15


Proses penyelidikan penuh ketegangan masih berlangsung di salah satu pulau terpencil milik pribadi di Kepulauan Seribu. Sultan dan Bayu masih mengintip di balik semak bagaimana petugas kapal beraksi memindahkan beberapa kotak misterius terbungkus tarpal.

Sultan dan Bayu mengendap memasuki gerbang kapal saat beberapa awak kapal dan pekerjanya sibuk pada kegiatan memindahkan barang.

"Apa ini nggak berbahaya, Pak?" Bayu bertanya dan siaga mengeluarkan pistol sebagai perlindungan diri.

"Jika kamu takut, kamu bisa mundur. Cukup awasi kapal dari luar." Sultan menyahut tanpa menatap Bayu. Dirinya fokus mencari situasi yang tepat untuk mereka menyelinap masuk lebih dalam.

Bayu hanya garuk-garuk kepala dan mendengus pelan. Jika mereka harus bertindak juga, untuk apa tadi atasannya tersebut menyuruhnya menelepon polisi?

"Halo, Tuan. Barang baru sudah tiba di dermaga. Kami juga sudah mulai memindahkan barang ke gudang."

"..."

"Baik, Tuan."

"..."

"Baik."

Sultan bisa mendengar salah satu petugas tengah menghubungi seseorang melalui telepon. Dari cara dia memanggil orang tersebut, Sultan yakin beliau adalah bos mereka.

Usai menutup panggilan, pria penelepon tadi tampak bergegas meninggalkan kapal. Tak ingin kehilangan momen berharga, Sultan mengajak Bayu mengikuti petugas tersebut ke luar kapal.

Ternyata di luar kapal, petugas tersebut mendekati sang rekan kerja. Tampak dia berusaha membisikkan sesuatu ke kuping sang rekan kerja.

"Apa yang sedang mereka bisikkan." Bayu bertanya karena cukup penasaran. Sultan langsung menyikutnya karena pria itu bertanya tanpa berpikir bahwa suaranya mungkin saja bisa didengar oleh para petugas itu.

"Sorry." Bayu meringis dan meminta maaf dengan suara pelan.

Sultan dan Bayu kembali fokus mengintai. Dapat keduanya lihat, rekan kerja pria tadi buru-buru mengeluarkan alat komunikasi rahasia yang menempel di balik kerah jasnya. Alat komunikasi canggih tersebut secara otomatis akan terhubung ke alat dengar yang terpasang di telinga masing-masing petugas kapal.

"Semua pekerja kembali ke kapal. Barang-barang yang sudah dipidahkan bawa kembali ke kapal." Usai menginformasikan kabar tersebut, si penelepon dan rekan kerjanya berlari masuk kembali ke dalam kapal. Melihat hal itu, Sultan dan Bayu tak punya pilihan lain selain ikut masuk ke dalam. Jika memilih keluar, otomatis mereka akan ketahuan.

"Kenapa mereka tiba-tiba membawa masuk kembali barang?" Bayu bertanya karena benar-benar bingung. Pria itu memang lebih cenderung suka bertanya daripada berpikir menyimpulkan sendiri.

"Ada yang tidak beres. Sepertinya mereka sudah mencurigai keberadaan kita di sini."

"Apa!! Jadi... Jadi, kita harus bagaimana, Pak? Saya nggak mau kita tertangkap lalu dibunuh. Saya nggak mau mati konyol di sini, Paak." Bayu mulai blingsatan. Sultan mengerti arti ketakutan Bayu. Tapi, ia tak boleh mundur saat mereka sudah melangkah sejauh ini.

"Pasti ada jalan keluar. Kita tetap di sini dulu." Sultan berusaha menenangkan. Tak berapa lama kemudian, sirine terdengar menggema di dalam kapal. Sultan dan Bayu tak mengerti itu sirine petanda ada apa. Mereka hanya menyimpulkan sendiri bahwa sirine tersebut sebagai perintah untuk menutup seluruh pintu kapal serapat-rapatnya. Setelah itu, sirine kedua kembali berbunyi nyaring. Kali ini Sultan dan Bayu tak mengerti arti sirine kedua tersebut.

Namun, begitu Bayu menoleh ke arah jendela kaca bulat di dinding belakang mereka, pria itu spontan memekik. "Kapalnya menyelam!"

Sultan spontan berbalik dan melihat bagaimana kapal mereka secara perlahan masuk ke dalam air laut. Hal itu jelas terlihat dari jendela kaca bulat di tempat persembunyian mereka.

"Luar biasa. Aku tidak pernah menyangka jika Mr. Choi bisa menciptakan kapal secanggih ini. Pantas saja jejaknya sulit dilacak. Mereka bergerak dari dalam air. Ini bukan kapal biasa," decak Sultan tak percaya.

Di sisi lain, polisi sudah tiba di lokasi. Tempat pertama yang mereka tuju adalah villa dimana pemilik pulau dan tamunya berada saat ini. Seolah sudah siap, sang pemilik pulau keluar tanpa ada gurat kecemasan di wajah beliau begitu melihat beberapa polisi berdiri di depan villa.

"Kami dari kepolisian. Kami sudah mendapat ijin untuk menggeledah seisi pulau ini." Ketua kepolisian tersebut mengeluarkan selembar kertas surat ijin penggeledahan setelah sekian lama tak ada tanggapan.

"Silakan kalau begitu." Sang pemilik pulau mempersilakan dengan santai. Ia percaya bahwa Mr. Choi sudah membereskan semuanya, sehingga ia tak perlu mencemaskan apapun.

Polisi masuk menggeledah. Menurut laporan Bayu, di villa tersebut sedang ada pesta miras. Begitu mereka selidiki, tidak ada ciri-ciri sedang ada pesta di sana. Tidak mungkin rasanya orang kejakasaan yang sudah mereka percayai memberikan laporan palsu.

"Ada apa ini?"

Kepolisian agak kaget ketika proses penggeledahan di dalam villa, mereka dikejutkan oleh kehadiran Mr. Choi yang sangat dikenal akhir-akhir ini. Beliau adalah investor asing terbesar pada Indonesia. Jadi, begitu melihat beliau berada di sana, polisi-polisi itu agak tak menyangka.

"Selamat malam, Mr. Choi. Maaf kami mengganggu ketenangan anda. Tapi, kami meminta ijin untuk melakukan penyelidikan di pulau ini karena kami mendapat laporan ada penyelundupan narkoba di sini. Mohon kerjasamanya, Mr."

"Oh, it's okay. Tapi, selama saya berada di sini, tidak ada apapun yang terjadi. Saya merasa nyaman berada di sini. Indonesia memang negara penuh dengan kenyamanan. Itu tadi, sebelum kalian datang dan membuat saya sedikit ketakutan di sini."

"Ah, kalau begitu, kami benar-benar minta maaf, Mister. Jika anda merasa terganggu, kami akan memeriksa bagian lain pulau ini. Jadi, silakan anda menikmati liburan anda kembali, Mister. Selamat malam." Pihak kepolisian menjadi serba salah. Mereka merasa tidak sopan dan tidak nyaman telah mengganggu waktu liburan sang pengusaha baja tersebut di sana. Jadi, mereka memilih pergi memeriksa di luar villa.

Namun, setelah berputar-putar memeriksa seluruh pulau yang tak seberapa besar tersebut, mereka tak menemukan kejanggalan apapun. Bukan berarti sang pemilik pulau berhenti dicurigai. Kepolisian meminta beliau memberikan keterangan di kantor polisi dan akan kembali menggeledah usai Mr. Choi selesai liburan di sana.

***

Gruduk, gruduk.

Aya membuka perlahan matanya begitu tubuhnya merasakan goncangan yang agak menganggu. Objek pertama yang ia lihat begitu tersadar adalah wajah penuh kecemasan sang kembaran yang terlihat sangat jelek. Melihatnya membuat gadis itu memilih ingin pingsan kembali. Tapi, begitu teringat akan kejadian sebelum kesadarannya hilang di gudang tadi, gadis itu membelalakkan matanya cemas.

"DANIEL!" gadis itu langsung terduduk di atas brangkar yang sedang didorong perawat.

"Kak, kamu udah bangun? Tunggu sebentar lagi. Kakak sedang dibawa ke UGD."

Mata tak seberapa besar milik gadis itu kembali membulat begitu mendengar kata UGD terluah dari bibir sang kembaran.

Bukan. Bukan berarti Aya takut rumah sakit. Ia lebih takut diamuk sang ayah jika beliau tahu bahwa dirinya dirawat di rumah sakit.

"Nggak, nggak mau. Kakak nggak mau dirawat di sini. Kakak nggak sakit, Kakak nggak apa-apa, sumpah. Kakak mau turun."

"Eh, eh?" perawat yang mendorong brangkar sedikit kaget saat pasiennya tiba-tiba melompat turun dari brangkar yang sedang didorong.

Akibatnya, tubuh gadis itu oleng saat berhasil turun dan beruntungnya Andra sigap membantu.

"Kakak itu bandel! Udah gini keadaannya masih ngotot nggak mau dirawat. Nanti sakitnya makin parah, bisa gawat, Kak!" marah Andra.

"Nggak mau, Bang. Kakak cuma mau pulang dan meluk bunda. Kakak mau pulaang..." rengeknya.

Andra menggeleng. "Jangan bertingkah aneh-aneh. Jika bunda tau kondisi kamu kayak gini, Abang nggak bisa bayangin gimana marahnya bunda sama kita."

"Pokoknya Kakak mau pulaaang. Kakak nggak apa-apa, koook. Kakak sehat. Cukup istirahat di rumah aja, pasti sehat lagi. Please, Baang."

"Nggak!" keukeuh Andra tak mau kalah. Jika terjadi sesuatu pada kembarannya tersebut, Andra juga tak akan aman di tangan ayahnya. Setidaknya Andra sudah berusaha menebus kesalahannya karena lalai menjaga Aya sesuai amanah sang ayah.

Tanpa susah payah membujuk Aya naik kembali ke atas brangkar, Andra memilih menggendong gadis itu dan membawanya langsung ke UGD meskipun punggungnya ngilu dipukuli Aya.

"Gimana kondisinya, Dok?" Andra bertanya tak sabaran begitu dokter yang menangani Aya selesai memeriksanya. Aya sudah duduk di atas ranjang rawat dengan wajah pecah seribu. Pergelangan tangan gadis itu diperban karena adanya luka di sana.

"Luka pada pergelangan tangannya lumayan membahayakan jika ditangani lambat sedikit saja. Pada pergelangan tangan ada urat yang disebut tali nyawa. Beruntungnya luka itu tidak mengenai urat tersebut. Tadi, saya sudah memberikan obat dan perbannya harus diganti secara berkala, jangan dibiarkan basah karena akan mengundang kuman menggerogoti lukanya." Dokter menjelaskan.

"Terus, tadi sempat pingsan, apa terjadi sesuatu yang lain selain luka itu?"

"Untuk masalah itu, mungkin karena pasien merasa shock. Tidak ada gejala membahayakan dalam tubuh pasien," jelas sang dokter atas pertanyaan penuh kekhawatiran dari Andra.

Aya misuh-misuh sendirian di atas ranjang rawat. Ia kemudian melompat turun dan mendumel pelan, "ya iyalah nggak ada apa-apa. Orang gue pingsan gara-gara shock ketiban Daniel, kok."

"Apa!" Andra spontan memekik begitu gumaman pelan Aya samar-samar terdengar olehnya. Ada kata Daniel yang membuat Andra kembali naik darah.

Aya menyengir sembari mengacungkan tanda peace pada sang abang. "Nggak apa-apa, Bang. Heheh..."

Dokter yang menjadi pemerhati hanya bisa geleng-geleng kepala, lalu terkekeh. Ada rasa geli dan salut saat melihat bagaimana abang dari sang pasien mencemaskan keadaan adiknya.

"Sudah. Jangan bertengkar. Melihat kalian seperti ini, saya jadi ingat anak saya. Mereka juga kayak kalian. Sering bertengkar tapi saling menyayangi."

Bibir Aya mengerucut dan Andra memelototinya agar tidak bertingkah yanga aneh-aneh.

"Dan ini," sang dokter menyerahkan resep obat pada Andra, "tebus, ya? Obatnya harus rutin diminum agar lukanya cepat sembuh."

Andra menerimanya lalu mengangguk. Usai mengucapkan terima kasih pada sang dokter, Andra menyeret Aya pergi dari sana.

***

Daniel masuk ke dalam rumahnya secara diam-diam agar tak mengganggu waktu istirahat sang ibu di kamarnya. Untuk memastikan keadaan sang ibu, pria itu memutuskan untuk melihatnya di dalam kamar beliau. Ia sedikit bernapas lega ketika ibunya sedang tidur dengan napas yang berhembus teratur.

Setelah itu, ia bergegas masuk ke dalam kamarnya sendiri dan mengunci pintunya. Jaket kulitnya ia lepaskan dan sedikir meringis begitu tangan kanannya digerakkan. Spontan tangan kirinya mencengkeram lengannya yang terus mengeluarkan darah.

Beberapa obat yang ia beli di apotek sebelum pulang tadi, ia keluarkan. Lengan baju kanannya ia sobek hingga menampakkan luka dimana timah panas akibat tembakan masih tertanam di sana.

Daniel mengetap bibir menahan rasa sakit tak tertahan. Tak ada yang bisa membantunya mengobati luka, sehingga dia harus mengobati lukanya sendiri meskipun rasa sakit itu seakan-akan nyawanya akan dicabut saat itu juga.

Ia mengeluarkan sebotol alkohol dan tanpa berpikir akan rasa sakitnya, ia menumpahkannya begitu saja ke atas luka tersebut. Ia menggeram tertahan dengan mata terpejam erat. Setelah itu Daniel mengambil penjepit kecil. Telapak tangannya terkepal erat sebelum menguatkan diri mencabut timah yang menancap di lengan kanannya menggunakan penjepit.

"Aaargggh!!!"

Darah segar mengucur deras. Daniel lemas seketika. Ia mengambil handuk tebal dan membalutkannya pada luka tembak menganga agar darah yang keluar cepat berhenti. Ia membaringkan tubuhnya ke atas ranjang, berusaha memejamkan matanya yang sudah terasa berat. Ia ingin tidur, tapi tak bisa karena tiba-tiba ia terbayang akan keadaan Aya.

Sebelumnya, Daniel berusaha membawa Aya ke rumah sakit bersama Andra, tapi saudara gadis itu murka dan mendorongnya hingga tersungkur ke lantai. Masih teringat jelas di benak Daniel bagaimana pria itu menatapnya penuh kebencian. Andra bahkan tak membiarkan Daniel mendekati Aya sedikitpun. Niat Daniel sebelumnya hanya ingin membantu. Walau apapun, gadis itu terluka karena dirinya. Semua murni karena kesalahan Daniel yang secara tak langsung sudah melibatkan gadis itu menjadi sasaran musuh-musuh Daniel.

Daniel mendesah. Wajah lelahnya ia raup menggunakan telapak tangan kiri dan kembali meringis begitu nyeri pada lengan kanannya terasa.

"Apa yang harus kulakukan?" keluhnya gusar. Ia tak bisa berpikir jernih lagi usai kejadian menegangkan sebelumnya. Menghubungi pamannya, tapi sang paman tidak bisa dihubungi sejak tadi. Daniel tak bisa mengharapkan siapapun lagi selain dirinya sendiri untuk melindungi orang-orang yang terancam disakiti anak buah ayah bejatnya.

"Tuhan, bantu aku keluar dari masalah ini. Bantu aku, Tuhan." Pria itu mengeluarkan kalung dengan bandulan yang mencerminkan agama anutannya, kemudian menciumnya hikmat.

Satu fakta seorang Daniel yang belum Aya ketahui hingga saat ini.

***

Andra mencengkeram rambut kepalanya keras-keras begitu melihat kondisi mobil sang ayah yang sudah tak berbentuk. Benar-benar hancur. Banyak terdapat goresan bahkan ada bagian mobil yang sudah penyok. Andra tak mengerti bagaimana penjahat-penjahat itu mengendarai mobil keren ayahnya.

"Apa yang harus kita katakan jika bunda melihat kondisi kita saat ini. Dan apa yang harus kita lakukan jika ayah ngamuk melihat mobil kesayangannya hancur seperti ini?" Andra menatap sayu mobil sang ayah seolah sudah berputus asa. Ia seolah sudah siap dihukum seberat-beratnya jika ayah dan bunda mengetahui apa yang terjadi. Seperti yang mereka ketahui bahwa ayahnya sangat marah jika putri atau mobil kesayangannya lecet sedikit saja, dan parahnya putri serta mobil kesayangan pria hampir tua itu sama-sama hancur.

"Bilang aja kalo Abang habis nabrak tiang listrik di pinggir jalan," sahut Aya santai. Gadis itu sama sekali tak terbebani dengan masalah yang tengah menimpa dirinya dan sang kembaran. Ia tahu karena pada akhirnya saudara kembarnya itulah yang akan dipintai pertanggungjawaban atas kesalahan yang gadis itu perbuat.

Andra mendengus. Ia memilih segera masuk ke dalam mobil dan mulai bergerak keluar dari parkiran rumah sakit. "Kakak emang nggak pernah mikirin orang lain. Bahkan mungkin jika ayah memukuli Abang sampe skarat karena kesalahan Kakak, Kakak masih bisa tertawa lebar. Terus aja lakuin apapun yang Kakak suka. Jangan pikirin siapapun. Nanti, jika Abang nggak ada, nggak akan ada yang bisa belain Kakak lagi."

Raut wajah Aya berubah drastis. Ia menjadi merasa bersalah begitu Andra mengatakan hal yang lumayan membuat denyut nadinya melemah. Se-egoisnya Aya, ia tetap tidak pernah berpikiran akan kehilangan sang kembaran. Aya sayang semua saudaranya.

"Abaang..." rengeknya pelan.

Andra mengabaikannya. Ia tetap fokus pada kemudi mobil dan terus terdiam hingga mereka tiba di rumah. Di depan pintu, bunda sudah menunggu dengan cemas. Beliau tangkas mendekat begitu melihat mobil yang dikendarai anak kembarnya memasuki halaman rumah.

"Kalian lama banget sih latihannya? Bunda nggak bisa tenang selama kalian belum pulang ke rumah. Hape kalian itu kenapa, sih sebenarnya? Nggak ada yang aktif. Kalian nggak pernah mikirin gimana susahnya bunda di sini, ha!" marah bunda. Namun, marahnya seorang ibu karena beliau terlalu mencemaskan keadaan anak-anaknya. Apalagi dua anak kembarnya tersebut pergi dengan ponsel yang mati.

Aya turun dari mobil dengan ringisan merasa bersalah. Kedua tangannya ia sembunyikan ke belakang, tak ingin terlihat oleh bunda. Untuk menenangkan bunda, gadis itu langsung memeluknya erat. "Kakak sama Abang nggak apa-apa kok, Nda. Kami latihan sampe malam tadi. Soalnya pertandingan akan dilaksanakan nggak lama lagi. Jadi, kami harus berlatih lebih giat lagi. Maaf ya udah bikin Bunda cemas."

Naya mendesah. Punggung putrinya ia usap berulang kali. "Bunda pikir ada apa-apa sama kalian. Meskipun ada latihan tambahan, hape kalian jangan dibiarin mati. Jadi Bunda bisa hubungin kalian terus."

Aya mengangguk-angguk dalam pelukan bunda. Berada dalam pelukan bunda mampu memberikan ketenangan bagi gadis itu.

Tak lama kemudian Andra keluar dari garasi usai memasukkan mobil sang ayah di sana. "Ada kecelakaan kecil tadi, Nda. Abang habis nabrak tiang listrik di pinggir jalan. Maaf, Abang toledor." Andra memberikan pengakuan sesuai yang Aya sarankan sebelumnya. Jika memang itu yang diinginkan gadis itu, Andra akan melakukannya. Dengan begitu mungkin Aya akan merasa puas usai melihat kembarannya dimarah habis-habisan oleh kedua orangtuanya.

"Apa!?" Naya memekik nyaring. Sudah Andra duga sebelumnya. Pria itu hanya memasang wajah datar tanpa berani mengangkat wajahnya. Tanpa Andra sadari bahwa saat ini Aya mencemaskannya.

"Kenapa bisa terjadi, Bang? Abang ngantuk apa gimana?" tanya sang bunda cemas. Wanita 36 tahun tersebut beralih dari Aya dan mendekati Andra meminta penjelasan.

Andra mengangguk pelan, "Abang ngantuk. Abang juga minta maaf karena udah bikin Kak Aya luka-luka. Semua salah Abang."

"Abang..." Aya mencicit pelan. Ingin menghentikannya tapi rasa takut akan dikekang kebebasannya oleh sang ayah, ia memilih kembali bungkam.

"Astaghfirullahal'adziim, Baaang. Bunda udah sering bilang hati-hati saat pake mobil. Kalo ngantuk ya istirahat dulu. Liat, Kakak jadi korbannya. Tapi Abang nggak ada yang luka 'kan?" Andra menggeleng. "Ayo masuk dulu. Ceritain sama Bunda di dalam."

Beruntungnya mereka memiliki bunda yang tidak terlalu menyalahkan anak-anak dalam kecerobohan yang dilakukan mereka. Sehingga, usai menceritakan kejadian palsunya pada sang bunda, bunda berhenti mengomel. Pada akhirnya mereka mendapat pelukan hangat dari beliau.

Namun, ketenangan Andra hanya sesaat. Keesokan harinya ketika sarapan bersama, ayah yang sebenarnya sudah tiba di rumah tengah malam semalam, pagi itu melihat luka di tangan putri kesayangannya. Alif meminta penjelasan tentang luka yang didapat sang putri tercinta dan pada akhirnya Andra kembali merangkai cerita yang sama seperti yang ia ceritakan pada sang bunda.

Akibatnya, Andra mendapat tamparan hebat dari sang ayah.

"Ayah udah bilang sama kamu! Kepercayaan Ayah jangan sampai disepelekan! Ayah memercayakan mobil sama Abang karena Ayah yakin kamu bisa menjaga adik-adikmu dengan baik! Mengantar mereka dengan selamat, bukan ugal-ugalan seperti itu!! Lihat sekarang! Adikmu hampir jadi korban karena kamu, Bang!"

Alif mengamuk hebat pagi itu. Andra hanya bisa terdiam, menahan gejolak emosi atas tuduhan yang sengaja ia cari sebelumnya. Semua ia lakukan karena Aya. Bahkan Althaf hanya menatap prihatin pada sang abang saat ayah mereka memarahinya. Althaf mengetahui kisah sebenarnya, tapi ia memilih diam karena ia yakin ada alasan kenapa abangnya lebih memilih berbohong dan mengorbannya dirinya sendiri.

Napas Alif naik turun karena emosi. Wajahnya memerah dan rahangnya mengeras menatap sang putra sulung marah.

"Ayah..." Aya yang sejak tadi diam, berusaha menenangkan beliau agar berhenti memarahi Andra. "Jangan marah lagi. Kakak nggak apa-apa, kok. Cuma lecet dikit aja. Abang nggak salah. Kakak juga salah karena udah maksa Abang bawa mobil padahal Kakak tau abang lagi ngantuk."

Kebohongan lain berusaha Aya rangkai. Kali ini demi menyelamatkan sang abang dari amukan ayah mereka.

"Lecet dikit kamu bilang? Sampe diperban-perban gini Kakak bilang lecet dikit? Bahkan saat Kakak bentol digigit nyamuk aja Ayah nggak rela, apalagi kayak gini?!"

Andra menghentikan sarapannya begitu saja. Padahal nasinya sama sekali belum ia sentuh. Ia mengambil tasnya dan pergi ke sekolah berjalan kaki. Mungkin di jalan nanti ia akan mengentikan angkot untuk tiba ke sekolah.

Melihat abangnya pergi, Althaf turut menghentikan sarapannya. Sebelum pergi, ia menatap ayahnya tanpa ekspresi dan berkata, "Ayah cuma mengkhawatirkan Kakak tanpa peduli kondisi abang saat ini. Apa Ayah nggak kepikiran mungkin saja abang juga punya luka yang lebih parah dibanding kakak. Ayah pilih kasih di sini. Bunda, Al berangkat ke sekolah. Assalamu'alaikum."

Naya ingin menangis di sini. Naya turut berpikiran yang sama seperti Althaf. Suaminya cenderung mengkhawatirkan putrinya dibanding putra-putranya. Padahal, setiap anak baik laki-laki atau perempuan pasti ingin diperlakukan sama tanpa ada diskriminasi seperti yang Alif lakukan saat ini.

Namun, itulah sifat Alif yang sulit untuk dihilangkan. Keprotektifannya pada perempuan membuatnya selalu beranggapan bahwa semua laki-laki sehebat dan sekuat dirinya sehingga tak perlu dicemaskan secara berlebihan.

"Udah. Kakak berangkat sekolah juga, ya? Nanti telat." Naya berusaha menghentikan suasana tegang di ruang makan saat ini.

"Nggak. Siapa bilang Kakak harus sekolah hari ini? Kita ke rumah sakit. Lukamu harus diobati lebih serius dan istirahat sampe sembuh total," putus Alif tak terbantahkan.

Wajah Aya mulai mengkerut. "Ayaaaah..."

Maka pagi itu Aya terus merengek dan merayu sang ayah agar diijinkan sekolah dan tak dibawa ke rumah sakit karena memang pada dasarnya tidak terjadi hal serius pada dirinya. Aya hanya ingin sekolah dan melihat Daniel. Apakah Daniel baik-baik saja atau malah sebaliknya? Aaah, Aya tidak suka diperlakukan seperti ini oleh ayah. Jika bisa, Aya ingin menjadi Andra saja. Apalah daya, Aya harus terlahir sebagai perempuan dan harus menerima perlakuan spesial dari sang ayah.

***

Malam sebelumnya di pulau pribadi.

Sultan dan Bayu keluar dari tempat persembunyian mereka di dalam kapal. Mereka memilih keluar untuk menyelidiki isi kapal. Sepanjang langkah Bayu tak berhenti berdecak kagum melihat kecanggihan kapal tersebut. Kepalanya menoleh ke kanan, ke kiri, depan, dan belakang hingga tak memerhatikan langkahnya. Ia sempat terhantuk punggung Sultan yang berada di depannya, hingga menimbulkan decakan kesal dari pria tersebut.

"Sorry, Pak. Saya nggak berenti kagum sama desain kapal ini. bener-bener canggih," kekehnya.

"Perhatikan langkahmu, jangan lengah, Bayu," tegur Sultan. Pria itu kembali terkekeh sembari menggaruk kepalanya menggunakan pistol yang masih ia pegang.

Fatal.

Akibat kelengahannya, pistol yang ia gunakan untuk menggaruk kepalanya, tanpa sengaja menyentuh pelatuknya hingga sebuah peluru lolos dan menimbulkan suara gaduh.

Alarm berbahaya mulai menggema. Para petugas di dalam kapal spontan menyiapkan senjata masing-masing dan berpencar mencari suara tembakan yang mereka curigai adalah milik seorang penyusup.

Bayu dan Sultan bergerak gusar. Sultan tak bisa memarahi Bayu pada saat mereka dalam bahaya, dan Bayu sendiri tak henti-hentinya menggumamkan kata maaf pada Sultan karena telah bertindak ceroboh. Tapi, semua sudah terlambat. Tanpa sempat bagi mereka mencari tempat persembunyian, dengan mudahnya para petugas kapal menemukan keberadaan mereka berdua. Posisi mereka dikepung sembari menodongkan senjata api pada tubuh mereka.

"Tamat riwayat kita." Bayu meringis.

"Sekap dan habisi mereka." Usai mendapat titah, dalam sekejap pria-pria berseragam hitam tersebut berhasil meringkus Bayu dan Sultan. Setelah ini, tak ada yang bisa menduga bagaimana nasib kedua jaksa tersebut selanjutnya.

***

Sorry lamaaa... Banyak kendala akhir-akhir ini, dan kesibukan berkali-kali lipat dari sebelumnya. So, Sorryyyy...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top