21 (END)
Harapan ingin bersama pupus seketika. Dipikir bahwa cerita Andra adalah bohong belaka. Hanya untuk membuatnya semakin terluka. Ternyata semuanya nyata. Tepat di depan mata, Daniel berlutut menangis duka di depan patung salib letak foto ibunya berada.
Agak tak percaya. Dengan kepala berputar, ia menatap bunda, Andra, Uti, Hana, dan Aha untuk memastikan bahwa apa yang ia lihat saat ini bukanlah settingan belaka hanya untuk membuatnya mundur melupakan Daniel.
"Apa... Apa semua yang kulihat ini bukan bohongan?" tanyanya tak percaya.
"Apa?" Andra balik bertanya. Jujur, ia tak mengerti arah pertanyaan sang kembaran.
"Daniel itu... beda?"
Oh, semuanya mengerti sekarang. Mereka lupa jika Aya masih tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Meskipun kemarin Andra sudah berusaha menerangkan, tapi ia yakin Aya masih tak percaya. Tiga sahabatnya juga agak terkejut ketika tiba di tempat penghormatan terakhir ibu Daniel dan melihat proses pemakaman yang berbeda dari mereka. Baru mereka sadari bahwa Daniel itu berbeda.
Daniel adalah sosok laki-laki misterius yang perlahan mulai menampakkan jati diri yang sebenarnya.
"Jangan bahas itu sekarang. Beda ataupun sama, kita harus tetap masuk dan memberikan ketenangan buat Daniel." Bunda menyela pembicaraan keduanya. Jika dibiarkan berlanjut, maka Aya akan terus bertanya hingga ia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lalu, kapan mereka baru bisa masuk ke dalam?
Semua mengangguk dan perlahan masuk ke dalam meninggalkan Aya mematung sendirian di depan pintu masuk masih dengan perasaan berkecamuk. Inikah makna sebenar ayah, bunda, dan dua saudaranya sangat tidak menyetujuinya berhubungan dengan Daniel? Apa perasaan ayah jauh lebih sensitif dibanding dirinya?
Aya memejamkan matanya sejenak. Napasnya terhembus berat, penuh beban dalam kepalanya. Gadis itu kemudian ikut masuk ke dalam, berdiri di sebelah Aha di posisi paling belakang. Bunda berada di depan, menguatkan Daniel dan mengungkapkan permintaan maafnya karena tidak bisa mempertahankan mereka berada di rumahnya kala itu. Mungkin jika Daniel dan ibunya tetap berada di rumahnya, Garnetta tidak akan pergi dengan cara tak wajar seperti ini.
Daniel hanya terdiam. Air mata remaja itu turut mengalir ketika bunda terus mengungkapkan permintaan maafnya. Sultan berdiri di sebelah Daniel dan hanya menjadi pemerhati keharuan yang terjadi. Baru ia sadari bahwa keponakannya yang malang tersebut mempunyai beberapa orang yang sangat peduli terhadapnya. Sejak tadi pelayat terus menerus berdatangan. Meskipun Garnetta sudah dimakamkan, tapi pelayat masih bisa datang memberikan penghormatan di ruang duka kompleks apartemennya.
"Kamu harus kuat, Nak. Setelah ini kamu harus bangkit. Bangun kisah baru yang lebih baik dari yang lalu," pesan bunda sebelum mundur ke belakang. Air mata Naya tak bisa dikontrol. Dadanya sesak membayangkan betapa menyedihkannya Daniel kehilangan ibu yang sangat disayangi saat sang ayah mendekam di penjara menanti hukuman mati.
Usai bunda, Andra maju. Mengesampingkan kekesalannya di masa lalu, ia turut memberikan kekuatan pada Daniel. "Gue minta maaf atas kekasaran gue kemarin-kemarin sama elo. Kemarin, bukan berarti gue benci sama loe, tapi nggak suka aja saat kembaran gue kayak dipermainkan. Tapi, sudahlah. Gue nggak kepengen bahas itu sekarang. Gue cuman mau ungkapin bela sungkawa atas apa yang terjadi. Tulus. Bukan gue mau nertawain atau mengejek elo. Gue sangat tulus mengungkapkan itu semua."
Daniel menggerakkan kepalanya menatap Andra. Tersentuh dengan kata-kata yang diucapkan pria itu padanya. Dengan suara serak, ia berusaha membalas perkataan Andra. "Makasih untuk semuanya."
Andra mengangguk. Ia kemudian memberikan tepukan semangat ke bahu Daniel, sebelum melangkah mundur.
Aha menoleh ke belakang, mengernyit ketika melihat sahabatnya yang satu itu hanya tertunduk meremas jari-jari tangannya sendiri. Ia seperti sedang gelisah. Aha kemudian menyikutnya pelan, "Loe kenapa? Nggak mau ke sana?" ia menunjuk Daniel di depan.
Aya menggeleng sebagai tanggapan. "Nggak."
"Kenapa?"
"Kak, nggak mau ke depan?" Bunda ternyata menyuruh hal yang sama. Bunda masih berusaha menyeka air matanya yang tak berhenti mengalir sejak tadi.
"Ngg..." Aya meragu. "Nggak usah aja."
"Kenapa? Dulu ngejar-ngejar sekarang kok menghindar?" heran bunda.
Aya menunduk. Jari-jari tangannya saling meremas tanpa mau menjelaskan alasannya. Mereka tak menyadari bahwa saat ini Aya benar-benar mendapat kenyataan pahit yang membuat cintanya mengambang. Seperti telor asin kekurangan garam. Tak timbul tak juga tenggelam. Mengambang tanpa kejelasan.
"Kita... pulang aja. Kepalaku pusing," ajaknya. Suaranya mulai serak dan terdengar lesu. Mendengar perubahan suara sang kembaran, Andra mulai khawatir. Pria itu mendekat, meraba dahi Aya dan semakin cemas saat merasakan suhu tubuh gadis itu mendadak panas.
"Kak Aya demam, Nda. Kita pulang sekarang."
Semua mengangguk. Bunda harus berpamitan pada Daniel terlebih dahulu untuk menghargainya. "Daniel. Tante harus pulang karena Aya mendadak sakit."
Daniel spontan berbalik. Ada raut kaget dan kecemasan terpatri di wajahnya. Ia ingin mendekat, dan menanyakan kondisi gadis itu. Tapi, ia ragu. Pada akhirnya ia hanya memberikan anggukan pelan.
Membiarkan gadis itu pergi lebih baik daripada sakit untuk mempertahankannya.
***
Senin telah tiba.
Ada yang berbeda dari seorang Aya di mata siswa-siswa kelas 11 MIA I. Mereka semua tercengang melihat perubahan aneh yang terdapat pada diri gadis tersebut. Pagi tadi, begitu tiba di kelas, Aya langsung mengambil sapu dan membersihkan lantai kelas yang berdebu. Lalu sekarang, gadis itu duduk diam sembari fokus pada buku matematika yang kebetulan hari ini akan diujikan.
Biasanya, Aya tak pernah bertingkah seaneh itu. Jangankan memegang sapu, malahan dialah biang pembuat sampah. Kertas-kertas tak terpakai dilempar begitu saja ke lantai tanpa susah payah membuangnya ke tempat sampah.
Belajar? Aya hanya bisanya mencontek pada Uti.
Hana geleng-geleng kepala tak percaya. Mereka bertiga bahkan tak berani mendekat sekedar say hi pada gadis itu.
Bukan berarti Aya tak menyadari tatapan aneh dari teman-teman sekelasnya. Ia hanya berusaha mengalihkan pikirannya dari seseorang yang ingin dilupakan. Sejak semalam, Aya sudah memulai untuk merubah perasaannya. Meskipun tubuhnya kurang sehat, ia tetap belajar giat, menghafal rumus, mengerjakan soal-soal latihan yang ada di dalam buku. Saat tak bisa menemukan jawabannya, ia akan mendatangi Andra dan meminta bantuan kembarannya tersebut.
Tak hanya teman sekelasnya yang menatapnya aneh. Bahkan Andra dan Althaf juga menatapnya sama. Tadi pagi saja, saat sarapan, bunda sampai harus menyuapi anak itu makan karena Aya asik membuka buku pelajaran mengabaikan sarapannya sendiri.
Bell sekolah sudah berbunyi. Bell pertama sebagai peringatan agar para siswa segera memasuki kelas. Bell kedua berbunyi menandakan ulangan akan segera dimulai. Bell ketiga berbunyi itu artinya ulangan sudah bisa dimulai. Semua siswa mulai sibuk mengisi data di lembar jawaban.
Aya sempat melirik ke kursi sebelahnya.
Kosong.
Sejak pertama Daniel masuk hingga sekarang, Aya dan Daniel masih duduk berdampingan. Sayangnya, sejak beberapa kasus kemarin, mereka jarang bertemu. Bahkan sepertinya Daniel juga sudah jarang masuk sekolah. Seperti hari ini.
Buru-buru Aya menggelengkan kepalanya. Daniel harus dihilangkan dari pikirannya.
"Fokus, fokus, fokus," gumamnya.
Hari pertama terlewati. Ujian mid semester terlewati dengan lancar.
Hari kedua juga sudah berlalu, juga berjalan lancar. Aya sama sekali tak butuh Uti untuk meminta jawaban atas soal-soal yang tertera di lembar soal.
Hari ketiga, keempat, hingga hari keenam semuanya berjalan lancar seperti hari biasa. Hanya saja, perasaan dan pikiran Aya tak selancar ia mengisi jawaban dari soal demi soal dari mid kala itu.
Masalahnya adalah, kenapa sampai hari terakhir mid semester, Daniel tak juga menampakkan diri di sekolah? Apakah dia sudah tak berkeinginan ke sekolah lagi? Atau ada permasalahan lain yang sedang dialaminya?
Aya sudah berencana ingin menelepon pria itu kemarin malam. Namun, urung dilakukan. Meskipun ia sudah berusaha untuk melupakannya dengan alasan bahwa cintanya untuk Daniel tidak tepat, tetap saja bayangan remaja itu masih senantiasa menghantui.
Nyatanya cinta itu sulit untuk dihilangkan dari hati dan pikiran. Meskipun hidung berdarah akibat terlalu giat belajar, tetap saja Daniel masih bisa muncul di pikirannya.
"Gimana? Mid-nya lancar? Hari ini terakhir kalian mid 'kan?" bunda bertanya begitu ketiga anaknya duduk manis menanti makan siang mereka terhidang di atas meja makan.
Mengangguki pertanyaan bunda, Andra kemudian menjawab, "Semuanya lancar, kok. Kayak biasa. Soal-soal kayak gitu mah... Keciiil..." sombongnya.
Al tak bersuara, tapi bibirnya mencebik seolah mengejek.
"Kakak gimana?"
Semua mata tertuju pada gadis yang sejak seminggu ini bertingkah aneh tak seperti biasanya. Sayang, mereka hanya menerima anggukan tanpa berniat untuk membuka suara.
Bunda dan Andra saling tatap. Mereka memaklumi perasaan gadis itu. Tanpa perlu Aya bercerita, mereka sudah mengetahui apa yang sedang gadis itu pikirkan hingga menggalau.
"Perasaan cinta emang nggak bisa dihilangkan dengan mudah, Kak. Bunda nggak maksa Kakak buat ngilangin perasaan itu sama Daniel. Melihat apa yang Kakak lakukan terhadap diri Kakak selama ini, malah membuat tubuh Kakak sakit sendiri. Biarkan perasaan itu mengalir seperti biasa. Lambat laun ia akan pergi sendiri. Kita beda, bukan berarti harus menjauhi. Cinta bukan harus memiliki, cinta sebagai teman kan bisa. Jadi, setelah mengetahui identitas Daniel yang sebenarnya, Kakak nggak boleh menjauh seperti menganggapnya musuh, gitu."
Aya tergagap begitu bunda dengan mudah menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Memang semenjak mengetahui siapa Daniel yang sebenarnya, ia langsung berubah. Seolah memaksa dirinya sendiri untuk menjauh. Ia hanya tak ingin perasaan cintanya terus tumbuh pada orang yang salah. Pada akhirnya ia hanya akan mendapat kesakitan sendiri.
Lagipula, sepertinya Daniel juga tak memiliki perasaan yang sama dengannya. Lalu, untuk apa ia bertahan dalam kesakitan?
Apakah Aya mulai menyerah?
Batin Aya bergejolak.
Apakah ia harus menyerah begitu saja?
Desahan napas Aya terhembus berat. Mengabaikan ocehan bunda dan tatapan aneh dua saudaranya, Aya memilih bungkam dan menyantap makan siangnya dalam diam.
***
"Penemuan mayat seorang wanita cukup menghebohkan seisi penghuni hotel bintang lima, Jakarta, pagi ini. Diduga, wanita tersebut tewas seminggu yang lalu karena ketika ditemukan, tubuh wanita tersebut sudah membusuk dan dipenuhi belatung. Jasad wanita tersebut pertama kali ditemukan oleh petugas hotel saat hendak memberikan peringatan bahwa penghuni kamar 102 tersebut harus chek out pada hari itu. Berdasarkan identitas yang ditinggalkan, jasad tersebut dipastikan milik Park Mi Rin. Seorang berbangsa Korea Selatan yang merupakan sekretaris seorang penyelundup narkoba besar-besaran, Mr. Il Joon Choi. Pihak kepolisian masih menyelidiki penyebab kematian beliau. Namun, diduga keras bahwa beliau adalah korban pembunuhan. Demikian headline news sore ini."
Klik.
Satu lagi korban berjatuhan. Mungkin makna 'Apa yang dituai, kita akan memperoleh hasilnya' berlaku untuk semuanya. Kejahatan yang diperbuat oleh para pelaku kejahatan, maka mereka saat ini mereka sudah menerima hasil dari kejahatannya.
Sultan hanya mendesah. Ia tak bisa menjadi seorang yang kejam pada saat ini. Seberapa kuat hatinya ingin menertawakan Mi Rin, coba untuk ditahan. Semakin para pelaku kejahatan tersebut musnah dan berhasil dibekuk, maka semakin keponakannya maju selangkah lebih sejahtera.
Hari ini ia harus pulang ke apartemen lebih cepat dari biasanya. Keponakannya masih berduka. Jika Sultan tak mengajaknya makan, maka remaja itu tak akan pernah makan. Sultan seperti mengurus bayi besar. Bahkan Sultan sudah berusaha menyuruhnya masuk ke sekolah, tapi Daniel keukeuh menolak.
"Aku mau kembali ke Korea." Sultan sedikit terkejut ketika mendengar pernyataan keponakannya malam kala itu.
"Mau apa kamu mau kembali ke sana? Paman udah bersusah payah mengusahakan agar kamu menjadi warga negara Indonesia, kamu malah mau kembali ke negara kejam itu. Nggak! Paman nggak akan kasih ijin," tolak Sultan mentah-mentah.
Daniel memasang wajah datar, seperti biasa, sebelum kembali berujar. "Aku harus kembali ke sana. Walau bagaimanapun, Korea adalah negara kelahiranku. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Mami di sana. Lagipula, nggak ada yang aku harapin dengan tetap tinggal di sini."
"Ada Paman, Kim. Apa kamu berusaha melupakan Paman? Kamu memilih kembali ke sana dan meninggalkan Paman di sini?"
"Paman bisa ikut jika mau." Daniel menyahut cuek.
Sultan mendesah. "Tapi, pekerjaan Paman ada di sini. Indonesia jauh lebih baik daripada kamu tinggal sendirian di sana. Kim, dengarkan apa kata Paman," mohon Sultan sungguh-sungguh.
"Maafkan Kim, Paman. Tapi, Kim harus tetap kembali ke sana," putusnya. Usai mengatakan hal tersebut, Daniel pergi meninggalkan Sultan ternganga tak percaya di ruang makan.
Keponakannya sudah memutuskan sesuatu tanpa mau mendengarkan apa nasehatnya. Ia ingin marah dan melarang lebih keras, tapi ia tak berhak melakukannya karena memang Kim berasal dari sana. Selanjutnya, Sultan hanya harus mengontrol remaja itu dari jarak jauh. Ia memutuskan untuk mempekerjakan salah seorang pelayan dari Indonesia untuk menemani keponakannya tinggal di Korea.
Pergi dan kembali ke negara yang telah meninggalkan kesan trauma terhadap dirinya bukanlah suatu keputusan yang mudah. Selama beberapa hari terakhir usai kepergian sang ibu, Daniel sudah memikirkannya matang-matang.
Ada seseorang yang harus ia hindari.
Aya.
Gadis itu adalah salah satu alasan kenapa ia harus pergi menjauh. Sejak awal ia sudah memikirkan dampak dari perasaan yang dimiliki dari sepasang manusia dari keyakinan yang berbeda. Baik dalam agama gadis itu ataupun agamanya, mereka tetap tak bisa bersatu kecuali ada salah satu dari mereka yang mau mengalah.
Daniel tak mungkin menjadi seorang muslim, dan Aya juga tak akan bisa menjadi seorang nasrani seperti dirinya.
Menjauh adalah solusi terbaik.
Daniel memejamkan matanya sejenak. Ia mengambil sebuah kertas dan pulpen. Selama beberapa menit, tak ada satu gores tintapun yang tertuang di lembar kertas putih tersebut. Ragu. Bingung. Tak tahu alasan dia mengambil sebuah kertas dan pulpen.
Mendadak Daniel berubah seperti orang idiot. Tangan yang memegang pulpen seolah kaku. Tak bergerak sama sekali.
Namun pada akhirnya, satu rangkai kata berhasil ia tulis.
'Maaf...'
Hanya satu kata. Setelahnya, kertas tersebut ia remas dan dilemparkan begitu saja ke dalam tempat sampah.
Lalu, kata 'maaf' yang ia tulis, bermaksud ditujukan pada siapa?
Daniel saja tidak tahu.
***
Sebulan berlalu.
Ketukan palu keputusan hakim sudah tak bisa diganggu gugat. Mr. Choi dan anak buahnya tak bisa berkilah dari hukuman yang dijatuhkan atas dirinya.
Tak mendapat hukuman mati, namun mereka dipidana dengan hukuman penjara seumur hidup.
Air mata penyesalan Mr. Choi tak bisa dibendung. Belum kering air mata pasca kehilangan sang istri akibat ulah Mi Rin, sekarang ia dijatuhi hukuman yang setimpal. Seumur hidup tak bisa merasakan udara kebebasan seperti biasa. Perusahaan baja yang digelutinya sejak awal hingga mendongkrak sukses, musnah dalam sekejap akibat aib yang dibuat olehnya sendiri.
Dirinya dikawal untuk kembali ke penjara. Ketika ia berbalik, tangis harunya kembali pecah begitu melihat sosok putranya terduduk dengan raut tanpa ekspresi menatapnya. Tak ia duga bahwa putra yang dulu hampir ingin ia musnahkan malah menemaninya dalam persidangan terakhir.
Usai bertatapan selama beberapa detik, Daniel memilih pergi. Meninggalkan sang ayah menerima hukumannya sendiri.
Perlahan semuanya akan kembali normal.
***
"Maaf. Satu kata yang aku sendiri tak tahu diperuntukkan hal apa. Hanya saja, selama ini aku merasa telah berdosa karena membuatmu berharap terlalu lama tanpa balasan.
Bukan. Bukan berarti aku kejam. Aku tidak pernah bermaksud membuatmu terluka akibat kata-kata pedas kala kamu berada dekat denganku dengan perasaan cinta yang tulus buatku.
Aku terharu, sungguh.
Justru aku sangat bahagia saat kamu ada di dekatku. Kedengarannya murahan, ya? Tapi aku tulus dan jujur mengatakannya. Hanya saja, aku tak bisa menunjukkan semua perasaan bahagiaku padamu. Karena aku berpikir untuk ke depannya. Sejak awal aku sudah tahu bahwa kita itu berbeda. Dari semua sisi kita itu berbeda. Kamu berasal dari keluarga harmonis dengan orangtua lengkap dan sangat menyayangi antara satu dengan yang lainnya. Aku bahkan hampir menitikkan air mata saat dengan kecemasan luar biasa, saudaramu datang hanya untuk menyemalatkanmu dari penculikan kala itu. Aku salut.
Berbanding terbalik denganku. Kamu sudah lihat sendiri bagaimana bejatnya ayahku. Aku minder dengan hal itu. Dan hal yang sangat membuatku tak bisa terus membiarkan perasaan ini semakin menjadi adalah...
Karena perbedaan keyakinan kita.
Sejak awal aku sudah menyadari bahwa kita itu berbeda. Aku tidak ingin perasaan ini menghilangkan akal sehat kita. Pada kenyataannya memang inilah jalan terbaik buat kita berdua. Aku berdoa siang dan malam, berharap pada Tuhan untuk membantuku mencari jalan terbaik dari semua permasalahan ini. Mungkin inilah jalan yang telah Tuhan tentukan buat kita.
Jalani hidup kita masing-masing seperti saat sebelum kita bertemu.
Belajar yang rajin dan banggakan ayah-ibumu. Karena saat mereka tak ada, kita tak bisa berpegangan pada mereka lagi. Yang ada hanyalah penyesalan tanpa arti.
Aku harus kembali ke tempat aku berasal.
Saat surat ini sampai ke tanganmu, mungkin aku sudah terbang bersama burung besi gagah yang akan mengantarkanku kembali ke tanah airku. Melupakan semua kejadian pahit dari tanah kelahiran ibuku, dan juga... Gadis manisku, Amalya Khalila. Itu adalah nama yang kamu perkenalkan pertama kali padaku. Maaf, jika aku sempat mengabaikannya.
Terima kasih. Untuk semua yang sudah kamu berikan untukku selama ini. Cintamu untukku sangat aku hargai. Tapi mulai saat ini, jangan terus pupuk cinta itu untukku. Karena mencintai yang tak pasti itu menyakitkan. Aku juga tak ingin memberikan harapan hampa pada gadis manis dan baik sepertimu.
Choi Kimmee, itu adalah namaku.
Selamat tinggal."
Aya tak bisa mengontrol laju air mata selama membaca bait demi bait isi surat yang ia terima beberapa saat lalu dari seorang tukang pos. Ia terisak. Surat pertama dan terakhir dari Daniel ia peluk erat seolah sedang memeluk Daniel.
Di muka pintu, Bunda dan Andra memperhatikan dengan kening mengkerut. Mereka sama sekali tak tahu surat apa yang sedang Aya baca sehingga menangis seperti itu. Ingin bertanya, tapi tak tega. Akhirnya mereka hanya bisa memperhatikan dalam diam.
Althaf yang kala itu baru saja keluar dari ruang kerjanya, menggeleng melihat ulah bunda dan juga abangnya.
"Kurang kerjaan," ketusnya kemudian.
Mendengar perkataan si bungsu, bunda dan Andra kompak menoleh ke belakang. Althaf tak menyadarinya karena bocah itu sudah pergi menuruni anak tangga. Andra berlari mengejar, hendak memberikan pengajaran pada sang adik kurang ajarnya agar tidak berkata sesadis itu pada orang yang lebih tua.
Menyadari bahwa posisinya sedang terancam, Althaf spontan berbalik ke belakang, lalu memecut lari menghindari kejaran sang abang.
Pada hari itu drama berakhir dengan aksi kejar-kejaran antara Andra dan Althaf seperti bocah lima tahun bertengkar karena satu permainan.
***
Tiit Tiit.
Deru mobil terdengar memasuki kawasan rumah diiringi suara klakson mobil yang ditekan.
Aya bergegas bangkit, mengintip melalui jendela kaca kamarnya, kemudian buru-buru berlari keluar dari kamar menuruni anak tangga hanya untuk menyambut kedatangan orang yang baru saja datang.
Cklek.
"Assalamu'..."
"Ayaaaaah... Hik hik hiks..."
"Eh?"
Alif mematung di depan pintu utama begitu putrinya tiba-tiba datang dan memeluknya erat diiringi suara tangisan.
Alif bingung. Ia kemudian menatap istrinya yang berdiri diam di belakang putrinya, meminta penjelasan melalui ekspresi wajahnya. Namun, Naya hanya memberikan gedikan bahu. Ia juga tak tahu penyebab putrinya bertingkah seperti itu. Padahal kemarin sempat bilang membenci ayah. begitu ayah kembali, anak itu langsung nemplok seperti anak koala.
Naya mengambil alih navigation bag sang suami, lalu memberikan isyarat untuk menenangkan tangisan Aya dalam pelukan pria itu. Alif menaikkan sebelah alisnya. Bukan tak ingin melakukannya. Tapi dengan alasan apa ia harus melakukan itu?
Naya mengetap bibir, ingin marah. Melihat hal itu, buru-buru Alif melakukan apa yang diisyaratkan sang istri. Ia akhirnya membalas pelukan Aya tak kalah erat. Alif menyeret langkahnya masuk ke dalam tanpa melepaskan pelukan Aya padanya. Mereka berdua persis seperti induk monyet dan anaknya.
"Kakak kenapa?" Alif bertanya begitu pantatnya berhasil menyentuh sofa empuk di ruang tengah. Aya tetap tidak mau melepaskan pelukannya dan isakannya sama sekali tak berhenti. Alif jadi bingung sendiri. Apa putrinya sedang mengigau?
Sroook.
Alif mengernyit jijik begitu suara tarikan elemen cair menjijikkan dari lubang hidung unik sang putri terdengar menyentak kotoran kupingnya.
"Hik hiks... Ayaaah. Maafin Kakaaak. Hik hiks..."
Mendengar suara isak tangis dari arah ruang tamu, Althaf yang kala itu sedang asik bermain bersama Emamora langsung turun dan mengernyit begitu melihat kakaknya bertingkah seperti bocah. Bola matanya ia putar malas, lalu kembali naik ke lantai atas.
Kurang lebih sama seperti Althaf, Andra kala itu sedang melakukan ritual wajib di toilet, dan buru-buru menyelesaikannya paksa begitu suara tangisan itu terdengar hingga ke toilet belakang.
"Ada apa, Nda?" tanyanya pada bunda sembari membetulkan letak boksernya yang belum menutupi sempurna.
"Nggak tau. Liat aja gimana kelanjutan dramanya," sahut bunda santai.
Andra mengangguk. Ia dan bunda duduk di ruang makan, menyanggah dagu menggunakan tangan menyaksikan drama live di depan mata.
"Maaf untuk apa?" Alif bertanya.
Pelukan Aya semakin erat. Hidung beceknya ia gosok-gosokkan begitu saja ke baju pilot sang ayah, kemudian mengangkat wajahnya menatap wajah ayah. "Kakak udah bikin dosa sama Ayah. Kakak nggak dengerin apa kata Ayah. Maafin Kakak, Yah. Maaf karena kemarin Kakak udah bilang benci sama Ayah. Kakak bohong, Yah. Kakak sayang sama Ayah. Maafin Kakak, Yaaah. Hiks hiks..."
Sebelah alis Alif naik ke atas. Jadi, karena itu?
Pria itu kemudian mendesah. Aya kembali ia bawa ke dalam pelukannya, mengusap punggung putri kesayangannya dengan sayang. "Iya. Ayah bahkan udah lupa masalah itu. Jangan ulangi."
Aya mengangguk mantap.
"Apa ini karena Daniel? Bagaimana kabarnya?"
Aya mendongakkan wajahnya dengan wajah jelek, sembab oleh air mata. Namun, dengan sangat telaten Alif membantu mengusap wajah putri cantiknya menggunakan seragamnya sendiri. Sudah kepalang kotor, lanjutkan sajalah.
"Dia udah pulang ke Korea, Yah. Ayah bener. Dia bukan yang terbaik buat Kakak," jawab Aya.
"Kenapa? Apa dia udah bikin anak Ayah ini terluka? Dia main kasar? Atau apa? Kalo iya, Ayah nggak bisa biarin. Enak aja dia bikin anak Ayah kayak gini." Ah, Alif kadang memang suka marah-marah sendiri sebelum mendengar apa yang terjadi hingga akhir.
Dasar, Pak Tua.
Aya menggeleng. "Bukaaan. Daniel itu tetap anak baik. Kakak yang mundur duluan karena sadar bahwa kita itu beda. Kakak jatuh cinta sama orang yang tidak tepat."
"Oooh. Itu." Alif manggut-manggut. Alif sudah tahu, kok. Andra yang bilang.
"Ayah tadi udah ketemu sama dia di bandara. Dia memang anak baik. Dia minta maaf sama Ayah tanpa alasan yang jelas. Dan dia juga titip salam buat semuanya di sini."
"Wa'alaikumsalaaam..." Andra dan bunda menyahut kompak dari ruang makan.
"Udahlah. Belajar lupakan dia. Perjalanan kalian masih panjang. SMA aja belum lulus, kok. Jangan bahas cinta-cintaan dululah, ya? Ayah melarang karena memang ada mudharatnya. Liatkan sekarang? Kakak yang sakit sendiri. Mulai sekarang, belajar yang giat aja dulu. Kelarin SMA, habis itu terserah mau lanjut ke mana. Mau nikah? Ayah kasih restu kalo ada calon yang tepat. Kalo jodoh udah datang, buat apa Ayah halang-halangin? Cuman, Ayah kasih pesan, jangan buru-buru juga nikahnya, sih. Ayah nggak siap dipanggil kakek."
"Pffft..." Lagi-lagi bunda dan Andra kompak. Keduanya kompak menahan tawa begitu mendengar kalimat terakhir ayahnya.
Dasar, si Tua tak sadar diri.
"Hik... Apa kata Ayah ajaa. Kakak ikut."
Alif tersenyum bangga. "Bagus, itu baru anak Ayah. Ngomong-ngomong, nggak mau main ke rumah Mas Yubi? Barusan Ayah ngeliat dia buang sampah di depan. Apa anak itu udah selesai kuliah di Australia?"
"Mas Ubi?" Mendengar nama sosok teman masa kecil tetangga sebelah rumahnya tersebut, Aya spontan bangkit. Semangatnya kembali hadir, lupa akan masalah cinta pertama yang telah pergi meninggalkannya. Ia hanya ingin bertemu Mamas Ubi-nya sekarang.
Anak itu berlari, berteriak histeris penuh kegembiraan menuju rumah di sebelah rumahnya.
"Mamas Ubiiii... Udah pulang kok nggak bilang-bilaaang? Huahahahaha... "
Bisa dipastikan setelah itu akan terjadi kehebohan yang tak terkontrol akibat ulah Aya. Alif yakin, setelah ini ia harus memaksa putrinya pulang dengan cara menariknya pergi. Jika sudah bertemu Mamas Ubi-nya, ia seolah lupa waktu.
Yubi tetap memperlakukan Aya seperti dua belas tahun lalu. Karena Aya adalah adik kecilnya yang menggemaskan. Hanya Yubi satu-satunya orang yang tidak lelah menghadapi tingkah ajaib Aya. Keduanya sangat menyukai permen kaki, sehingga tak heran jika dalam sehari mereka akan menghabiskan satu pack permen kaki saat bersama.
Cinta Aya pada Daniel, sama seperti cintanya pada permen kaki. Melupakan Daniel sulit ia lakukan seperti ia dipaksa berhenti mengemut permen kaki. Permen kaki adalah segalanya.
***
Cinta monyet bisa bertahan sampai akhir atau berhenti dipertengahan. Jika cinta sudah tak bisa dipertahankan, untuk apa memaksa bersama?
Orangtua kolot bukan berarti bodoh. Mereka tahu mana yang terbaik dan mana yang tidak untuk anak-anaknya. Jika orangtua bilang tidak, tidak ada salahnya kita mematuhinya. Insting orangtua biasanya lebih tajam dari sang anak. Oleh karenanya, jika orangtua mengatakan 'jangan', maka jangan pernah lakukan.
Ingat, penyesalan tidak pernah berada di awal. Penyesalan tak bisa diobati dengan permen kaki. Penyesalan bisa diperbaiki saat kita mau memperbaiki kesalahan.
*** END ***
Selesai juga dalam waktu singkat. Dari bulan maret yak kalo gak salah. Sekitar 3 bulan. Cukup menguras otak dan tenaga. Huuuft
Beneran end. Gak ada extra part. cukup sampai di sini aja, ya.
Sequel? Masih dalam tahap dipikirkan. Soalnya dulu udah ngerelain Ayah Andi dan Mama DInda jadi kakek nenek, kali ini agak gak rela mereka jadi buyut dan Alif jadi Kakek. Ku gak relaaa. Alif itu kesayangaku sejak orok. Bahasa planet tercipta pertama kali oleh dia. Bau ompolnya aja masih kecium kok sampe sekarang, tiba-tiba udah jadi kakek aja. Huaaaa... Aliiiip...
Baaai Permen Kaki Ayaaa...
Baaaai...Omaaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top