12
Dukk... Dukk... Duk...
Suara pantulan bola basket menggema di lapangan indoor sekolah yang sepi. Tak ada penonton, tapi para pemain tetap bermain penuh semangat untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam permainan.
Pada ekstarkurikuler kali ini pelatih basket mereka mempertandingkan tim inti dan tim baru. Tatapan mata Andra menajam. Ia sebagai ketua tim inti basket menatap tak suka pada salah satu anggota baru dalam ekstrakurikuler basket. Andra tak menduga bahwa dalam kegiatan sorepun, ia harus melihat wajah menyebalkan pria itu kembali. Beruntungnya sang pelatih tak menggabungkan pria itu ke dalam tim inti bersamanya. Jika hal itu terjadi, Andra tak yakin bisa memenangkan perlombaan seperti yang lalu. Konflik pasti akan terjadi antara mereka berdua.
Daniel, anggota baru dalam ekstrakurikuler tersebut turut memberikan tatapan tajam pada ketua tim lawan. Dia sebagai anak baru bukan berarti kemampuan bermain basketnya itu buruk. Andra tak tahu saja bahwa Daniel telah memegang 20 medali dalam bidang basket sebelum pindah ke Labschool.
Priiiit!!!
Peluit digemakan petanda permainan dimulai.
Gesit dan tangkas, itulah yang cocok dilukiskan tentang bagaimana cara Andra menggiring bola tanpa memberi kesempatan pada tim lawan untuk merebut bola basketnya. Tim lawan mulai tegang. Pasalnya tim inti benar-benar hebat. Dengan sangat kompak mereka saling mengoper bola dari satu anggota ke anggota lain.
"Ndraa..." Hero memberikan kode. Andra mengangguk samar, lalu memutar tubuh untuk menghindari bola direbut tim lawan. Dengan lemparan tepat, bola telah berpindah ke tangan Hero.
Saat ini bola diambil alih oleh Hero, salah satu anggota yang dinobatkan sebagai flowerboy. Tak hanya tampan dan berprestasi dalam mata pelajaran, anggota flowerboy juga memiliki kemampuan dalam banyak bidang.
Dukk dukk dukk...
Pantulan basket dan gesekan sepatu pemain menambah ketegangan tim lawan. Hero terus mendrible bola tanpa memberikan kesempatan pada tim lawan merebut bola.
"Heroo, berikan padaku!" Tak jauh dari ring basket dipihak lawan, Andra sudah siap menerima bola. Hero tersenyum sinis kala Daniel datang untuk menghalangi langkahnya. Hero tak akan gagal begitu saja. Pria itu sengaja membuat gerakan mengecoh, lalu bola dilempar ke arah Andra.
"Andraaa... Shoot!"
Priiitt!!!
"Yes!"
Andra mengepalkan telapak tangannya ke atas dengan perasaan bahagia. Bersama timnya, mereka saling ber-tos ria dan kompak memberikan senyuman sinis pada tim lawan sehingga menimbulkan kecemburuan dari tim lawan.
Daniel, pria jangkung berkulit putih tersebut tak menunjukkan riak apapun. Wajahnya datar seolah sedang menyembunyikan kemampuan yang sebenarnya.
Permainan terus berlanjut. Belajar dari kekalahan sebelumnya, tim Daniel mulai menunjukkan taringnya. Meskipun masih terbilang anggota baru, tapi kemampuan mereka tak kalah hebat dari tim inti. Sejak tadi tim inti tak diberikan kesempatan untuk memiliki bola. Tim Daniel benar-benar ingin balas dendam pada kesempatan kali ini.
"Daniel!"
Daniel menangkap bola dengan tepat dan gesit. Belum sempat Andra menangkis, bola sukses dilempar ke dalam ring.
"Yeeee... Daniel-ku hebaaat. Semangat! Semangat!!"
Semua pemain spontan menatap ke arah sumber kehebohan. Kursi penonton yang pada awalnya kosong tiba-tiba sudah diisi satu mahkluk astral menyebalkan. Tak hanya Daniel, bahkan Andra sebagai saudara sosok itupun ikut merasa malu akibat ulah yang dilakukannya. Gadis itu sebenarnya harus latihan di studio. Namun, gadis itu kabur setelah mengatakan akan ke toilet pada sang pelatih tari.
Sang pelatih basket meniup peluit petanda waktu jeda dimulai. Usai memberikan pujian dan nasehat-nasehat penting seputar permainan kedua tim, merekapun bubar untuk sementara.
Pada saat itu juga, mahkluk astral yang dimaksud tadi berlari turun dari kursi penonton menuju ke kumpulan tim Daniel. Dengan cengiran tak tahu malunya ia menyerahkan air mineral pada pria tersebut. Anggota tim yang lain kompak menyoraki. Tak ingin menggangu pasangan itu, mereka memilih menjauh masih dengan senyuman penuh makna tersungging di wajah mereka. Bagi yang tak mengerti, mungkin saja mereka berpikir bahwa Daniel dan mahkluk astral tersebut sedang menjalin sebuah hubungan yang spesial.
"Daniel, ini ambil. Aku bawain spesial buat kamu. Aku tau kamu bakal kehausan habis latihan barusan. Iya, 'kan?" Aya, gadis itu masih berusaha memberikan air mineral di tangannya.
"Aku udah punya sendiri." Daniel menunjukkan air mineral di tangannya pada gadis itu, lalu pergi.
Bibir Aya mengerucut. Ia sedikit kecewa saat secara tak langsung Daniel menolak pemberiannya. Melihat Daniel menjauh, gadis itu tak berniat untuk ikut menjauh. Ia harus terus mengejar hingga pria itu sudi menatapnya.
"Hey, tungguin." Aya berseru sembari berlari mengejar langkah Daniel.
"Nggak apa kalo udah ada airnya, tapi ini simpan aja buat cadangan kalo yang itu habis nanti. Ini, ambil aja." Aya menarik telapak tangan Daniel, lalu menyerahkan air mineral tersebut tanpa bisa Daniel menolak.
Aya memberikan senyum tipis yang manis. Entah kenapa, melihat senyum itu jantung Daniel berdetak tak karuan. Ia sering melihat gadis itu tersenyum padanya. Tapi senyumannya lebih mirip dengan cengiran yang membuat Daniel jijik. Untuk kali ini berbeda. Daniel melihat senyum ketulusan dari gadis itu untuknya.
Dan, saat seperti ini, Daniel merasa bahwa Aya jauh lebih cantik dibanding Aya yang sebelumnya.
Oh, apakah Daniel mulai menyukai Aya?
Buru-buru Daniel menghapus pikiran tersebut dari kepalanya. Tak mungkin dan tak akan pernah mungkin. Ia dan gadis itu berbeda. Perbedaan yang dimiliki tak mungkin bisa menyatukan mereka. Tak ingin membuat perasaan anehnya semakin merambat jauh, ia harus menghentikannya dari sekarang.
Dari posisi yang berbeda, Andra dan rekan-rekannya memperhatikan adegan dua anak manusia jauh di depannya dengan tatapan yang bermacam-macam. Ada yang tersenyum, dan ada yang marah.
Tak ada yang lebih marah kala melihat gadis itu bersama laki-laki seperti Daniel, selain Andra. Botol air mineral yang sudah kosong tanpa sadar ia remukkan begitu saja. Tatapannya menajam tatkala Aya tak menyerah mengekori meskipun jelas Daniel sudah mengabaikannya.
Andra hanya tak ingin melihat saudara perempuannya disakiti lebih dalam. Laki-laki seperti Daniel bukanlah pasangan yang cocok untuk gadis itu. Daniel jelas tak menyukai Aya, tapi Aya tak pernah menyerah begitu saja.
"AYAA!" tanpa Andra sadari, teriakan itu tiba-tiba saja keluar dari bibirnya. Tak hanya orang-orang di area basket saja yang kaget, bahkan dirinya sendiri saja ikut kaget mendengar teriakannya.
Ketika sadar bahwa semua orang menatapnya aneh, Andra mengerjap dan seperti salah tingkah.
"Lo kenapa?" Hero pertama kali bertanya.
Sudah kepalang malu, Andra memilih melanjutkannya. Pertanyaan Hero ia abaikan dan ia beranjak dari duduknya menuju posisi Daniel dan saudara kembarnya berdiri. Tatapannya tajam menatap lurus Daniel seolah tatapannya tersebut mampu mencabik-cabik tubuh Daniel tanpa sisa.
"Sini!" Andra menarik Aya menjauh dari Daniel. Aya jelas kesal. Gadis itu tak menyukai sikap abangnya mirip seperti sang ayah. Aya tak ingin terus dikekang oleh dua pria di rumahnya hanya karena ia dekat dengan seorang pria. Sebagaimana remaja pada umumnya, Aya juga ingin merasakan indahnya pacaran bersama orang yang dicintainya.
"Apa,sih?!"
Andra tak menjawab. Tatapan tajamnya masih setia menghunus pada Daniel. Siswa lain yang menyaksikan jadi ikut tegang dan menduga-duga bahwa akan ada perkelahian hebat di sana.
Tapi...
"Ambilin air di dalam mobil, ya?"
Toeng!!
Wajah-wajah yang sempat tegang seketika berubah datar. Mereka pikir akan menyaksikan adegan tonjok-tonjokan antara Andra dan Daniel. Tapi ternyata, pria itu hanya ingin menyerahkan kunci mobil dan meminta Aya untuk mengambilkan air minum di sana.
Aya mendengus. Ia juga sempat tegang sebelumnya. Begitu tahu apa yang diinginkan sang kembaran, rasanya ingin ia benturkan kepala pria itu pada tembok.
"Kenapa nggak ambil sendiri, sih?" kesalnya. Meskipun begitu, ia tetap beranjak dari sana dengan hentakan kaki marah.
Usai kepergian Aya dari lapangan, Andra beralih pada Daniel yang masih menampakkan wajah tanpa ekspresi. Bahkan dengan santainya pria itu menenggak minuman yang tadi sempat ditolaknya.
"Lo...," Andra menunjuk Daniel marah. "Kalo lo nggak suka saudara kembar gue, jauhin dia. Jangan permainkan atau menyakiti perasaannya sedikitpun. Lo ngerti itu 'kan?"
Daniel tak menanggapi. Dengan santai dia mendudukkan tubuhnya di salah satu bangku penonton, kembali menenggak minumannya.
Melihat hal itu, emosi Andra semakin memuncak. Tanpa berbasa-basi, ia langsung menarik kerah kaos Daniel hingga pria itu berdiri dari posisi sebelumnya. "Lo denger gue nggak, sih!!"
Daniel berdecak. Cengkeraman Andra pada kaosnya ia lepas paksa, lalu berujar, "seharusnya kamu bilangin sama saudaramu itu terlebih dahulu. Jelas terlihat bahwa dia sendiri yang mengejar-ngejarku meskipun aku sudah menolak. Jadi, jangan menyalahkanku jika saudaramu memang lebih suka disakiti."
"Brengsek!!"
Duak!!
Kegaduhan tak terelakkan. Tanpa bisa dicegah, perkelahian yang sejak awal sudah dinanti akhirnya terjadi juga. Beberapa siswa pengikut ekstrakurikuler basket yang ada di sana berusaha mencegah. Bahkan sang pelatih yang baru saja tiba di lapangan berniat untuk memulai kembali permainan, ikut panik dan berusaha melerai keduanya.
Beruntungnya Daniel tak membalas pukulan Andra. Hanya saja, mereka sulit memisahkan Andra dari Daniel agar pria itu tak semakin membuat Daniel babak belur.
"Andra!! Hentikan, jika kamu tidak mau di skor oleh pihak sekolah karena kasus ini!"
Pada akhirnya, Andra berhenti menghabisi Daniel saat sang pelatih mengancam akan menskor-nya. Napasnya naik-turun. Matanya masih senantiasa menatap tajam Daniel meskipun pria itu sudah dibuat babak belur olehnya.
"Gue nggak akan lepasin lo lagi, kalo sampe lo masih deketin saudara gue."
Cuih.
Andra meludah kasar, bukan pada Daniel tapi ke arah lain di lapangan basket. Usai menuntaskan emosinya pada Daniel, ia memilih pergi dengan sendirinya.
***
Aya tak berhenti kumat-kamit sepanjang perjalanan menuju area parkiran hanya untuk mengambilkan saudara kembarnya air minum. Andra seolah sengaja membuatnya menjauh dari Daniel dengan cara seperti itu.
Sebenarnya Aya paling benci berada di parkiran sendirian. Area parkir gelap, lembab, dan sepi. Hal yang tak ingin ia lihat biasanya menampakkan wujudnya secara tiba-tiba dan selalu membuat Aya tersentak kaget.
Aya tidak takut, tapi Aya lelah jika terus-terusan dibuat kaget oleh kemunculan makhluk itu secara tiba-tiba di depan wajahnya.
Takk! Takk! Takk!
Aya mendesah. Sudah ia duga mereka akan muncul. Mengabaikan suara langkah kaki yang terdengar jelas di belakang, Aya memilih melanjutkan langkah menuju mobilnya.
Takk! Takk! Takk!
Suara itu masih terdengar, malah terasa semakin mendekatinya. Mungkin, jika ia berbalik sekarang, makhluk itu akan terpampang beberapa milimeter dari wajahnya dan rupa mahkluk itu jelek minta ampun. Iya kalo ganteng, lah ini hancur lebur, apanya yang mau dilirik? Itu kata Aya sewaktu sahabatnya meledek menyuruh gadis itu balas menatap tatapan mata makhluk tersebut.
Pintu mobil sudah terbuka. Separuh tubuh Aya masuk ke dalam mobil berusaha mencari air mineral yang Andra maksud tadi.
"Kok nggak ada, ya?" gumamnya.
Ia sibuk mengobok-obok isi mobilnya demi mencari benda yang dimaksud sang kembaran, tetap saja ia tak menemukannya. Ia kembali kumat-kamit dengan perasaan dongkol saat terpikir olehnya bahwa Andra sudah mempermainkannya. Aya baru sadar jika saudara kembarnya tersebut sedang mencoba memisahkannya dari Daniel.
Aya menggeram. Emosinya semakin naik ke ubun-ubun saat dirasa bahunya dicolek-colek nakal dari arah belakang.
Aya mengetap bibir dan bersiap menyembur si teman lama tak kasat mata yang tak berhenti mengganggunya tersebut. Namun, baru saja ia berbalik, pandangannya tiba-tiba menjadi gelap dan ada rasa nyeri pada salah satu anggota tubuhnya sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.
***
Daniel melangkah masuk ke ruang ganti dan bermaksud untuk mengobati lukanya. Sang pelatih sudah memberikan obat untuk mencegah infeksi, dan Daniel memilih untuk mengobatinya sendiri di ruang ganti. Sementara yang lain kembali berlatih melanjutkan permainan yang belum selesai.
"Sshh..." Tak ia pungkiri bahwa pukulan yang dilayangkan Andra itu benar-benar sakit. Sudut bibirnya pecah, ada bercak darah mengering di sana. Jika ia pulang dalam kondisi seperti itu, ia takut ibunya akan mengkhawatirkannya secara berlebihan.
Pria itu melemparkan kapas bekas mengobati lukanya ke sembarang arah, kemudian mendesah. Ia sebenarnya tak ingin terlibat pertengkaran dengan siapapun. Ia lelah jika terus-menerus hidup dalam sangkar kebencian orang-orang. Bahkan ia sendiri belum berhasil lolos dari kebencian sang ayah. Nyawanya sedang dipertaruhkan.
Menyakiti hati seorang gadis bukanlah hal yang disukai Daniel. Ia menghormati setiap perempuan di muka bumi ini sebagaimana ia menghormati sang ibu yang sudah melahirkannya. Hanya saja, untuk saat ini bukanlah saat yang tepat untuk membuat para wanita berharap lebih padanya. Kehidupannya sedang kacau dan Daniel tak mau melibatkan siapapun menjadi korban kesalahpahaman ayahnya. Tanpa siapapun ketahui, usai mendapati dua anak buah ayahnya mengincar gadis itu dan saudaranya untuk menjebak Daniel, pria itu tak bisa tidur semalaman.
"Haaaah..." desahan Daniel kembali terdengar. Mood-nya benar-benar kacau belakangan ini. Ia memutuskan untuk pulang dari kegiatan sore itu meskipun latihan belum berakhir. Hatinya benar-benar kacau.
Pria itu berdiri sedikit tak semangat dan akan mengambil tasnya di dalam loker. Awalnya ia tak mencurigai apapun isi di dalam lokernya tersebut. Namun, begitu ia hendak menutup pintunya, retina matanya tak sengaja menemukan kertas memo ditempelkan dibalik pintu lokernya.
"Gadismu ada bersama kami. Jika ingin dia selamat, hubungi nomor tersebut untuk mengetahui keberadaannya."
Degg!!!
Tanpa perlu berpikir dua atau tiga kali tentang makna kata 'gadismu' yang tertulis di memo tersebut, Daniel sudah menduga bahwa gadis yang dimaksud adalah Aya. Pria itu menggeram. Kertas memo di tangannya ia remukkan hingga tak berbentuk.
Tanpa berpikir panjang, ia berlari tanpa bersusah payah menutup lokernya kembali. Ia ingat bahwa Andra menyuruh gadis itu mengambil minuman di mobil mereka, maka tujuan pertama Daniel adalah area parkir.
Jantungnya berdegup kencang. Pasalnya, orang-orang utusan sang ayah adalah penjahat kelas kakap yang tidak pernah segan-segan membunuh mangsanya. Aya tak boleh terlibat. Ini adalah masalahnya bersama sang ayah. Walau bagaimanapun sebalnya ia pada gadis tersebut, bukan berarti dia harus lepas tangan pada masalah ini.
"Dia nggak boleh terlibat."
Napas Daniel ngos-ngosan ketika tiba di area parkiran. Mata tajamnya mengamati setiap sudut area parkir dan tak menemukan keberadaan Aya maupun sang penjahat di sana.
Daniel semakin cemas. Ponsel di dalam saku ia keluarkan. Orang pertama yang harus ia pintai bantuan adalah sang paman. Tapi sayang, ponsel Sultan sedang tidak bisa dihubungi.
"Arrgh!!" Daniel berteriak sembari meremas rambutnya sendiri. Seharusnya ia sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan seperti ini terjadi. Daniel lengah. Ia akan terus menyalahkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu pada gadis yang tidak tahu apa-apa tersebut.
"Nggak ada cara lain." Daniel bergumam. Kertas memo yang sudah tak berbentuk ia leraikan kembali. Nomor ponsel yang tertera di atas kertas akan ia coba hubungi.
Tuuut...
"Jangan libatkan dia dalam masalah kita. Lepaskan gadis itu." Daniel berkata to the point.
Terdengar tawa di seberang telepon. "Lepaskan dengan tanganmu sendiri jika ingin dia bebas."
Daniel menggeram. "Kalian menginginkan bukti itu dan juga nyawaku dan ibuku, bukan? Jadi, jangan libatkan gadis yang tidak tahu apa-apa. Dengar, dia tidak terlibat apapun dengan masalahku. Jika sampai kalian menyakitinya walau seujung kuku sekalipun, jangan harap kalian akan selamat."
"Berani sekali kamu, bocah. Kalau begitu kamu juga harus mendengarkan kami. Datang ke sini dan bawa memory card itu serta ibumu pada kami. Ingat, jangan membawa siapapun selain ibumu ke tempat kami. Jika kamu membodohi kami, jangan harap gadis ini akan selamat."
Klik.
Panggilan diputus sepihak. Daniel mendengus kasar. Kebimbangan mulai melandanya. Memilih antara nyawa mereka atau nyawa gadis itu? Tapi, ia sudah memantapkan di dalam hati bahwa di dalam masalahnya ia tak boleh melibatkan orang lain.
"Haaaah..." Daniel mendesah. Tak ingin memilih, Daniel akan mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkan nyawa ibu dan juga nyawa gadis itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top