16
Ketua kantor kejaksaan tampak gelisah. Sudah dua hari ini dua anak buahnya menghilang setelah meminta ijin untuk melaksanakan tugas di kepulauan seribu. Seluruh pegawai kantor heboh dan berasumsi buruk mengenai apa yang mungkin sedang terjadi dengan dua pria itu di pulau kecil dimana para kriminalitas sedang beroperasi. Kejaksaan sudah bekerjasama dengan kepolisian untuk menyelidiki lebih dalam pulau pribadi tersebut. Meskipun sang pemilik pulau sudah ditahan untuk dimintai keterangan, tapi penjahat yang sebenarnya masih bebas beroperasi dengan cerdas.
"Kepolisian setempat sudah menyelidiki seisi pulau tersebut, tapi mereka tidak menemukan bukti apapun menyangkut tuduhan kita. Tidak ada kapal asing, tidak ada barang berbahaya, tidak ada narkoba, dan tidak ada penyelundupan apapun di sana. semuanya bersih." Kejaksaan sedang melakukan sebuah rapat kecil di ruang rapat dan anggota tim Sultan yang tidak ikut bersama beliau mencari bukti di lokasi kejadian, mempesentasikan hasil laporan yang diterima dari kepolisian.
"Ini aneh. Apa mungkin warga yang melapor itu memberikan laporan palsu? Tapi dari foto yang ada di tangan kita, jelas bahwa kapal yang memasuki wilayah mereka tersebut bukan kapal kita melainkan kapal asing yang tidak pernah kita lihat sebelumnya. Apa mungkin pihak kepolisian melewatkan sesuatu?" ketua jaksa mengerutkan dahi penuh kebingungan. Menyelesaikan kasus dengan bukti yang kurang akurat memang cukup membuat mereka pusing bukan main.
"Tapi, ada satu hal yang mereka temukan di sana." rekan Sultan kembali melanjutkan. Hal itu membuat ketua jaksa kembali bersemangat mendengarkan.
"Mereka melihat Mr. Choi, pemilik perusahaan baja internasional tersebut berada di sana bersama beberapa staffnya. Menurut saya, hal ini cukup aneh dimana biasanya orang kaya dunia seperti beliau lebih memilih berlibur ke pulau kecil tersebut dibanding ke pulau-pulau lain seperti Bali misalnya. Apalagi ditambah dengan berbagai kecurigaan kita terhadap pulau tersebut membuat saya berasumsi lain bahwa Mr. Choi terlibat dalam kasus ini."
Mendengar penuturan terakhir Jian –anak buah Sultan- tersebut, anggota tim lain spontan menghentak meja. Matanya melotot tajam pada Jian tak setuju dengan pendapatnya. "Kamu jangan sembarangan menuduh orang seperti itu. Mr. Choi, orang seterkenal beliau tidak mungkin terlibat dalam kasus ini. Lagipula, kita tidak punya bukti apapun. Semuanya omong kosong, bahkan Sultan dan Bayu tak memberikan kabar apapun setelah menyelidiki tempat tersebut. Saya curiga mereka berdua bukan untuk bekerja malah bersenang-senang di sana."
"Kenapa kamu bisa semarah itu, ha? Saya hanya berpendapat saja. Saya tidak menuduh beliau. Lagipula, bagaimana kamu bisa menuduh Sultan dan Bayu begitu saja setelah bertahun-tahun kita mengenal mereka berdua. Kamu aneh," balas Jian ketus.
"Tenang! Jangan bertengkar di ruang rapat saya. Kita semua bebas berpendapat. Tapi alangkah baiknya pendapat yang kita utarakan disertai bukti agar tidak merugikan pihak manapun. Sekarang, untuk meng-clear-kan masalah ini, kita tingkatkan penyelidikan kita. Keberadaan Sultan dan Bayu juga kita cari tau. Bukan dengan pertengkaran seperti ini. ingat, meskipun kasus ini sebenarnya menjadi tanggung jawab tim Sultan, tapi kita semua harus tetap bekerja sama. Paham?" semua mengangguk, kecuali Jian dan Louis yang masih saling menatap tajam.
"Kalau begitu, rapat saya tutup. Kembali bekerja. Selamat siang." Ketua jaksa berdiri. Namun, sebelum beliau benar-benar meninggalkan ruang rapat, beliau berkata pada salah satu anak buahnya, "Rio, kamu buat laporan kerjasama yang baru pada kepolisian. Sepertinya hari ini kita lembur, nanti malam kita adakan rapat kembali." Rio menganggukinya.
Jian dan Louis saling menatap tajam begitu rapat usai. Hal ini menimbulkan tanda tanya dalam benak Jian mengenai pria itu. Mereka memang berbeda tim dengan Louis. Mereka sering beradu argumen, tak hanya ketika rapat bahkan di luar rapat sekalipun mereka sering beradu argumen. Hanya saja, Louis tidak pernah sekesal ini sebelumnya. Bahkan menghentakinya meja? Entah apa yang sedang merasuki pria blasteran tersebut.
***
Gelap.
Pengap.
Sesak dan sakit.
Itu yang dirasakan Sultan begitu pertama kali ia membuka mata. Punggungnya sakit. Ia melenguh karenanya. Kaki dan tangannya terikat dengan posisi terduduk di sebuah kursi tua. Mereka disekap. Kepalanya ia tolehkan ke sebelah kanan, Bayu juga diperlakukan sama oleh orang-orang yang menyekap mereka. Tubuh keduanya babak belur dengan darah yang hampir mengering di beberapa bagian tubuh mereka. Wajah mereka lebam di sana-sini. Sungguh menyakitkan.
Terhitung sudah tiga hari ini mereka disekap oleh penjahat incaran mereka. Mereka dihajar tanpa ampun karena sudah berani menyusup ke kawasan tersebut.
Sepuntung rokok menyala dan tersisa separuh terlempar ke dekat Sultan. Kepalanya terangkat. Saat itu ia baru sadar bahwa aktivitasnya sejak tadi terus diawasi orang-orang berseragam hitam. Matanya membelalak begitu melihat sosok pria yang sangat ia benci sedang duduk dengan kaki bersilang sedang tertawa melihat kondisi Sultan.
"Kau!"
Pria paruh baya tersebut terbahak, kemudian berdiri dan melangkah mendekati Sultan. Dua anak buahnya mengikuti di belakang membawa balok kayu, seolah siap menghabisi nyawanya.
"Apa kabar, adik ipar? Bagaimana kabar istriku saat ini, hm?" pria itu terkekeh. "Kamu itu keterlaluan. Teganya kamu menyembunyikan istri dan anakku jauh dariku. Aku merindukan mereka, kamu tau itu? hm?"
Sultan kontan mendecih kasar. Ia muak pada pria itu, dan Sultan tahu bahwa mantan kakak iparnya tersebut hanya berpura-pura.
"Sudah kuduga jika kamu biang permasalahan di sini. Kamu memang pria brengsek, dan aku menyesal pernah memanggilmu dengan sebutan kakak ipar. Gelar tersebut sangat tidak pantas kamu sandang. Kau akan menyesal karena sudah menyia-nyiakan kakakku dari hidupmu. Ingat, meskipun bukan dari kakakku, kau akan tetap jatuh. Kekayaanmu tidak akan pernah membantumu. Bahkan anak buah brengsekmu itu akan ikut bersamamu."
Mr. Choi terbahak. "Benarkah? Kalau begitu, aku takut sekaliii... Oh, iya. Aku lupa jika kamu seorang jaksa, iya, 'kan? Itu sebabnya kamu membuntutiku sampai di sini? Waaah... kamu luar biasa berani. Tapi sayang, setelah kamu bertemu denganku di sini, kamu tidak akan pernah bisa kembali. Satu hal yang harus kamu ketahui juga, usahamu untuk menyelamatkan kakak dan keponakanmu itu tidak akan pernah berhasil."
"Apa maksudmu!"
Sudut bibir Mr. Choi tersungging. Beliau meminta ponselnya dari sang anak buah. Satu buah video beliau perlihatkan pada Sultan.
Mata Sultan membelalak.
Jantungnya berdetak tak karuan ketika isi video tersebut memperlihatkan dua orang tersayangnya sedang diperlakukan tidak manusiawi.
"JANGAN PERNAH SAKITI MEREKA!!" Sultan spontan berteriak murka. Matanya memerah dan ia sendiri berusaha terbebas dari kungkungan tali yang mengikat tubuhnya. Akibat teriakannya tersebut, Bayu tersadar. Pria itu lumayan kaget saat sadar bahwa tangan dan kakinya terikat dimana para penjahat itu mengelilingi mereka.
Mr. Choi kembali terbahak. Ponselnya kembali ia serahkan pada anak buahnya, lalu melangkah mendekati Sultan. "Apa kau lupa, siapa yang membantumu menjadi seorang jaksa? Apa kau lupa bagaimana kalian hidup enak setelah aku memungut kalian dari kemiskinan? Tapi apa balasan kalian! Saat aku terpuruk, kalian malah ikut memojokkanku. Kakakmu sengaja merekam kegiatanku dan mengancam dengan menyebarkannya. Lalu sekarang kau juga akan menjatuhkanku? Luar biasa. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan keluarga tidak tau berterima kasih seperti kalian."
"Apa kau buta, ha! Apa matamu sudah buta sehingga tidak bisa melihat bagaimana cinta yang diberikan kakakku terhadapmu? Kau menyia-nyiakannya begitu menemukan wanita lain yang jauh lebih cantik dan seksi. Kau yang memulai menyakitinya. Bahkan kau tidak percaya bahwa bukan kakakku yang melakukan semua yang kau tuduhkan tersebut! Kau akan menyesal karena telah melakukan itu pada kami!"
Mr. Choi tertawa congkak. Tak ingin meladeni Sultan lebih lama yang hanya membuang-buang waktunya, ia memilih pergi. Tapi sebelum itu, ia memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi Sultan dan temannya.
Rintih kesakitan terdengar menyayat hati. Bagi mereka yang tak punya hati, suara rintihan tersebut dianggap cicitan suara burung di pagi hari.
Kejam.
Satu kata yang sudah melekat dalam diri para penjahat kelas kakap tersebut.
Mr. Choi memerintahkan anak buahnya untuk membukakan pintu otomatis kapal agar ia bisa keluar. Namun sayang, tanpa pernah mereka duga sebelumnya, di depan pintu kapal puluhan polisi mengepung mereka.
Mereka terciduk dan tak bisa berkilah. Mereka seperti harimau yang kehilangan kaki. Pada akhirnya jatuh juga.
***
Beberapa waktu lalu di villa persembunyian Daniel.
Rabu hari itu, Daniel kembali tak masuk sekolah karena kondisi tubuhnya masih tidak memungkinkannya beraktivitas seperti biasa. Akibat luka tembakan hari minggu kemarin, lengan kanannya tak bisa digerakkan.
Sakit dan nyeri. Itu yang dirasakan pria keturunan Korea-Indonesia tersebut.
Meskipun ia sudah berusaha menyembunyikannya dari sang ibu, pada akhirnya ketahuan juga. Sangat tak bisa dielakkan ketika jelas terlihat oleh sang ibu dimana putra satu-satunya yang dimiliki tak terbangun seharian senin kemarin. Wajahnya pucat pasi. Sang ibu cemas. Beliau meraba dahi sang putra dan memekik cemas saat suhu tubuh Daniel di atas rata-rata.
Pekikan beliau kembali terdengar saat melihat rembesan darah mengotori sprei. Begitu diperiksa, luka di lengan Daniel hampir terinfeksi. Pada saat itu juga ibunya menghubungi dokter kepercayaan Sultan untuk memeriksa keadaan Daniel.
Rabu siang kala itu, Daniel bersama ibunya sedang istirahat bersama di ruang tengah. Puding cokelat buatan sang ibu menjadi makanan pencuci mulut usai makan siang kala itu.
"Bagaimana dengan lukamu, Nak? Udah baikan?"
Daniel menanggapi hanya dengan anggukan. Mulutnya terus mengunyah puding buatan sang ibu dan matanya terfokus pada layar tv yang menayangkan film action.
Sang ibu melihat tayangan yang ditonton sang putra, lalu berkata, "Itu yang kamu turuti, makanya nekat bertarung dengan anak buah ayahmu itu?"
Daniel menoleh pada sang ibu, "Kim nekat karena ingin menyelamatkan nyawa orang yang nggak seharusnya terlibat dalam masalah kita."
"Apa hanya itu? Bukan karena kamu menyukainya, 'kan? Siapa gadis itu?" selidik sang ibu serius.
"Bukan siapa-siapa, Mi. Dia hanya teman sekelas Kim yang iseng dan selalu ingin tau masalah orang lain. Itu sebabnya dia bisa menjadi sasaran penjahat-penjahat itu. Kim nggak suka dia," sahut Daniel ketus.
Hal berbeda ditunjukkan Garnetta –Ibu Daniel. Beliau tersenyum penuh makna. Daniel lupa bahwa beliau adalah orang yang sudah mengandung, melahirkan, dan merawat Daniel hingga sebesar sekarang ini. Sudah tentu Garnetta tahu perasaan sebenar dari putranya sendiri.
"Gitu, ya?" tanya Garnetta kembali, dan Daniel menganggukinya mantap. Tapi setelah itu raut wajah Daniel berubah. Terlihat seperti menyesali jawabannya.
Garnetta kembali tersenyum. "Setau Mami, dulu kamu nggak pernah sepeduli itu sama orang lain. Kok sekarang tiba-tiba berubah?" godanya kemudian.
Daniel spontan menatap sang ibu. bibirnya mengerucut lucu. Garnetta melihat Daniel seperti sepuluh tahun lalu saat ia malu-malu mengakui telah menyukai seorang gadis kecil di Sekolah Dasar.
"Mami!" pekik Daniel tak terima.
Alhasil, Garnetta tertawa terbahak-bahak. Ia berhasil menggoda putra besarnya hari ini. Kekesalan Daniel pada sang ibu teralih ketika ponselnya berdering menandakan ada sebuah panggilan masuk di sana.
Pemanggil baru. Hal itu Daniel ketahui karena nomor tersebut tak ada dalam daftar kontaknya.
"Siapa?" Garnetta bertanya.
"Kim juga nggak tau, Mi. Nggak ada namanya."
"Angkat aja. Siapa tau Pamanmu. Udah beberapa hari ini Sultan nggak menghubungi kita. Mami jadi khawatir sama dia."
Mendengar saran sang ibu, Daniel memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut. Sebelum berhasil mengangkatnya, panggilan itu mati. Tak lama kemudian, muncul kembali. Daniel tangkas menggeser ikon hijau untuk menerima panggilan tersebut. "Halo?"
"Alhamdulillaaaahh... Ahahahahaha... Nggak sia-sia usaha gue buat dapetin nomornya. Ahahahaha..."
Tanpa perlu berpikir keras menerka siapa si pemanggil tersebut, Daniel sudah mengetahui siapa dia. Wajahnya langsung berubah datar, dan semua itu tak luput dari tatapan sang ibu.
"Darimana kamu dapetin nomorku?" ketus Daniel.
"Sama Pak Asto. Hihihi..."
Daniel sangat tahu siapa beliau. Pak Asto adalah staf TU yang bertugas memegang data-data siswa di Labschool, dan Daniel tak tahu apa yang sudah dilakukan gadis itu hingga berhasil membujuk Pak Asto yang mudah dirayu.
Daniel Mendengus.
Garnetta sempat memukul lengan anak itu tepat di lukanya yang belum kering. Daniel spontan berteriak kesakitan dan menatap sang ibu dengan mata melotot. Garnetta membalasnya dengan pelototan tak kalah tajam. Pada akhirnya, Daniel memilih mengalah. Ia mengerti maksud geplakan yang diberikan sang ibu padanya barusan.
"Kamu kenapa? Kamu masih sakit? Kamu sakit parah, ya? Apa karena nyelamatin aku waktu itu? Ya ampuuun. Aku ke sana, ya? Aku mau jengukin ka..."
Tuut... tuuut... tuut...
Daniel mengernyit ketika panggilannya tiba-tiba terputus. Ia memeriksa sinyal di ponselnya, tapi sinyalnya baik-baik saja dan penuh.
"Kenapa udahan? Dia siapa? Gadis itu, ya? Kok nggak diajak ke sini aja?" tanya sang ibu beruntun dan terlihat antusias.
Daniel berdecak. "Mami kenapa tadi pukul-pukul Kim, sih?"
"Kamu yang salah. Sama anak gadis orang jangan begitu."
"Kok Mami tau dia gadis?"
"Mami ini ibumu. Mami tau hanya melihat dari ekspresi wajahmu. Jangan pernah bohong deh sama Mami," sahut sang ibu. Daniel lebih memilih diam dengan wajah tertekuk sebal. Garnetta gemas, lalu mencubit pipi bocah itu hingga sang pemilik pipi berteriak kesakitan.
Ibu Daniel kadang sangat menyebalkan saat Daniel mengungkit masalah gadis sedikit saja.
Mungkin Garnetta tak memiliki anak gadis sehingga memaksa Daniel untuk mengenalkan kekasihnya pada beliau.
***
Grep!!
"Ayaaaah..."
Aya langsung merengek begitu ia asik teleponan dengan Daniel, ayahnya tiba-tiba merampas ponsel dari tangannya.
Alif tak banyak bicara. Setelah merampas ponsel anak gadisnya, ia pergi dari kamar Aya membawa ponsel gadis itu bersamanya.
Aya membuntuti sang ayah dari belakang dengan rengekannya.
Alif melangkah lurus menuju kamar Al dan Andra. Tiba di sana, Alif langsung memanggil Althaf. "Dek, cari tau identitas bocah itu. Di mana dia tinggal selama ini."
Aya cemas. Untuk apa ayahnya mencari tahu alamat Daniel? Apa yang akan ayahnya itu lakukan terhadap pria itu?
"Ayah... Ayah mau ngapain cari tau alamat dia?" tanyanya cemas. Ia takut ayahnya ingin menggebrak pria itu, atau paling parah, memukulinya sekalian. Jangan sampai itu terjadi.
"Dek! Kenapa masih disitu? Cepetan!" bentak Alif. Pasalnya Althaf hanya terbengong di kursi belajarnya melihat kakak dan ayahnya di depan pintu kamar.
Buru-buru Al mengambil ponsel Aya dari sang ayah, kemudian mencari kontak Daniel dan mulai menjalankan titah sang ayah.
Hanya pekerjaan mudah. Dalam beberapa menit saja keberadaan Daniel sudah berhasil Al lacak.
Anak jenius.
Alif sempat berdecak takjub.
Usai mengantongi alamat Daniel, Alif bergegas pergi dengan wajah penuh amarah. Aya semakin ketar-ketir. Ia bahkan menarik tangan sang ayah agar berhenti melangkah. Tapi Aya hanyalah bocah kecil yang kekuatannya tak mampu menghentikan langkah Alif.
"Ayaaah. Hik... Jangan sakiti Daniel, Yaah. Jangan ke sana. Kakak minta maaf sama Ayaah. Kakak nggak akan deketin dia lagii. Kakak janji, Yaah. Hiks hik..."
Alif berhenti. Aya pikir ayahnya berubah pikiran dan termakan rayuannya. Tapi nyatanya...
"Abang mana, Nay?"
"Ha?" Naya kala itu sedang mengangkat jemuran dari halaman belakang ketika suaminya tiba-tiba menanyakan keberadaan Andra.
"Andra manaa? Budeg atau gimana, sih?"
"Eh?" Naya mengerjap beberapa kali. Ia tak tahu jika suaminya sedang marah saat ini.
"Kan tadi Ayah bilang, Abang langsung ke rumah Eggy." Naya mengingatkan pria itu bahwa Andra sudah ijin pada Alif untuk pulang bersama Eggy ke rumah sahabatnya itu.
Alif mendengus. Ia melepas paksa genggaman Aya dari tangannya, dan menyuruh Naya mengurung anak itu di kamarnya hingga dia tiba kembali di rumah.
"Ayah mau ke mana?" Naya bertanya sedikit cemas karena pria itu tampak marah sekali.
"Jangan urusin masalah itu! Lakukan apa yang kusuruh!"
Brak!
Pintu rumah ditutup dengan keras. Naya bahkan berjengit kaget karenanya. Wanita itu kemudian menatap Aya yang juga sedang menatapnya sambil menangis sesegukan.
Naya mendesah. Ia melepaskan pakaian baru kering ke lantai begitu saja, lalu beranjak untuk memeluk sang putri.
"Ada apa lagi? Kakak jangan bikin ayah marah lagi, Kak. Kakak nggak capek bikin ulah terus? Kakak sama Abang aja belum baikan sampai sekarang gara-gara masalah sepele. Kakak tau ayah itu temperamennya suka meledak-ledak. Kasian kita semua jadi sasaran amukan ayah. Kakak nggak pernah kapok?" Naya menasehati dengan lembut sembari membelai rambut awut-awutan anak gadisnya.
"Ayah nggak ngerti, Ndaa. Hikss... Ayah nggak ngerti perasaan Kakaak. Sampai kapan Kakak terus dikekang seperti tahanan kayak gini? Hiks... Ayah egois. Ayah nggak punya perasaan. Apa Kakak salah suka sama Daniel?"
"Nggak salah suka sama dia, Kak. Ayah juga nggak sepenuhnya salah. Ayah hanya ingin kalian fokus pada sekolah dulu, baru pacaran. Lagian Kakak itu sekali suka cowok sampe nekat gitu? Kalo Kakak diapa-apain dia, gimana? Itu yang bikin ayah bertindak seperti ini. Tadi, ayah mau ke mana?"
"Hiks... Ke rumah Daniel. Kayaknya ayah mau labrak Daniel. Hiks, Bundaa... hentikan ayah, Ndaa... Daniel nggak salah."
"Ayah nggak mungkin nyakitin dia. Sekarang Kakak masuk kamar. Jangan nambah kemarahan ayah. Ayo, masuk."
Naya menggiring paksa Aya memasuki kamarnya. Di depan pintu kamar sebelah, Al berdekap tangan memerhatikan drama yang terjadi. Ia kemudian mendengus, "Biang masalah," sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Sebagai seorang ibu dari tiga anak-anak itu, Naya sudah terbiasa menghadapi tingkah ketiganya. Disaat seperti ini, Naya hanya bisa menggelengkan kepala. Selama tak ada pertengkaran hebat, ia tak perlu ikutan mengamuk seperti Alif lakukan beberapa hari ini.
***
Dalam perjalanan, Alif mencoba menghubungi Andra. Selama beberapa kali panggilan, tak ada satupun yang diangkat anak itu. Alif mengerti jika Andra masih sangat marah padanya sejak kejadian ia menamparnya hari itu. Usai kejadian hari itu, Andra tak mau bicara pada sang ayah, bahkan selalu melewatkan jadwal makan bersama di meja makan.
Seperti saat ini saja, pulang sekolah tadi, bocah itu tidak langsung pulang ke rumah melainkan pergi ke rumah Eggy.
Alif kembali menghubunginya. Kali ini, panggilannya ditanggapi.
"Ada apa?" sahutannya terdengar datar, seolah malas untuk meladeni. Alif bisa mengerti itu.
"Kamu masih di rumah Eggy?"
"Hm..."
"Susul Ayah. Ayah akan kirim alamatnya."
Terdengar decakan dari seberang telepon. Jika dalam keadaan normal, mungkin Alif sudah memarahi sikap tak sopan Andra barusan.
"Mau ke mana, sih?"
"Ke rumah Daniel. Jangan banyak tanya. Temenin Ayah ngelabrak dia."
"Ayah kurang kerjaan banget, sih. Jangan bertingkah melebihi kelabilan Aya, deh."
Alif berdecak. "Kamu mau Ayah maafin apa nggak?"
"Idiih. Emang Abang bocah empat tahun pake ancaman kayak gitu? Iya deh, iya. Nanti Abang ke sana bareng Eggy. Tapi, Abang cuma nemenin, ya. Nggak ikutan ngelabrak. Bikin malu aja."
Alif terkekeh pelan. Nyatanya Alif memang tak bisa marah lama dengan anak-anaknya. Demikian juga anak-anaknya. Mau sehebat apapun kemarahan Alif kala itu, beberapa waktu kemudian akan membaik juga dengan sendirinya.
"Oke, Ayah tunggu. Ayah nggak mau mukulin anak orang, kok. Cuma mau kasih nasehat supaya nggak deketin Aya lagi."
"Hmm... Abang ngerti."
"Ya udah. Ayah udah mau nyampe, jangan lama-lama."
"Hmm..."
Tak butuh waktu lama Alif sudah tiba di depan sebuah villa yang tampak sederhana jika dilihat dari luar. Tapi, pria itu tak tahu bahwa di dalam bangunan yang tampak sederhana tersebut terdapat beberapa bagian istimewa di dalamnya. Termasuk garasi dan ruang bawah tanah.
Inti-intip dari luar, Alif tak melihat adanya kehidupan di rumah tersebut.
Sepi.
Hanya ada suara cicitan burung hutan menemani kesendirian Alif. Jika melihat situasi rumah seperti ini, Alif jadi meragukan Althaf kali ini.
"Apa Al salah melacak, nih?" gumamnya.
Ia mengeluarkan ponselnya, bersiap menghubungi putra bungsunya tersebut untuk mengonfimasi ketepatan koordinat yang dilacaknya.
Sebelum hal itu sempat ia lakukan, dalam kesunyian tersebut Alif tiba-tiba mendengar suara benda terjatuh atau sesuatu yang dipukul secara sengaja dari dalam rumah tersebut.
Alif berusaha mengabaikannya. Tapi, isak tangis dan rintihan samar-samar yang terdengar dari dalam membuat pria itu bergegas turun dari mobil dan melangkah mendekati sumber suara. Semakin ia mendekati rumah tersebut, semakin suara rintihan itu terdengar.
Alif melangkah dengan sangat pelan dan hati-hati. Takut dipikir dirinya seorang penguntit. Pria itu berusaha mengintip melalui celah kaca yang tak tertutupi gorden.
Mata Alif melotot. Tanpa sadar ia menutup mulutnya menggunakan telapak tangan guna meredam suara keterkejutannya dari apa yang barusan ia lihat di dalam sana.
Tak ingin menjadi sasaran, ia buru-buru kembali ke dalam mobil dengan wajah pucat pasi.
Tiba di mobil, ia langsung menghubungi rekannya di kepolisian. Apa yang ia lihat barusan memang harus ia laporkan dan diselesaikan melalui hukum. Niatnya ingin melabrak Daniel, berbalik ingin membantu begitu melihat bocah itu babak belur dihajar beberapa pria berpakaian serba hitam. Alif juga melihat seorang wanita yang ia yakini adalah ibunya anak itu sedang di dekap dengan sebuah pistol mengacung ke kepalanya.
Kondisi kedua orang itu sangat berantakan, dimana satu pria mengacungkan senjata api, satu orang merekan menggunakan ponsel, dan sisanya menghajar bocah yang dekat dengan Aya akhir-akhir ini.
"Roy, tolong segera datang bawa pasukanmu ke alamat ini." Alif menyebutkan alamat keberadaannya saat ini. "Ada tindak penganiayaan berat terjadi di sini. Kalian harus cepat datang. Sekarang juga, paham!"
Tanpa menunggu jawaban dari Roy, Alif langsung mematikan ponselnya.
Roy mendumel kesal pada Alif. Sembari menatap ponselnya, ia berkata, "Di sini siapa yang jadi kepala kepolisian, sih? Dia apa saya? Main ngatur-ngatur orang sembarangan. Untung temen, kalo bukan udah saya bui dia. Dasar pesek!"
***
Roy dan beberapa timnya datang tak berapa lama kemudian. Bersamaan dengan itu pula Andra dan Eggy tiba di sana. Melihat banyaknya mobil polisi di depan villa Daniel, Andra jadi cemas. Tidak mungkin 'kan ayahnya bertingkah berlebihan hingga membawa polisi segala hanya untuk melabrak Daniel?
"Ayah! Ayah ngapain bawa-bawa polisi segala? Sebanyak ini? Emangnya nasehat Ayah mental sama dia sampe butuh polisi-polisi ini yang nasehatin?"
Plak!
"Kamu itu! Diam dulu. Kita liat apa yang terjadi di dalam sana."
"Emangnya ada apa, Om?" Kali ini Eggy bertanya penasaran.
"Sssh... kita tunggu polisi yang menyelesaikan kasus ini dulu. Kalian para bocah duduk diam di mobil. Jangan sampai kalian terlibat di sini," pesan Alif, berlebihan seperti biasa.
Roy dan rekan-rekannya mulai mengatur strategi. Secara diam-diam mereka mulai bertindak. Masing-masing dari mereka sudah mengantongi senjata api dan berpencar mengelilingi seluruh villa agar penjahat tersebut tak bisa lari kemanapun.
Dari dalam villa, salah satu penjahat berlari dari belakang. "Bos, gawat! Posisi kita dikepung. Para polisi sudah mengintai kita dari luar. Kita harus bagaimana?"
"Sial!" ketua penjahat tersebut menatap tajam Daniel. Ia menarik kerah baju Daniel. Remaja itu sudah lemas. Wajahnya lebam tak berbentuk. Darah mengalir dari hidung, mulut, dan dari luka yang dilakukan oleh parah penjahat suruhan Mr. Choi.
Garnetta tak kalah mengenaskan dari remaja itu. Dia terus-terusan menangis melihat putranya dihajar habis-habisan meminta mereka menyerahkan memory card kecil yang diduga ada di tangan Daniel dan ibunya.
Garnetta tak tahu apa-apa. Sedangkan Daniel yang mempunyai semua bukti tak menyerah begitu saja. Pamannya sedang berusaha. Akan sia-sia jika dirinya dengan mudah mengalah dan menyerahkan bukti itu pada anak buah ayahnya begitu saja.
Mendengar informasi yang dikatakan salah satu anak buah ayahnya barusan, Daniel sempat tersenyum penuh kemenangan. "Sudah kukatakan kalian tak akan pernah menang. Bersiap mendekam dalam penjara."
"Kurang ajar!" pria itu menendang Daniel dengan hantaman keras. Lagi-lagi darah segar keluar dari mulut Daniel akibat tendangan yang dilakukannya. Garnetta kembali memekik. Ia berusaha berteriak minta tolong dan langsung terdengar ke luar villa.
Usai diberikan aba-aba, pintu terdobrak. Para penjahat itu pontang-panting mencari celah untuk kabur.
Sayang seribu sayang, mereka tak bisa lolos kali ini. Polisi jauh lebih gesit dari mereka semua. Sang ketua penjahat tak menyerah. Ia terus berlari menyelamatkan dirinya sendiri ketika para polisi itu sibuk pada anak buahnya yang tertangkap. Ia berhasil melompati jendela dan sempat menertawakan polisi yang tak berhasil menangkapnya.
Ia siap berlari, baru saja ingin menolehkan kepalanya ke depan, ia sudah jatuh pingsan.
Andra dan Eggy tertawa dan tos bersama. Eggy mencium senapang bius hewan liar milik ayahnya yang tertinggal di jok belakang. Menggunakan senjata itulah Eggy berhasil melumpuhkan sang penjahat.
"Kita pahlawan hari ini." Andra tertawa lebar.
Namun, tawa mereka berubah ringisan begitu telinga mereka dijewer oleh sang ayah.
"Aaakh... Ayaaah..."
"Sakit, Ooom..."
"Udah dibilang diam-diam di mobil! Nakal!!"
"Aaak... Iya, Om. Iyaaa... Maaff..."
Alif, Andra, dan Eggy berhasil menyelamatkan dua nyawa hari ini. Kemarahan Alif pada Daniel mampu menyelamatkan nyawa remaja itu bersama ibunya.
Meskipun Alif bukan anggota kepolisian, siapa bilang ia tak bisa menjadi pahlawan layaknya anggota polisi. Alif, pria keren sejagat raya yang selalu dibully karena hidung limited edition-nya, ia punya sahabat yang tak kalah keren dari berbagai kalangan di dunia ini.
Alif keren.
***
Iya, Pak Alip keren. iyain ajaaa.
Ck ck
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top