13
Seperti biasa. Apdet tengah malam.
Selamat bacaa...
***
Mr. Choi terbahak begitu kencangnya saat ia mendapat sebuah kabar dari orang kepercayaannya bahwa mereka sudah berhasil memancing Daniel untuk menyerahkan diri. Sebagai bentuk rasa suka cita atas keberhasilannya, Mr. Choi mengajak beberapa orang kepercayaannya untuk berpesta ria di pulau pribadi yang ia sewa dengan harga mahal. Beragam macam minuman keras beralkohol tersedia di sana.
"Minum sepuas kalian. Aku memberikan secara gratis hanya untuk malam ini. Hahaha..."
Orang-orang kepercayaan yang berpesta ikut tertawa. Mereka menikmati minuman keras seolah tak akan ada hari esok. Kesadaran mereka mulai menurun, bahkan ada yang sudah tergeletak tak sadarkan diri di salah satu sofa.
"Ada kabar baik apa sehingga kamu mengadakan pesta secara mendadak seperti ini?" sang wanita simpanan Mr. Choi bergelayut sembari menikmati wine di tangannya.
"Aku sedang bahagia hari ini. Dua pengkhianat itu akhirnya menyerahkan diri pada kita. Sebentar lagi, kita akan hidup tenang tanpa dihantui perasaan takut. Mereka sudah musnah demikian juga dengan barang buktinya." Mr. Choi merangkul pundak sang wanita simpanan, lalu bersulang bersama.
Mereka tertawa bersama, menikmati malam mereka dalam kepuasan, tanpa mereka sadari bahwa posisi mereka sedang diintai.
"Apa kita harus sergap sekarang?"
Sultan menahan pergerakan Bayu yang tampak lebih bersemangat dan tak sabaran dibanding dirinya. Padahal, pria itu awalnya mendumel kesal karena Sultan mengajaknya melakukan pengintaian berbahaya tersebut.
Usai melakukan serangkaian penyelidikan terhadap warga pulau seberang mengenai pulau pribadi yang saat ini sudah ditutup untuk umum, akhirnya Sultan dan Bayu berhasil mencari celah untuk tiba ke Pulau Air.
Tak mudah memang. Untuk melancarkan aksi mereka, Sultan dan Bayu terpaksa bersakit-sakit agar tidak mendatangkan kecurigaan Mr. Choi dan orang kepercayaannya. Jika biasanya menyeberang antar pulau menggunakan boat khusus, maka Sultan dan Bayu memilih menggunakan perahu dayung tanpa mesin untuk tiba di sana. Bukan perkara mudah mendayung di tengah hantaman ombak. Namun, inilah tugas mereka. Menuntaskan kasus semaksimal mungkin meskipun tenaga dan nyawa menjadi korban.
"Jangan gegabah, Bayu. Kita hanya berdua di sini, sedangkan mereka ada puluhan. Jika kita salah langkah, kita bisa mati tanpa jejak di pulau ini. Sebaiknya kita meminta bantuan kepolisian terdekat untuk menyusul kita."
Bayu mengangguk. Kali ini ia menuruti apa kata sang ketua tim karena ia sendiri sudah membuktikan bahwa perkataan Sultan itu bisa dipercaya seratus persen, dan Bayu memahami bahwa usaha keras yang dilakukan akan membawa hasil yang memuaskan juga.
Sementara Bayu berusaha menghubungi kepolisian Kepulauan Seribu, Sultan melangkah semakin mendekat ke arah penginapan tempat orang-orang jahat tersebut sedang berpesta. Dengan langkah mengendap-endap, telinganya tiba-tiba mendengar suara kapal menderu dari arah laut. Sultan mengernyit. Ia membatalkan niatnya mengintai lebih dekat orang-orang di dalam pesta. Ia mencolek bahu Bayu hingga pria itu berbalik dan mematikan ponselnya.
"Ada yang datang dari arah sana." Sultan menunjuk arah datangnya kapal.
"Kapal?" Bayu memastikan dan diangguki Sultan serius.
"Kita bisa mendapatkan bukti kuat jika kita berhasil membongkar isi kapal tersebut." Sultan mengeluarkan pistol dari saku bagian dalam jasnya, siap bertarung.
"Pak. Mau maju sekarang? Bukannya Bapak suruh tunggu polisi datang?" Bayu berkata cemas. Apalagi jika Sultan sudah maju maka sulit untuk mundur.
"Saya berubah pikiran, Bay. Kita harus bergegas sebelum kapal itu pergi," tanggapan Sultan.
"Tapi saya nggak yakin bisa. Lihat, mereka rame banget. Tubuhnya kekar udah kayak Ade Rai semua. Apa kita bisa melawan mereka?"
Sultan menghentikan langkahnya, berbalik lalu mendesah begitu bertatapan dengan wajah ketakutan Bayu. "Kita harus gunakan akal dibanding tenaga dalam kasus ini. Kini mendekati kapal secara perlahan tanpa menimbulkan kecurigaan mereka. Saat mereka lengah, kita masuk mengendap. Misi kita akan berhasil jika kita bisa menemukan barang terlarang seperti dugaan kita."
Bayu tampak ragu. Pelipisnya ia garuk-garuk seolah ingin menolak.
Mengerti. Sultan memilih untuk meninggalkan Bayu sendirian dan dia sendiri melangkah mantap mendekati awak kapal yang sibuk menurunkan jangkar untuk berlabuh.
"Eh, Pak. Jangan nekat." Bayu spontan memekik. Sebelum benar-benar ketahuan, buru-buru ia menutp mulutnya, dan memilih mengejar Sultan yang sudah jauh di depan.
"Nasib satu tim sama orang nekat ya gini," ujar Bayu bersungut-sungut.
***
Tiit... Tit...Tit...
GPS ponsel Althaf yang tergeletak di nakas kamar menimbulkan suara peringatan. Al yang kala itu sedang belajar di meja belajarnya bergegas untuk mengintip isi peringatan tersebut. Dahinya mengernyit begitu membaca titik koordinat GPS tracker yang ia tempelkan di mobil Andra bergerak jauh melewati batas kota.
"Mereka mau ke mana sampe ke luar kota?" gumam Al dan ia tampak berpikir serius tentang masalah tersebut. Masalahnya, Andra tak pernah pergi ke luar kota manapun membawa mobil sendiri, apalagi tanpa ijin pada orangtuanya terlebih dahulu. Seingat Althaf, abangnya maupun sang kakak tidak mengatakan akan pergi kemanapun selain ke sekolah untuk latihan. Lalu, kenapa mobil mereka bisa keluar dari kota?
Langkah kaki Althaf bergerak maju-mundur, bingung, antara ingin mengatakannya pada sang bunda atau diam saja? Mungkin sajakan abang dan kakaknya sudah ijin pada bunda tanpa sepengetahuannya.
Tokk tokk tokk...
"Dek. Apa abang sama kakak ada bilang mau pulang telat, nggak?"
Dahi Althaf mengernyit bingung saat bunda tiba-tiba bertanya padanya. Jika seperti itu keadaannya, maka bisa dipastikan bunda tidak mengetahui apapun tentang kemana abang dan kakaknya pergi saat ini. Althaf mencium ada yang tidak beres dari kejadian ini.
"Eee... Ada, Nda. Katanya mereka ada latihan sampe malam. Kenapa, Nda?" Althaf terpaksa harus berbohong agar bundanya tidak kaget saat ia mengatakan yang sejujurnya. Ia akan menghubungi sang abang setelah ini.
"Kok Bunda telepon mereka nggak ada yang ngangkat? Sesibuk itu ya mereka?"
Althaf mengangguk sedikit ragu sambil menggigit bibir bawahnya. "Kalo nggak salah, Abang bakalan ada pertandingan basket nggak lama lagi, Nda. Kakak juga gitu. Akan ada ujian kenaikan tingkat sabuk di taekwondo bulan depan dan lomba dance tingkat SMA akhir bulan ini. Jadi, mungkin karena itu juga mereka super sibuk akhir-akhir ini."
Hati kecil Althaf bergumam penuh kata permintaan maaf pada sang bunda karena sudah membohonginya terlalu jauh. Tapi, apa yang ia katakan barusan demikian adanya dari yang ia baca di mading SMA Labschool. Sehingga, ia tak sepenuhnya berbohong mengenai apa yang ia katakan.
Mendengar penjelasan dari putra bungsunya, Naya mengangguk mengerti. Tapi, wajahnya masih menampakkan keraguan. Ia hanya merasa aneh karena dua anaknya kembarnya tersebut tidak mengatakan apapun padanya bahwa akan ada latihan hingga malam hari.
Althaf paham melihat raut wajah sang bunda. Ia memilih mendekat, lalu memeluk bunda dengan sayang. "Bunda jangan khawatir. Mereka baik-baik aja, kok. Abang sama kakak pasti bisa jaga diri. Kakak jago taekwondo dan abang bisa karate sejak kecil. Kalopun ada apa-apa sama mereka, mereka bisa saling menjaga. Al yakin itu."
Naya tersenyum. Pelukan putra bungsunya ia balas dengan elusan lembut, lalu pelukannya ia uraikan. "Ya udah. Udah jam lima sore, Dedek mandi terus bantu Bunda anterin brownis kukus ke rumah Bu Ani di blok sebelah."
"Ada acara apa sampe Bunda anterin ke sana?"
"Nggak ada acara apa-apa. Bunda tadi bikin brownis, tiba-tiba keinget sama anaknya Bu Ani yang lagi sakit, jadi nanti kamu anterin kuenya ke sana, ya? Bunda masih banyak kerjaan di dapur."
Althaf tersenyum lalu mengangguk.
Usai kepergian sang bunda dari kamarnya, Al mendesah keras. Rambutnya yang mulai memanjang ia raup ke belakang, kembali mendesah. Buru-buru ia mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi sang kakak. Namun, sampai panggilan ke lima tetap tidak ada jawaban. Al beralih menghubungi sang abang. Dalam dua kali hubungi, ia mendapat jawaban.
"Apaan?"
"Abang di mana?"
"Masih di sekolah. Ini baru habis latihan. Siap-siap mau pulang," jawab di seberang sana.
Althaf terdiam sejenak. Otak cerdasnya sedang berpikir keras saat ini. Jika abangnya ada di sekolah, lalu siapa yang membawa mobil ayahnya ke luar kota? Apakah kakaknya atau GPS-nya yang sinting?
"Hoy. Ada apa, sih?"
Althaf mengerjap. Wajah tanpa eskpresinya semakin tampak serius saat bertanya hal berikutnya. "Kakak di mana?"
"Latihan di studio laah. Jangan bertingkah aneh, deh. Buruan bilang apa yang mau dibilang. Abang mau siap-siap nih. Beliin cendol? Nanti Abang beliin di depan kompleks. Atau titip sama sama Tokki? Nanti disampein."
Berdecak. Althaf tidak memikirkan cendol kesukaannya di depan kompleks rumahnya ataupun Tokki si kelinci lucu milik tetangga kompleks sebelah yang selalu ia singgahi saat jogging. Tapi si abang malah memikirkan dua hal tersebut saat genting seperti ini.
"Kalo Abang sama Kakak ada di sekolah, lalu siapa yang bawa mobil ayah ke luar kota?" ujar Al akhirnya.
"Ha? Siapa yang bawa ke luar kota? Kamu ngigo ya, Dek? Mobil ayah masih aman di parkiran sana. Ke luar kota apanya?" Andra terdiam sejenak, ia tiba-tiba terpikirkan sesuatu. "Tunggu-tunggu. Kamu pasang alat apaan di mobil itu? Pasang alat pelacak? Iya? Biar apa? Biar bisa bikin laporan sama ayah dan kamu bakalan dapat pujian karena jadi anak teladan sementara kami berdua dapat hukuman?"
Lagi-lagi Al mendesah. Abangnya selalu berpikir buruk tentangnya. Padahal barusaja ia menyelamatkan abang dan kakaknya dari amukan bunda berkat kebohongan Althaf tadi. "Abang jangan nyela omongan orang bisa, nggak?"
"Bisalah. Kamunya aja ngomong suka pake jeda-jeda. Bosan nungguin."
"Coba Abang cek di parkiran. Mobilnya masih aman atau perkiraan Al yang bener? Soalnya Al bikin GPS tracker dan lagi diuji cobakan di mobil yang abang pake. GPS ponsel Al dapat peringatan kalo mobil itu ada di luar kota."
"Ah, palingan GPS buatanmu itu lagi error sampe salah kasih kode." Sangat jelas terdengar jika Andra tengah meremehkan kemampuan Althaf kali ini.
Tak ingin berdebat terlalu lama di ponsel, Althaf memilih menyudahi panggilan usai menyuruh abang memeriksa mobil di parkiran. Setidaknya ia sedikit lega saat mengetahui bahwa kakak dan juga abangnya aman di sekolah.
***
"Gue duluan ya, Bro."
"Oke."
Usai tos bersama rekan basketnya yang lain, Andra menenteng tasnya di bahu sebelah kanan. Ia melangkah sendirian menuju studio di mana kembarannya sedang latihan. Sebelumnya ia tidak terlalu mengharapkan Aya akan kembali ke lapangan basket untuk membawakannya air minum karena itu hanya alibi Andra saja untuk memisahkan gadis itu dari Daniel. Pada saat itu juga Andra jadi punya kesempatan memberikan pengajaran pada pria tak tahu diri tersebut agar tidak terlalu membuat kembarannya berharap banyak jika pada akhirnya disakiti.
Saat langkahnya hampir tiba di studio, ia melihat pelatih tari Aya keluar dan mengunci pintu studio. Ada dua tas di tangan beliau yang susah payah dibawa.
"Miss, apa semuanya udah pulang?" tanya Andra begitu ia tiba di depan studio. Ia juga dapat melihat bahwa ruangan yang biasa digunakan untuk latihan menari sudah gelap dan tak ada siapapun di sana.
"Iya. Semuanya udah pulang. Oh, iya. Kamu kakaknya Aya 'kan? Ini...," beliau menyerahkan tas ransel mini Aya pada Andra. "Tadi dia bilang mau ke toilet, tapi sampai sekarang nggak balik ke studio. Dia ke mana? Ponselnya bunyi terus dari tadi."
"Eh? Nggak balik-balik ke sini?"
Pelatih tari tersebut mengangguk membenarkan. "Bilang sama dia. Besok sore latihan lagi di jam yang sama. Bilangin, jangan pake acara kabur-kaburan segala. Lagian agak aneh juga Aya tiba-tiba kabur saat latihan dance. Dia 'kan suka banget sama kegiatan ini."
Andra garuk-garuk kepala. "Iya, iya. Nanti saya sampein, deh."
"Oke. Saya pamit kalau begitu."
Andra mengangguk. Usai kepergian pelatih tari tersebut, Andra mulai berpikir keras. Ke mana Aya jika sejak tadi dia tak latihan? Jadi, usai ia suruh ke parkiran tadi, Aya tidak kembali ke studio juga? Lalu apakah...
Andra mulai cemas. Sembari berlari ia berusaha menghubungi Althaf kembali. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak jika mengaitkan kejadian hilangnya Aya dengan mobil yang dibawa ke luar kota seperti kata Althaf.
Beberapa kali panggilan, Althaf tak menjawabnya. Hingga beberapa menit kemudian, panggilannya diterima.
"Gimana?"
"Kakak nggak ada di sekolah. Abang curiga dia bawa kabur mobil ayah dan ngikutin Daniel sampe ke luar kota. Secara Daniel juga ngilang dari sekolah usai cedera saat latihan basket." Andra tidak menjelaskan kronologi bagaimana Daniel bisa cedera. Hanya tak ingin Althaf mengetahui apa yang telah ia perbuat di sekolah sore itu.
"Daniel? Cowok yang itu?"
Andra mengangguk meskipun Althaf tidak menjelaskan secara rinci tentang pria yang mana menurut versi anak itu.
"Kakak juga yang minta dibikinin alat pelacak buat ngelacak keberadaan cowok itu. Al khawatir kak Aya dijebak sama dia. Bunda udah nanyain kalian dari tadi. Mungkin bunda udah ngerasain terjadi sesuatu sama kakak."
"Abang harus gimana?" Andra bertanya putus asa sembari berkeliling area parkiran mobil berharap bisa menemukan mobilnya. Sayang, tidak ada mobil apapun yang terparkir di sana. Positif, mobilnya dibawa kabur Aya. Itu dugaan Andra.
"Abang jangan pulang ke rumah dulu. Al udah ijinin kalian sampe malam sama bunda. Al akan bantu dari sini, sementara Abang minta bantuan sama satpam atau sama siapa kek yang kira-kira liat mobil keluar dari sekolah sebelum jadwal latihan usai."
Andra mengangguk paham. "Oke."
Klik.
"Benar-benar akan tukang bikin masalah," dumel Andra geram sebelum berlari ke pos satpam sembari menenteng tas milik Aya.
***
Pengap, pencahayaan kurang, dan berdebu. Aya terbatuk-batuk begitu kesadarannya pulih usai disuntik bius oleh orang tak dikenal. Ia berusaha menggerakkan tangannya untuk memijat kepalanya yang pusing, tapi susah. Saat itu ia baru sadar bahwa kedua tangan dan juga kakinya diikat pada sebuah tiang besar di tengah-tengah ruangan. Ah, atau bukan?
"Ini sih gudangnya si Cantik, Lontong, sama si Botak. Berantakan banget," ocehnya mencoba menilai ruangan yang kotor tempat dimana ia berada saat ini. Ia masih tak menyadari sepenuhnya jika saat ini dirinya sedang diculik dan disekap.
Namun, ketika otak tumpulnya mulai turn on, ia hanya menanggapi dengan perkataan, "ini gue lagi diculik apa gimana? Nggak elit banget tempatnya. Coba kalo mau nyulik tuh, di hotel kek, di luar negeri kek. Ini di gudang sumpek. Bisa kambuh nih alergi gue."
Kepalanya ia gerakkan ke kanan dan ke kiri untuk mengurangi rasa pegal di area tersebut. Sebenarnya kaki dan tangannya juga merasakan hal yang sama. Pegal dan perih luar biasa. Sepertinya mereka mengikat Aya tidak main-main.
Aya berdecak. Jika ia diculik, apa motif mereka? Seharusnya jika benar ia diculik, mana penculik itu? Atau, apakah ia sedang berada dalam sebuah drama?
Ck, ck. Aya terkekeh sendiri. Kedua hal tersebut sama sekali tak masuk akal menurutnya.
Pluk!
Aya merasa ada yang melemparinya dengan tutup botol air mineral yang sudah berlumut. Ia bergidik, bulu kuduknya mulai meremang menandakan teman jailnya mulai datang. Aya tidak akan pernah mau mendongak ke langit-langit gudang kumuh tersebut jika tak ingin dihantui terus menerus oleh mereka.
"Sudah bangun, heh?"
Aya spontan mendongak. Bukannya sosok cantik atau di lontong sayur tersebut yang muncul di depannya. Melainkan lima pria berseragam serba hitam dan satu diantaranya berpenampilan rapi lengkap dengan jas hitam dan juga dasi.
"Wiiih... keren banget Om. Mau kondangan, yak? Hihihiii..."
Empat pria berseragam tersebut saling lirik, sedikit tak mengerti dengan apa yang gadis itu bicarakan. Diantara lima, hanya ketua mereka yang fasih berbahasa Indonesia. Pria yang dimaksud mendekat, lalu tersenyum miring menatap wajah santai gadis yang terikat tersebut. "Sama sekali tidak takut pada kami, huh?"
"Takut kenapa, Om? Om bukan setan yang harus ditakuti. Kalo diliat-liat, Om ganteng juga, ya? Hihih... Dari mana Om? Korea, ya? Waahh..."
Bohong jika Aya tidak takut pada mereka semua. Hanya saja, ia berusaha terlihat santai agar tidak menjadi bulan-bulanan mereka seandainya mereka mengetahui perasaan Aya yang sebenarnya. Jaman sekarang, kasus pelecehan dan pembunuhan menjadi topik terhangat dan fenomenal di berita manapun. Aya sangat tidak menginginkan hal itu terjadi pada dirinya dalam keadaan tak berdayanya saat ini.
Tak berdaya karena pergerakannya benar-benar dikekang oleh seutas tali yang melilit tangan dan juga kakinya pada sebuah tiang. Aya tak bisa melakukan apapun untuk membebaskan diri selain memaksa dirinya untuk terlihat santai.
Pria berjas tersebut mendengus. Baru kali ini dia menemukan orang yang disekapnya terlihat tidak gentar saat dihadapkan pada situasi seperti ini.
"Sepertinya kamu tidak takut pada kami, ya? Apa kamu tahu kenapa kamu bisa berada di sini?" pria itu bertanya, menatapnya dengan angkuh.
Respon Aya hanya gelengan kepala menampilkan wajah sepolos pantat bayi.
Hidung pria tersebut kembang-kempis. Gadis itu benar-benar membuatnya geram. Ia mendekati Aya, mencondongkan tubuhnya hingga wajah mereka saling berhadapan.
"Wiiih... Muka Om kinclong amat. Pake kosmetik apaan, Om? Bagi-bagi dong tips merawat mukanya." Aya menyengir usai mengatakan perkataan konyol tersebut pada pria tersebut.
Geram, pria berjas tersebut mencengkeram rahang gadis itu hingga Aya sedikit meringis dibuatnya. Aya mengetap bibir menahan suara ringisan keluar dari bibirnya agar tidak terlihat lemah. "Kamu kenal Kimmee Choi 'kan?"
Aya menggelengkan kepalanya polos. Akibatnya, cengkeraman pria tersebut semakin kencang pada rahangnya.
"Jangan berbohong! Kami sudah mengincar pria itu sejak lama, dan kamu...," rahang Aya ditekan keras. "..., menjalin hubungan serius dengannya."
Bola mata Aya bergerak ke atas, tampak berpikir serius tapi malah terkesan mengolok di mata penjahat tersebut. "Aku bener-bener nggak kenal si Choi-Choi itu. Siapa namanya? Kiwi Choi? Kayak nama buah aja. Om pernah dengar buah kiwi 'kan? Itu dia, namanya mirip."
Takk!
Aya merasa kepalanya berdenyut seperti squisyi yang diremas-remas. Nyut-nyutan tak tertahan saat pria itu menghentakkan kepalanya ke tiang di belakang kepalanya. Sakit. Aya bahkan melenguh tanpa bisa ditahan.
"Jangan mencoba berdalih dari kami, gadis kecil! Cukup bekerjasama dengan kami dan kamu bisa bebas," makinya kasar.
Mata Aya terbuka dan tertutup demi mengusir bintang-bintang nakal yang berputar di atas kepalanya agar tetap tersadar. "Gimana... Gimana mau kerjasama kalo saya aja nggak kenal siapa si Kiwi itu." Aya masih gigih dengan penolakannya. Lagipula, dia benar-benar tidak kenal dengan pria yang dimaksud tersebut.
Pria berjas mengeluarkan selembar foto dari dalam sakunya. "Lihat ini baik-baik. Kamu kenal dia karena kami membuntutimu dan mendapati kamu memeluknya."
Mata Aya sedikit membulat. Ia terkejut, tapi berusaha ia samarkan. " Oooh dia si Kiwi? Nggak kenal tuh."
"Brengsek anak ini," geram pria tersebut. "Kalian. Urus dia sampai dia mau mengaku dan mau bekerjasama dengan kita untuk menghabisi Kim dan ibunya. Saya harus melakukan sesuatu di tempat lain."
Mata Aya semakin membulat ketika pria itu menyebut ibu Daniel. Ia pikir sebelumnya jika hanya Daniel yang terlibat kasus bersama orang-orang jahat tersebut. Tapi ternyata ibunya juga menjadi sasaran? Sebenarnya apa yang dilakukan Daniel sehingga mereka bisa sekejam ini mau menghabiskan nyawa Daniel dan ibunya seperti itu.
Ia tak sempat berpikir banyak saat empat pria jahat yang sejak tadi diam, mulai beranjak mendekatinya. Wajah mereka menyeringai nakal layaknya buaya kelaparan dan menemukan mangsa di hadapan mereka.
Takut, tentu saja. Bahkan kaki dan tangannya sudah dingin sejak tadi. Beruntung saja dia tidak sampai kencing di celana.
"Kami akan memaksamu memuaskan kami jika kamu tidak mau bekerjasama dengan kami," ujar salah satu dari mereka berempat.
"Aku nggak mau dua-duanya, gimana dong?"
Plak!!
"Maka ini yang akan kamu dapatkan!" Empat pria tersebut bersiap membuka sabuk celana mereka. Mereka kemudian membagi tugas, ada yang mengelus pipinya, ada yang mengelus lengannya, dan ada yang hampir menggerayangi bagian terlarangnya hingga membuat gadis itu berteriak minta tolong dan berusaha mengelak.
Aya mengerti jika teriakan dan juga permintaan tolongnya tak akan membawa hasil. Ia sering menonton adegan seperti ini di dalam drama action dan tak menyangka jika dirinya menjadi bagian dari drama tersebut.
Empat penjahat tersebut menyeringai semakin lebar. Tubuh Aya hampir ternodai dan ia hampir putus asa. Namun, Aya tak mengerti saat tiba-tiba mereka semua berteriak dengan mata melotot melihat ke arah sebalik Aya. Aya tak bisa melihat ke belakang, tapi hawa aneh yang ia rasakan membuatnya cukup mengerti bahwa teman lamanya sedang menampakkan wujud mereka pada para penjahat tersebut hingga membuat mereka tunggang-langgang ketakutan.
Untuk kali ini, Aya mengucapkan banyak terima kasih pada teman lama tak diharapkannya tersebut karena sudah membantunya mengusir penjahat itu menjauh darinya.
Napas Aya mulai tersendat dan ia terbatuk. Meskipun teman lama bisa membuat penjahat takut, tapi mereka tidak bisa membantunya membebaskannya dari ikatan menyakitkan di tangan dan juga kakinya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menanti tanpa kepastian pada orang yang akan menolongnya bebas dari sana.
Hanya satu orang yang sangat ia harapkan kedatangannya. "Ayah..." dan jatuh pingsan.
***
Gak sanggup bikin cuap2 panjang. Saya mau tidur, capek. Huah...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top