3

Matahari telah condong ke sebelah barat. Bel sekolah baru saja berbunyi menandakan pembelajaran hari ini telah usai. Aya mendesah keras diiringi kegiatannya merenggangkan lehernya yang terasa pegal.

Hampir sehari penuh mereka terperangkap dalam lingkungan sekolah, dan dipaksa terus berpikir selama kurang lebih 9 jam.

"Akhirnyaaaa... Pulang jugaaa. Huaah..." desahnya nyaring.

Di sebelahnya, Daniel melirik Aya sekilas, lalu menggosok pelan hidungnya demi mengusir aroma menyengat berasal dari napas gadis jorok tersebut.

Aya tak sadar. Ia sama sekali tak peduli dengan apa yang dilakukannya. Meskipun Daniel sudah mengatakan dengan terus terang bahwa mulutnya bau, Aya tak peduli. Bahkan sepanjang pelajaran hari ini dia tak berhenti mengganggu Daniel dengan bertanya ini-itu pada pria tersebut. Padahal Daniel jelas tak memperdulikannya.

"Ya, pulang bareng, nggak?" Hana bertanya. Ketiga sahabatnya sudah siap keluar kelas.

Aya menggeleng. "Duluan aja. Gue masih ada urusan."

Hana menjuihkan bibirnya. Ia tahu apa 'urusan' yang dimaksud gadis itu. "Ya udah. Sukses ya buat urusannya. Kita-kita balik duluan. Kejar terus, jangan sampai lepas. Oke? Fighting, Aya sayang."

Ketiga sahabat itu melambai, sembari memberikan semangat dengan mengepalkan telapak tangannya. Aya terkekeh. Ia membalas dengan kecupan jarak jauh pada mereka.

"Permisi, aku mau lewat."

Aya mendongak. Ia sedikit kaget, ternyata pria itu sudah berdiri ingin pulang. "Eh? Udah mau pulang?" Aya buru-buru memasukkan buku dan segala tetek bengeknya ke dalam tas secara asal, lalu ikut berdiri. "Ayo."

Daniel mengernyit pelan. Ia menatap Aya seolah bertanya tentang maksud kata 'ayo' yang gadis itu ucapkan.

Aya terkekeh. Ia sedikit geli saat Daniel menatapnya bingung. Sungguh menggemaskan. Tanpa basa-basi, Aya menggenggam telapak tangan Daniel, lalu menariknya keluar kelas. Daniel sedikit shock. Ia berusaha menahan diri untuk tidak menolak kasar gadis itu agar melepaskan tautan tangan mereka. Saat keluar dari kelas, cewek-cewek Labschool menatap iri pada gadis itu.

Daniel risih. Pada akhirnya, ia berhenti melangkah sehingga Aya juga ikut berhenti dan menatap Daniel dengan kedua alis terangkat.

"Kenapa?" tanyanya polos.

Daniel menatap tangan mereka yang masih bertaut. Aya mengerti maksudnya. Bukannya segera melepaskan tangan mereka, Aya hanya menaggapi dengan senyuman genit menjijikkan. "Jangan maluu. Ini 'kan hari pertama kamu sekolah di Labsky. Pasti kamu nggak ingat 'kan dimana letak parkir sekolah kita? Maka dari itu, aku bakalan tuntun kamu menuju ke sana."

Daniel mendesah. Baru sehari mereka kenal, entah kenapa dia sudah muak terhadap gadis itu. Ia ingin memaki, tapi berhubung dia adalah anak baru, ia berusaha bersabar.

Daniel melepas paksa tautan tangan mereka, lalu berkata datar pada Aya, "aku belum pikun." Dan enyah dari sana, meninggalkan Aya sendirian.

Aya tak akan menyerah begitu saja. Dengan tangkas ia berlari dengan kedua kaki pendeknya mengejar langkah Daniel yang lebar.

"Tunggu dulu." Aya kembali menarik tangan Daniel. Pria itu spontan menepisnya. Ia menatap Aya sedikit marah, dan gadis itu hanya membalasnya dengan cengiran.

"Aku cuman mau tau alamat rumahmu. Kamu tinggal di mana?" tanyanya.

Daniel menatap Aya tajam. Tanpa menjawab pertanyaan gadis itu, Daniel melangkah meninggalkan Aya.

"Dikacangin?" Aya menggeram frustasi. "Jangan menyerah Aya. Suatu saat nanti Daniel pasti berbalik mengejarmu." Gadis itu menyemangati dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Tas ransel yang ia sampirkan pada bahu kanannya, ia betulkan, sebelum melangkah riang menuju lobi sekolah mereka. Ia akan menunggu Andra di sana.

***

https://youtu.be/pmMjkMtpnTc

Wing wing wing wing

"Boomerang!" Aya mulai blingsatan.

Hey, dorabeoryeo.

"Boom boom boom boom!" Kehebohan kembali terjadi.

Ni maeum hyanghae shut hago deonjeonneunde.

"Oh my God!" Aya berteriak kencang.

Hwasareun naege, pyuuu... hago dashi nallawa.

Nal goeropine, No no no no.

"Jeongchega daeche mweonde." What!

Nareul michige hae.

"Nareul michige hae!" Kali ini tubuhnya ikut bergerak mengikuti rentak musik Kpop yang diputarnya di dalam mobil.

Nado nareum gwaenchaneunde.

"Hey!"

Eotteoke neoneun nareul jagajige haneun geonji.

I don't know know

Andra dan Al mendesah bersamaan. Mereka tak bisa melakukan apa-apa jika saudara perempuan mereka satu-satunya itu sudah menguasai mobil dengan menyetel musik Korea menghentak. Tak tanggung-tanggung, gadis itu menyetel volume-nya hingga kuping mereka terasa ingin pecah.

Andra berusaha untuk fokus pada kemudinya. Saat lampu merah, ia menghentikan mobilnya di sisi kendaraan lain yang juga sedang menunggu lampu hijau menyala. Dari balik kaca jendela mobil mereka, Andra melihat keluar. Kanan, kiri, depan dan belakang, semua pengendara menatap ke arah mobil mereka.

Bagaimana tidak? Suasana di mobil mereka yang paling heboh. Padahal Andra sudah menutup kacanya, tetap saja suara berisik dari musik yang diputar Aya masih terdengar keluar. Ditambah bahwa mobil mereka turut bergoyang karena Aya terus blingsatan melihat Kang Daniel-nya menjadi aktor utama dalam video musik Wanna One tersebut.

"Boom! Boom! Boom! Boom! Boomerang!"

"Ck, anggap aja lagi berada di kebun binatang. Berisik." Al mendumel di kursi belakang.

Andra mengetap bibir menahan tawa. Ia kemudian melirik Aya, dan beruntungnya kembarannya yang satu itu tidak mendengar apa yang dikatan Al barusan. Aya sibuk menyanyi menirukan lirik lagu berisik tersebut. "Tenang, Dek. Hari ini ayah pulang. Kita akan aman dalam beberapa hari nanti."

Al mendesah. Setidaknya ia dan abangnya akan merasa sedikit lega selama ada ayah di rumah. Pasalnya, kakaknya itu tak akan berani menyetel musik memekakkan telinga seperti ini di rumah atau dimanapun yang bisa terdengar ke telinga ayah. Jika Aya membandel, ayah mereka akan membuat Aya keluar dari Diva Dance sekolah. Tentu saja ancaman itu membuat Aya tak berani menentang.

Setelah mengendarai mobil selama beberapa menit, mereka akhirnya tiba di rumah mewah berlantai dua, dimana halamannya penuh oleh kebun ayah mereka. Jadi, selain menjadi peternak, ayah mereka juga menjadi seorang petani saat seragam pilotnya dilepaskan.

Ayah yang keren.

Tak heran jika Andra bilang ingin menjadi seperti ayahnya. Ayah yang keren, hebat, pekerja keras, dan tak pernah punya urat malu tersebut memang pantas untuk dikagumi.

"Eh? Udah nyampai?"

Al dan Andra menatapnya tanpa ekspresi. Saking asiknya mendengarkan musik, gadis itu tak sadar bahwa mobil yang mereka kendarai sudah berhenti beberapa saat yang lalu.

"Belum. Masih jauuuh." Al menyahut jutek, lalu keluar dari mobil sembari memanggul tas di bahu kanannya.

Andra menggelengkan kepalanya sebelum ikut turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah.

Bibir Aya mengerucut sebal. Ia ikut masuk ke dalam rumah sembari bersenandung, melanjutkan nyanyiannya yang tak selesai sebelumnya. Kunci mobil sang kembaran yang tertinggal di mobil, ia main-mainkan sebelum ia lempar begitu saja ke atas meja ruang tengah.

"Bundaaaa. Kakak pulaang," serunya nyaring.

"Wa'alaikumsalam." Dan Naya menyahut dengan nada tak bersahabat.

Aya menyengir. Kebiasaannya yang kadang suka lupa mengucapkan salam ketika memasuki rumah, selalu membuat gadis itu mendapat sambutan jutek dari sang bunda tercinta.

"Bunda cantik hari ini, ada apa?" ia bertanya sembari duduk di meja makan, dan mulai menyendok nasi serta lauk-pauknya ke dalam piring. Ia sudah sangat lapar meskipun tadi siang sudah jajan shomay di kantin sekolah.

Sebelum gadis itu sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, bunda menepuk pelan tangannya. "Cuci tangan dulu, Kak. Jorok banget sih jadi anak gadis," tegurnya.

"Udah bersih kok, Nda." Aya merengut tak suka. Meskipun begitu, ia tetap berdiri dan mencuci tangannya di wastafel.

Namun, meski Aya sudah melakukan apa titahnya, ibu 36 tahun itu tetap saja melanjutkan omelannya. "Meskipun keliatan bersih, dan makan pake sendok, tetep aja kalo makan harus cuci tangan. Kamu udah gede, Kak. Udah nggak sepantasnya Bunda kasih tau terus kayak anak kecil."

"Dia 'kan emang kayak bocah, Nda." Andra tiba-tiba nyeletuk, lalu ikut makan sore di meja makan. Penampilannya sudah jauh lebih rapi, wangi, dan bersih. Kebiasaan Andra sepulang beraktivitas di luar seperti sekolah dan lainnya, ia akan mandi terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas lain di rumah.

Tak lama berselang, Al juga turut duduk di sana dengan penampilan tak kalah keren dari sang abang. Ah, dua anak kesayangan Naya memang selalu keren.

Aya menyudahi mencuci tangan dan sengaja tak mau mengelapnya dengan pengelap bersih yang tersedia. Saat tiba di meja makan, ia mencipratkan air di tangannya pada sang kembaran.

Andra sontak memekik, lalu mengambil tisu untuk mengelap cipratan air di wajahnya.

Aya hanya terkekeh. Dengan santai ia mengambil kembali sendok makannya, dan menyuap makanannya lahap. Kali ini mereka makan tanpa ada perdebatan. Naya bisa sedikit lega, setidaknya ia tidak perlu mencocoli anak-anak itu racun seperti biasa.

"Bun, kok telur ceplok Al nggak ada?" Al sejak tadi celingak-celinguk mencari lauk wajibnya saat makan. Tanpa telur ceplok, Al tak akan berselera untuk makan.

"Stok telur habis, Dek. Habis kalian makan ini Bunda beli lagi, ya?" sahut Naya.

Al cemberut. Ia tetap menyendok nasi ke dalam piring. Ia kemudian melangkah ke dapur, membuka kulkas dan mengobok-obok isi di dalamnya. Naya memperhatikan. Ia tahu apa sedang putra bungsunya itu cari sekarang.

"Ikan teri habis juga?"

Tuh, 'kan.

Naya beranjak dari duduknya, lalu melangkah ke kabinet dapur dan mengambil stoples yang berisi ikan teri. "Cuma dikit, nih. Kepalanya doang. Mau?"

Al berdecak. Ia mengambil stoples di tangan bunda, dan membawanya ke meja makan. Andra dan Aya yang melihat hanya terkekeh.

"Kamu itu aneh, Dek. Lauk sebanyak dan seenak ini kamu malah nolak. Heran, kok kamu bisa tumbuh subur hanya dengan ikan teri?" Andra mengejek.

Memang benar apa kata Andra. Naya sudah berusaha memasakkan mereka makanan enak dan bergizi, tapi Al tak pernah mau mencicipinya. Anak itu hanya berselera makan jika ada telur, ikan teri mentah atau goreng, ikan tuna segar yang baru naik dari laut, sayur pare, sambal tumis bawang kucai, sedangkan ayam, daging, sayur lainnya hanya ia sentuh sedikit saja. Bagaimana Naya tidak pusing coba? Masak saja dia harus banyak pikir. Khususnya buat Al si cerewet. Makanan saja suka yang aneh-aneh.

"Ikan teri juga ikan, Bang." Al membalas cuek. Ia membuka tutup stoples, mengambil kepala ikan teri, kemudian ia lahap bersama nasi hangat.

Enak, tapi hanya menurut Al seorang. Bahkan hanya dengan kepala ikan teri, anak itu sampai nambah dua kali.

***

Disuatu lokasi tersembunyi, beberapa pasukan berseragam hitam berlari saat mendapat perintah melalui alat dengar yang terpasang di kuping mereka. Mereka adalah kawanan penyelundup barang berbahaya dibawa langsung dari suatu negara secara gelap. Berkat bantuan dan kerjasama beberapa pihak di pulau terpencil, pulau air, kawanan penyelundup itu bisa dengan leluasa berlabuh dan menyembunyikan barang berbahaya tersebut di sebuah gudang penyimpanan bawah tanah.

Selain menyelundupkan barang berbahaya ke Indonesia, mereka juga sedang menjalankan sebuah misi yang dititah oleh atasan mereka. Atasan mereka sangat berpengaruh di negaranya sebagai chairman perusahaan baja internasional yang menjadi salah satu perusahaan yang memberikan sumbangan terbesar bagi pertumbuhan ekonomi negara mereka.

Sayang, sempat anjlok selama beberapa tahun, pemilik perusahaan besar tersebut mengambil jalan pintas dengan menyelundupkan narkoba secara besar-besaran untuk disebar ke beberapa negara miskin dan berkembang. Kali ini Indonesia menjadi sasaran mereka selanjutnya. Banyaknya permintaan dari Indonesia, sang atasan memutuskan mengirim beberapa ajudan yang sudah terlatih kemampuan dan kecakapan kerja mereka untuk mengirim barang ke sana sekaligus melaksanakan sebuah misi.

Para ajudan berpakaian serba hitam memasuki sebuah ruangan khusus yang dilengkapi monitor besar. Di dalam layar, terpampang wajah sang atasan sedang duduk di singgasana kebanggaannya.

Para ajudan berbaris rapi dan teratur, sebelum memberikan penghormatan dengan menundukkan kepala mereka.

"Kalian sudah menyelesaikan pekerjaan kalian?" pria paruh baya yang masih terlihat sangat bugar itu bertanya tegas dengan bahasa dan logat khas negaranya.

Dari sepuluh ajudan, satu orang yang diutus sebagai ketua pasukan menjawab lugas. "Semua beres, Tuan."

"Buat kesepakatan kembali dengan pemilik pulau tersebut. Jangan sampai rahasia dan misi besar kita kali ini gagal. Jika hal itu terjadi, kalian akan menanggung segalanya."

"Siap, Tuan!" semua ajudan menyahut serentak.

Pria di balik layar besar tersebut tertawa merasa puas. Beliau menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi, lalu berujar congkak, "dan jangan lupa misi penting yang sudah saya titahkan sebelumnya. Cari dua orang itu dan bawa kemari secara paksa. Mengerti?"

"Siap, Tuan!"

"Bagus. Selamat bertugas."

Klik.

***

"Hari ini kalian ke sekolah Ayah yang antar."

Andra, Aya, dan Al baru saja bangun tidur pagi itu. Ayah mereka tiba-tiba berkata tegas akan mengantar mereka ke sekolah hari ini. Ketiga anak itu saling tatap dengan dahi mengkerut bingung.

Andra melangkah mendekati sang ayah yang masih mengenakan kain sarung sembari menyeruput kopi dan memainkan ponsel di ruang tengah. "Kenapa, Yah? Kok tiba-tiba?"

Aya dan Al mengangguk membenarkan pertanyaan sang abang. Keduanya juga turut duduk di sebelah sang ayah, masih dengan piyama yang dikenakannya.

Alif mengalihkan tatapannya dari ponsel pada ketiga anaknya. "Masih tanya kenapa? Mobil itu, baru Ayah beli 3 bulan lalu. Plat-nya aja masih merah. Ibarat manusia, mobil itu baru aja lahir kemarin. Tapi kenapa Ayah liat, mobil itu udah baret sana-sini? Suara mesinnya udah nggak bagus. Kaca spionnya kok nggak lurus? Kalian apakan mobil mahal itu?"

Andra meringis sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Abang apakan, Bang?" Aya dan Al kompak ikut menyudutkan. Andra mengetap bibir menahan kekesalan pada dua adiknya tersebut. Tak tahu diuntung, batinnya. Sudah diantar-jemput, malah ikut menyudutkannya di depan sang ayah.

"Andra." Alif bertanya sekali lagi.

"Errr... Ituu. Kan nggak parah banget, Yah. Cuma baret dikit, kayak sehelai rambut Kak Aya doang."

"Doang kamu bilang?" Alif meletakkan ponselnya ke atas meja, lalu menatap Andra lebih serius. "Baret sekecil itu namanya juga tetap baret, Bang. Itu kalo di cat ulang, bayarannya bisa lebih dari uang jajan kalian tiga tahun, loh. Mau kalian nggak Ayah kasih jajan selama tiga tahun?"

"Entah, si Abang. Mau Abang nggak dikasih jajan?" Aya berceletuk.

"Kalian bertiga juga sama!" bentak Alif.

Ketiga anak itu spontan terdiam. Mereka tak berani membuka suara selama ayah mereka menyelesaikan omelannya subuh kala itu. Bahkan ketiga anak itu sedikit terlambat melaksanakan sholat subuh. Beruntung bunda datang menginterupsi omelan sang suami, mengingatkan bahwa ketiga anaknya belum ada yang sholat subuh. Hingga kemudian, omelan Alif beralih dari masalah mobil ke masalah anak-anaknya yang melalaikan sholat.

Padahal ayah mereka saja yang tak berhenti mengomel, sehingga mereka terlambat sholat.

Dasar, Ayah.

Hingga di sinilah mereka sekarang. Setelah menempuh perjalanan selama beberapa menit menggunakan mobil ayah, mereka tiba di Labschool 20 menit lebih awal. Coba saja jika ayah tidak mengantar, paling cepat mereka tiba di sekolah saat bell masuk berdentang.

"Belajar yang bener. Jangan banyak molor kalo guru menjelaskan." Alif memberikan nasehat rutin, sembari anak-anaknya menyalami tangan sang ayah takzim.

"Iya, Yaah." Koor ketiganya.

"Kak Aya, jangan sampai bikin ulah lagi. Ayah nggak mau denger kamu dihukum sama guru lagi hanya karena bikin keributan atau nonjok anak orang lagi. Jadi anak gadis itu harus lembut. Paham?"

Aya menyengir. Mengangguk tapi tak menyahut. Jika seperti itu, Alif tahu jika Aya tak bisa menepati janjinya untuk yang satu itu.

"Kalo Kakak bikin masalah, Ayah bakalan sita majalah, DVD, album foto Korea Kakak. Jangan menyesal."

"Ish, iya Ayah sayaaang."

Alif mendesah. Ia ikut turun dari mobil hanya untuk mengantar kepergian ketiga anaknya masuk ke lobi sekolah.

Ayah 45 tahun yang masih terlihat gagah dan keren itu hampir masuk kembali ke dalam mobil saat ia melihat Aya bukannya masuk ke sekolah, malah menyeleweng ke arah parkiran.

Alif spontan membuka kacamata keren yang ia kenakan sejak tadi, lalu menatap tajam pria yang putrinya gandeng. Tangan Alif mengepal erat, bahkan kacamata mahal yang ia beli langsung dari Lake Forest, California itu tak sengaja ia remukkan.

"Berani-beraninya anak itu!" geramnya tertahan.

*** 

Alif yang dulu masih sama dengan Alif yang sekarang. Jangan bayangkan Alif udah jelek, keriput, ya. Alif udah saya kasih formalin biar kerennya awet. Bayangin aja dia yang sekarang segagah Joe Taslim. Ahahaha...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top