikit aja, Say. Hihihii..." jawabnya.

Daniel memutar bola matanya malas. Tanpa meladeni Aya lebih jauh, ia melenggang begitu saja menuju kelas mereka. Aya memekik. Ia berlari, mengejar langkah Daniel hingga keduanya berjalan bersisian dengan Aya yang tak berhenti merecokinya.

Apa yang Aya lakukan pada siswa pindahan tersebut tak luput dari tatapan siswa-siswa lain.

"Hey. Sejak kemarin kita kenalan, kok kamu masih kaku kayak gitu? Wajahmu itu lho, datar kayak papan triplek buluk di gudang rumahku." Aya berceloteh, dan terkikik begitu ia berkata dan mengumpamakan wajah Daniel sedatar papan triplek di rumahnya.

Namun, pria itu tetap bergeming. Tiba di persimpangan koridor lantai dua menuju kelas mereka, Aya kembali berceloteh. "aku penasaran banget sama kamu. Nama kamu ada marga Kim, berarti kamu emang dari Korea, ya? Kok bisa pindah ke sini, sih?"

Masih tak ada tanggapan. Aya berdecak. Tas ransel bertuliskan Produce 101 Wanna One yang ayahnya belikan langsung dari Korea itu, ia betulkan posisinya. Gadis itu mempercepat langkahnya, lalu berdiri menghalangi langkah Daniel. Wajah Aya dan dada Daniel hampir saja bertubrukan jika saja Daniel tak segera mundur ke belakang begitu menyadari gadis itu hendak menghalangi jalannya.

"Sebenarnya apa yang kamu mau dariku, ha?" Daniel mengeluarkan uneg-unegnya. Pria itu jelas tampak kesal bukan main pada Aya.

"Yang kumau? Jawab semua pertanyaan yang sudah kuajukan. Simple, 'kan? Kamu nggak mau orang lain tau identitasmu kayak kamu itu narapidana yang kabur aja."

"Jangan asal bicara!" Daniel spontan membentak. Suara bentakan spontan Daniel menimbulkan rasa penasaran bagi kalangan siswa-siswa yang tak sengaja lewat di dekat mereka. Bahkan teman sekelas keduanya juga turut keluar, mengintip di balik pintu kelas secara berdesak-desakan.

Aya menjuihkan bibirnya. Bentakan Daniel sama sekali tak membuatnya gentar. "Kalo nggak mau orang lain berpikir yang bukan-bukan, kasih tau dong kamu itu sebenarnya siapa. Karena menurutku, bukan tanpa alasan seorang dari negara maju, milih pindah ke negara berkembang kayak Indonesia gini."

Sebelah sudut bibir Daniel terangkat. Tatapan matanya terkunci pada dua bola mata hitam kecoklatan yang dimiliki Aya, lalu berkata, "Sekali kamu mengetahui identitasku, selamanya kamu akan menyesal telah mengenalku."

Usai mengatakan hal itu, Daniel enyah dari hadapan Aya. Aya sempat terpaku selama beberapa saat. Kedua matanya spontan mengerjap saat Daniel hilang dari hadapannya. "dia ngomong apa?"

Krik krik krik.

Aya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia melangkah masuk ke dalam kelas sambil terus berpikir. Entah apa yang dimaksud Daniel barusan. Mendengar jawaban yang diberikan pria itu, Aya seolah merasa lebih tertantang untuk menggali informasi lebih jauh mengenai identitas pria tersebut.

"Morning everybodyyyy..."

Krik krik krik.

Aya terpaku di depan pintu kelas saat sapaan paginya diabaikan oleh semua rekan sekelasnya. Aya mengintip jam di pergelangan tangannya, lalu berpikir bingung. "Tumben jam setengah tujuh udah pada rame?" ia bergumam sendiri.

Gadis itu kemudian melangkah menuju tempat duduknya, dimana Daniel sudah menelungkup dengan earphone di telinga. Tak ingin menganggu Daniel untuk sementara, ia kemudian mendekati ketiga sahabatnya di kursi sebelah. Sejak tadi ketiga sahabatnya tersebut asik bercerita sehingga tak mendengarkan sapaannya.

"Hoy, cerita Kak Eggy lagi?" Aya mengagetkan mereka.

Hana berdecak, demikian juga Aha. "Nggak sempet mikirin yayangku pagi ini. Sejak tadi kita udah stress mikirin tugas Kimia yang belum kelar. Sekalinya udah dikumpulin, Bu Runi nggak nerima karena telat satu menit."

"Tugas kimia?" Aya berusaha mengingat. Ketiga sahabatnya menatap Aya lekat-lekat, hingga kemudian Aya memekik heboh, dan ketiga sahabatnya kompak memasang wajah datar.

"Gue lupa, sumpah! Huaa... Gimana dong? Kalian telat semenit aja ditolak, apalagi telat setengah jam. May Gaaad!!!"

"Ingat Kang Daniel aja terus. Lo 'kan emang gitu. Dasar." Hana berkata ketus, dan ditanggapi Uti dengan gelengan kepala.

"Udah. Terima aja hukumannya. Dikasih 100 soal dikerjain aja. Daripada nggak dapet nilai sama sekali." Uti memberikan support. Diantara semua teman sekelasnya, hanya tugas Uti dan lima teman sekelasnya yang diterima Bu Runi. Sisanya, ditolak mentah-mentah.

Kasian.

Aha, Hana, Aya kompak mendesah dan menelungkupkan wajah mereka ke atas meja.

"Kenapa jadi anak sekolahan bisa sesulit ini? Kenapa harus ada pelajaran Kimia, Fisika, Matematika di dunia ini? Huaaa... Gue nggak suka pelajaran itu." Aya berteriak frustasi. Uti menepuk-nepuk pelan punggungnya, mencoba menenangkan.

"Suka nggak suka, lo harus menyelesaikan apa yang telah lo pilih, Ya. Lagipula, tanpa IPA, lo nggak bakal ketemu sama 'itu'."

Aya mengangkat kepalanya dari atas meja, demikian yang dilakukan dua sahabatnya yang lain. Saat mereka menatap Uti, gadis itu memainkan mata seolah menggoda Aya. Uti, Hana, dan Aha kompak bersorak, "Cieeee..."

***

Ting!

Daniel melepaskan earphone di telinganya dan melihat ada pesan di ponselnya. Ia berusaha menampilkan raut santai saat isi pesan tersebut mengingatkannya untuk terus waspada.

"Kamu harus senantiasa berhati-hati, Kim. Jangan sampai identitas lamamu terbongkar. Waspadai siapapun yang ada di dekatmu, karena bisa jadi mereka adalah mata-mata. Simpan bukti yang ada di kamu sampai Paman bisa menuntaskan kasus ini."

Daniel langsung menghapus pesan yang dikirim oleh adik dari ibunya tersebut untuk kepentingan rahasia mereka. Jika ada seseorang yang membajak ponselnya, dirinya dan sang ibu dalam bahaya. Salah satu alasan kenapa ia tak menanggapi apapun pertanyaan yang diajukan Aya adalah karena masalah yang dihadapinya tersebut.

Benar kata Aya, dirinya bisa diibaratkan layaknya narapidana yang sedang melarikan diri. Tapi, apa yang terjadi tak seperti itu kebenarannya.

Daniel, hanya ingin melindungi dirinya dan ibu kandungnya dari serangan orang-orang bejat yang terus mengincar mereka.

Bosan di dalam kelas, Daniel memilih keluar mencari udara segar. Bel istirahat sebenarnya sudah berbunyi 5 menit lalu. Tapi, melihat suasana kelas yang heboh dan berisik, mau tak mau ia enyah dari sana.

"Eh, eh. Daniel mau ke mana? Tungguiiin..."

Daniel mendesah. Lagi-lagi si penguntit itu. Daniel merasa, bukannya aman terlindung dari para musuhnya, ia malah semakin berdebar-debar ketakutan. Aya lebih menyeramkan dibanding musuh di luar sana.

"Mau ke mana? Aku ikut, ya?"

Daniel tak menanggapi. Seperti biasa, gadis itu seolah menjadikan lengannya sebagai tongkat yang membantunya berjalan. Digandeeng terus. Lengan Daniel terasa kebas, sumpah. Ia yang pada awalnya ingin mencari udara segar di luar, malah semakin pusing.

"Kok kita muter-muter terus nggak jelas gini? Kamu sebenarnya mau ke mana?" Aya bertanya saat Daniel membawanya ke arah yang tak jelas. Sekali ke depan, lalu balik lagi. Sekali turun ke lantai bawah, naik lagi.

Hingga di sinilah mereka, di kantin sekolah yang masih terlihat ramai. Suasana yang pada mulanya tenang mendadak heboh dan kacau.

Empat siswa yang digelari flowerboy sekolah tampak sedang melakukan tindakan diluar batas. Daniel melihat secara langsung apa yang dilakukan pria yang lebih tampan diantara kesemuanya tersebut sedang mencoba menghajar salah seorang siswa laki-laki.

Duak!

"Gue udah bilang berkali-kali, jangan berani nongolin muka lo di depan kita-kita lagi. Lo udah sering berulah gini dan lo belum juga kapok, ha?!" Andra menarik kerah seragam yang dikenakan pria tersebut. Bibir pria yang dihajarnya mengeluarkan bercak darah. Jarang-jarang flowerboy sekolah, terutama Andra melakukan tindakan kriminal seperti itu jika tidak ada sebab yang pasti. Meskipun mereka sering membuli, tapi tak pernah berani adu jotos.

"Hajar, Bang!" Aya yang melihat, malah semakin menyemangatinya. Daniel menatap Aya tak habis pikir. Dia gadis, tapi kenapa malah asik dengan hal yang terjadi di depannya tersebut? Bukannya memekik ketakutan seperti para gadis lainnya, dia malah tertawa lebar melihat pria yang dipanggilnya abang tersebut menggebuki siswa lain.

Gadis aneh.

"Ampun, Ndra. Ampun. Gue kapok."

Duak!

"Gue nggak pengen kata ampun dari mulut lo. Gue cuma butuh pembuktian." Andra bersiap memukuli pria itu kembali, namun dengan tangkas Daniel menangkisnya, sehingga tangan Andra yang siap terayun, berhenti di udara disergap siswa pindahan tersebut.

"Lepaskan dia." Daniel menatap Andra tajam. "Dia sudah memohon ampun, kenapa masih kalian pukuli?"

Andra menarik kasar tangannya dari cengkeraman pria yang tak ia kenali tersebut, lalu mendecih. "Lo siapa yang dengan berani ikut campur urusan kami? Lo nggak tau hal apa yang sudah berusaha dia lakukan, ha?!"

Aya jadi serba salah. Kepalanya ia garuk-garuk petanda sedang bingung. Pasalnya, saudara kembar dan juga cowok kesukaannya sedang adu mulut di sana. Jika terus ia biarkan, Aya takut abangnya akan menggebuki Daniel seperti siswa itu juga.

Bisa gawat!

"Apapun kesalahan yang sudah dia lakukan, kalian nggak berhak menghakimi dia seperti ini. Hanya laporkan kepada pihak sekolah, masalah selesai." Daniel dengan mantap mengatakannya tanpa gentar sedikitpun. Meskipun ia adalah siswa pindahan dan setingkat di bawah para flowerboy itu, Daniel tak akan kalah demi kebaikan.

Mendengar celotehan pria itu, Andra menggeram. Kedua tangannya mengepal, lalu Danil ia dorong kasar. "Udah gue bilang jangan ikut campur! Ini urusan kami sama dia! Bukan sama lo. Daripada lo kena sasaran juga, mending lo minggir, deh."

"Nggak akan sampai kalian melepaskan dia." Daniel mantap menolak minggir.

Andra semakin kesal bukan main. Dia siap menghajar Daniel jika saja Eggy dan teman-temannya tak segera menghalangi. Bahkan Aya turut berlari, lalu berdiri di antara Daniel dan Andra.

"Stop! Bang, udaah. Lepasin aja. Jangan bikin keributan di sini," ujarnya.

"Aya! Ngapain kamu ikut campur juga?" Andra malah membalas dengan membentaknya.

Aya meringis. "Bukannya mau ikut campur. Cuman, aku nggak mau Daniel lecet. Kasian, Bang."

"AYA!" Andra semakin murka.

Akibat keributan yang terjadi, beberapa guru datang ke lokasi keributan. Andra dan teman-temannya serta siswa yang dipukulinya tadi dibawa ke ruang BK untuk diberikan sanksi tegas.

"Apa yang membuat kalian ribut sampai main tonjok-tonjokan gitu, ha! Udah merasa jadi jagoan di sekolah ini?" Guru BK murka pada kelima anak didiknya tersebut.

Semua tersangka menundukkan kepala, kecuali Andra. Pria yang satu itu sama sekali tak menunjukkan riak takut atau sebagainya. Ia merasa tak bersalah dalam kasus ini.

"Andra. Kamu itu primadona di sekolah ini. Kamu siswa berprestasi, sama seperti kalian bertiga, Eggy, Fathan, Hero. Apa masalah kalian sebenarnya?" Guru BK masih menginterogasi keempat siswa berprestasi tersebut.

"Kami nggak bersalah, Bu. Saya memukuli dia karena dia emang udah keterlaluan. Ini kali keduanya saya melihat dia memukuli siswa perempuan di kantin. Saya sudah memperingatkan pada kejadian sebelumnya, tapi nyatanya masih dia ulangi. Sudah seharusnya saya turut memberikannya pelajaran. Biar dia merasakan bagaimana sakitnya ditonjok. Yang ditonjok gadis lemah loh, Bu. Saya nggak masalah kalo dia nonjoki cowok. Lah ini cewek. Banci kali, ya." Andra berusaha menjelaskan seperti cerita yang sebenarnya.

Siswa laki-laki yang dihajar Andra barusan terus menundukkan kepalanya. Apa yang dikatakan Andra memang benar. Ia barusaja memukuli pacarnya hanya karena masalah sepele, dan Andra adalah tipe pria yang tak suka melihat laki-laki memukuli seorang wanita. Sekesal apapun dia pada tingkah Aya, tak pernah sekalipun ia memukulinya.

Guru BK tersebut mendesah pelan. Beliau memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Menjadi guru BK bukan pekerjaan yang mudah. Hampir setiap harinya beliau harus berhadapan dengan siswa yang bermasalah. Jika beliau tak bijak menanggapi dan memberikan solusi, bisa jadi masalah akan semakin melebar.

"Apapun alasan kalian, saya harus menghadap orangtua kalian."

"Yah, Ibuuu..." Anak-anak itu kompak protes.

"Nggak ada ibu, ibu. Kembali ke kelas masing-masing. Cepat!"

***

"Bikin malu! Mau jadi preman kalian berdua, ha?! Nggak Kakak, nggak Abang, sama aja!"

Alif mengomel usai keluar dari ruang BK dan mengadap guru anak-anaknya di sana. tak hanya dirinya yang diundang spesial oleh sang guru BK, bahkan ada 4 orangtua lainnya. Alif malu bukan kepalang saat orangtua siswa yang Andra gebuki mengomel padanya dengan dalih tak becus mengurus anak.

Alif hampir ingin menampar nyamuk kala dituduh sembarangan seperti itu. kurang becus apa lagi dia harus mendidik anak-anaknya itu? Apakah Alif harus mengikat anak-anaknya di tiang rumah mereka hingga kapok, atau bagaimana?

"Kakak nggak ada kaitannya dalam hal ini, ya." Aya buru-buru menyelamatkan dirinya dari amukan sang ayah kali ini.

"Sama! Bahkan Kakak itu lebih parah dari Abang. Padahal Kakak itu gadis. Bikin malu semua!" bentak Alif murka. Ia kemudian menghidupkan mesin mobilnya, bersiap pulang ke rumah membawa serta ketiga anaknya tersebut. Berhubung sekolah Al berada pada yayasan yang sama, akan lebih mudah Alif dalam mengantar-jemput ketiganya.

Bibir Aya mengerucut. Al pura-pura tak mendengar. Sedari memasuki mobil, telinganya sudah ia sumpal menggunakan headset. Meskipun begitu, omelan ayahnya masih jelas terdengar ke kupingnya.

"Abang bukan tanpa alasan melakukan itu sama dia, Yah. Dia yang mulai. Abang nggak bisa diemin orang yang dengan gampangnya mengayunkan tangan memukuli seorang gadis. Ayah aja udah setua ini nggak pernah pukuli bunda, 'kan?"

"Siapa yang tua!" Alif kembali murkan. Belum reda satu masalah, Andra tak sengaja menambah satu lagi masalah pada sang ayah.

"Eh, maksud Abang, Ayah udah selama ini berumah tangga sama bunda, dan nggak pernah sekalipun memukuli bunda semarah apapun sama bunda. Abang hanya ingin memberikan dia pelajaran yangsetimpal." Andra buru-buru mengoreksi kesalahannya. Terlambat sedikit saja, bisa fatal. Bisa saja mobilnya akan disita sang ayah. Gores sedikit saja sudah dikekepin ayahnya, kok. Apalagi jika hati sang ayah tersakiti olehnya?

"Pokoknya kalian itu jangan sampai terlibat masalah seperti itu Abang, Kakak, Dedek."
"Eh? Kok Al juga? Al nggak pernah bikin kasus, ya." Al yang mendengar dibalik headset-nya, sontak menampik hal yang dituduhkan sang ayah.

"Jangan menyela omongan orangtua!" Alif kembali memekik. Beberapa kendaraan bermotor yang lewat di dekat mobilnya sempat oleng karena kaget mendengar suara bentakan yang entah berasal darimana. Mungkin saja pengendara itu berpikir, sedang ada gempa yang terjadi di sekitar mereka. Hii..

"O, ya. Satu lagi." Alif menoleh ke belakang sejenak. Menatap putri satu-satunya di sana. "Hari ini Kakak terciduk."

"Ng? Apa?" Aya memasang wajah sepolos bocah ingusan.

"Kakak udah berani pacaran? Siapa cowok itu, ha? Berani-beraninya dia pegang-pegang anak gadis orang tanpa ijin ayahnya." Alif berujar geram. Bahkan setir mobilnya ia remas sebagai bentuk pelampiasannya.

"Eh? Itu..." Aya tergagap. Dua saudaranya kompak menatapnya sengit.

"Ituuu... Cuma temen kok, Yah. Siapa bilang pacar? Ah, Ayah mah suka gituu. Salah liat kali Ayah tuu. Mana ada kami gandengan." Gadis itu mengelak.

Namun Alif tak semudah itu dibodohi anak-anaknya. Jelas sekali terlihat oleh mata kepalanya sendiri bahwa pria itu bergandengan tangan bersama anak gadisnya.

Di jok depan, Andra sudah menebak siapa pria yang ayahnya maksud. Matanya menyipit menatap sang kembaran penuh intimidasi. Aya jadi semakin kelabakan. Ia mengerti arti tatapan sang abang, dan Aya mohon di dalam hati agar Andra tak bermulut ember kali ini.

"Mata Ayah masih seger, Kak. Mau liat radius satu kilometer aja bisa. Apalagi objeknya adalah saat anak Ayah dengan beraninya pegang-pegangan sama cowok nggak jelas gitu. Kalian semua masih bocah ingusan. Jangan berani macem-macem kalian, ya."

"Suwer Ayaah. Kakak mana berani melanggar apa kata Ayah. Kakak sayang Ayah, tau. Hanya Ayah laki-laki yang Kakak cintai di dunia ini. hihihiii..."

Mendengar kata putri tercintanya, amarah Alif mereda.

"Apapun itu, jika kalian masih terlibat masalah di sekolah, jangan harap Ayah akan menuruti apa permintaan kalian. Mobil Abang, Ayah sita selama seminggu."

"Yaaaah... Kita ke sekolah naik apa, dong?" Andra dan Aya protes serentak.

"Pake apa, Dek?"

Al tersenyum miring, lalu melepas headset di telinganya sebelum berujar mantap, "Angkutan umum diciptakan pemerintah untuk kita gunakan demi mengurangi pencemaran lingkungan berlebih dan kemacetan yang memanjang. So, mulai besok dan seminggu ke depan, selamat naik angkot, ya?"

Al dan Alif kompak terkekeh. Sangat berbanding terbalik dengan ekspresi yang ditunjukkan dua saudara kembar di sana.

Dasar ayah dan anak sama saja.

***

"TNI angkatan laut menggagalkan penyelundupan 2 ton sabu-sabu yang diangkut kapa ikan dengan bendera negara Singapura. Penangkapan ini semakin menegaskan bahwa negara Indonesia adalah pasar empuk penjualan narkoba bagi kalangan bandar internasional. Sebelum pengungkapan di Batam, sejumlah kasus narkotika kelas kakap yang melibatkan sindikat internasional pernah diungkap polisi maupun BNN. Jumlah barang bukti dan nilainya fantastis. Berikut daftarnya:..."

Daniel buru-buru mengambil remot di atas meja, lalu mematikan tv yang sedang ditonton ibunya. Kedua tangan sang ibu gemetar hebat. Wajahnya kian pucat setiap mendengar berita mengenai penangkapan narkoba di Indonesia tempatnya bersembunyi saat ini.

"Dia... Dia ada di sini. Dia akan menangkap kita di sini."

Daniel segera mendekap sang ibu erat. "Nggak, Mi. Dia nggak mungkin ada di sini dan menemukan kita. Tidak siapapun. Karena paman Sultan sudah menghilangkan jejak kita. Paman Sultan sudah berjanji sama Daniel, akan membantu menuntaskan kebejatan Daddy selama ini. Mami jangan mencemaskan hal itu. Daniel akan senantiasa menjaga Mami."

*** 

Sedikit tertebak ya kemana saya akan membawa kalian? 

Saya masih belum nemu visual yang pas buat jadi cast anak-anak Alif pas gede ini. Kira-kira siapa, ya? *Jangan orang dalam negeri. Biasanya saya kurang sreg. Wkwkwk... Saya songong kayak Alif kadang2, suka made in luar negeri. Hahah...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top