10
"Kondisi ekonomi Indonesia yang semakin anjlok menjadi sasaran lirikan para investor. Baik investor dalam negeri maupun luar negeri. Senin, sebanyak 10 perusahaan asing baru saja menandatangani perjanjian komitmen di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta. Jenis investasinya beragam. Namun, perusahaan yang paling banyak menanamkan modalnya ke Indonesia adalah perusahaan The Iron Steel company, Korea Selatan. The Iron Steel Company adalah perusahaan baja ketiga terbesar yang ada di dunia dan dinilai penting dalam membangun perekonomian negara Korea Selatan dalam bidang indutri perkapalan dan otomotif. Kemarin, tepatnya pada Senin, Presiden Direktur The Iron Steel Company, Mr. Il Joon Choi, datang langsung ke Indonesia untuk menandatangani berkas perjanjian kerjasama dengan Indonesia. Besar harapan pemerintah Indonesia untuk merangkak maju melalui hubungan kerjasama yang dilakukan. Demikian Headline News, kami laporkan."
Klik.
"Sial. Dia di sini." Sultan meremas erat remot tv apartemennya usai melihat berita yang ditayangkan di televisi pagi ini. Pria itu geram dan juga cemas. Tak ingin terlarut dalam keterdiaman, Sultan bergegas mengambil ponselnya di atas meja dan langsung menghubungi sang keponakan.
"Kamu harus jaga ibumu baik-baik. Kita dalam masalah besar sekarang. Ayahmu ada di sini. Berhati-hati mulai sekarang. Dan sepertinya Paman harus menyewa beberapa penjaga untuk melindungi kalian. Juga, sepertinya kamu jangan menggunakan kendaraan pribadi ketika ke sekolah. Ingat, anak buah pria itu bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang cerdas yang bisa melacak siapapun dengan apapun. Untuk berhati-hati, simpan motormu di garasi bawah tanah yang sudah diberikan perlindungan ganda."
"Baik, Paman."
Klik.
"Sepertinya aku juga harus bergegas memecahkan kasus ini."
Sultan berlari, mengambil jas kerja dan kunci mobil untuk kembali ke kantor. Sepertinya tugas Sultan semakin berat dan proses penyelesaiannya terbatasi waktu. Jika dia lengah satu detik saja, mungkin penjahat itu akan menemukan keberadaan kakak dan juga keponakannya bersembunyi.
***
Daniel tiba di sekolah sedikit terlambat pagi ini. Pasalnya, ia harus menunggu angkutan umum tiba di halte cukup lama. Seperti pesan yang diberikan sang paman tadi pagi, Daniel berhenti menggunakan sepeda motornya ketika ke sekolah. Untuk itu, ia harus merelakan dirinya berdesak-desakan bersama penumpang lain di dalam angkutan umum.
Ia kemudian berjalan kaki dari halte dekat sekolah. Langkah kakinya tiba-tiba terhenti kala tak sengaja matanya melihat dua orang pria misterius sedang mengamati sekolahnya. Daniel berusaha mengamati wajah keduanya, namun terhalang oleh kacamata hitam dan posisi wajah dua pria itu menyamping, sehingga hanya menampakkan sisi kiri wajah mereka.
Saat Daniel mengintip dari celah pagar sekolah tentang siapa yang sedang dua pria itu amati. "Gadis penguntit itu?" gumamnya.
Daniel mencoba untuk tak ambil pusing. Ia kembali melangkah, tapi kembali terhenti saat sayup-sayup ia mendengar obrolan dua pria itu dari dalam mobil mereka.
"Apa kita harus menunggu atau langsung menyergapnya?"
"Jangan. Kita hanya perlu membuntutinya agar bisa melacak keberadaan Tuan Muda Choi."
Degg!!
Saat itu juga jantung Daniel berdetak tak karuan. Langkah kaki yang semula mantap ke depan, berbalik mundur selangkah demi selangkah dan memilih jalan pintas menuju halaman belakang sekolah.
Takk!
Lompatan sempurna. Napas Daniel sedikit memburu usai berhasil memanjat pagar belakang sekolah. Ia berhasil melarikan diri tanpa disadari dua pria asing tadi. Tapi, ia tak bisa menenangkan perasaannya sendiri kala mengetahui bahwa dirinya dan sang ibu dalam keadaan darurat. Kekhawatiran itu semakin bertambah karena ternyata gadis aneh yang selalu membuntutinya itu ikut menjadi target musuh ayahnya.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, pikiran Daniel berkecamuk. Ia bahkan tak fokus saat melangkah hingga tak sengaja menabrak seseorang di depannya.
"Hey!"
Tanpa melihat siapa yang ia tabrak, Daniel buru-buru menunduk-nundukkan kepalanya sembari bergumam minta maaf. Ia hendak melangkah pergi, tapi seseorang yang ia tabrak tampak tak terima dan langsung menarik kerah seragam Daniel.
"Hey, tunggu dulu!"
Mau tak mau Daniel harus berbalik dan bertatapan langsung dengan orang tersebut. Keduanya saling tatap, dan pria yang Daniel tabrak spontan membulatkan matanya kaget. "Ello?"
Daniel hanya menunjukkan riak santai, meskipun ia tahu siapa yang baru saja ditabraknya.
"Ketemu lagi kita, ya? Ini kali ke tiga elo udah bikin masalah sama gue. Pertama, lo berani ikut campur urusan gue di kantin. Kedua, lo cowok yang udah berani bawa-bawa saudara gue ke tempat sepi dan gelap. Dan ketiga, lo sengaja nabrak gue saat udah jelas-jelas gue segede ini ada di depan mata lo. Mau lo apa? Nyari sensasi biar bisa ikut ngehits di sekolah ini? ha?!"
Para siswa sudah berkumpul dan berkasak-kusuk menyaksikan pertengkaran antara flowerboy, Andra dan juga siswa pindahan tampan, Daniel. Dimata siswa-siswa Labschool, Andra sebenarnya baik, tapi siapa yang sudah menyakiti hatinya sejak awal, pria itu akan terus membenci sang pelaku hingga akhir. Mungkin saja Daniel akan menjadi musuh baru bagi Andra dan rekan-rekannya mulai saat ini.
Kasian, Daniel.
Daniel mendengus. Dia paling malas berada dalam situasi seperti ini. Daniel tak bermaksud memulai pertengkaran, ia tak sengaja dan pria yang ia tabrak sama sekali tak mentolerir kejadian itu.
"Aku sudah minta maaf. Jadi, tolong lepaskan." Daniel mencengkeram pergelangan tangan Andra pada kerah bajunya, dan menghempaskannya kasar begitu saja.
Daniel berbalik pergi. Tanpa disangka-sangka, Andra mengejar, menarik pundak Daniel, lalu menghempaskan tubuh pria itu hingga terbentur ke dinding koridor. Para siswa yang menyaksikan spontan memekik. Beruntung Andra masih bisa mengontrol emosinya kala itu, sehingga Daniel tak mendapat tonjokan maut dari sang ketua flowerboy.
"Lo anak baru di sini. Jangan pernah bertingkah menyebalkan. Sebagai anak baru, lo harus bersikap sopan pada siswa-siswa lain di sini. Apalagi gue kakak kelas lo. So, jangan belagu lo di sini. Paham?!" Andra menyentak Daniel, lalu melepaskannya.
"Sekali lagi lo nyari masalah sama gue, habis lo." Andra mendecih kasar.
"Cabut, guys." Keempat flowerboy sekolah beranjak meninggalkan Daniel yang tampak berantakan. Tak ada yang berani membela ataupun ikut campur dalam masalah empat pria tampan berprestasi tersebut. Mereka hanya tak ingin menjadi musuh selanjutnya. Sekali melakukan kekhilafan, seumur hidup empat bersahabat itu akan mengingatnya.
Usai ditinggalkan Andra dan tiga rekannya pergi, Daniel merapikan penampilannya yang sempat berantakan. Tatapan matanya tak berhenti menyorot tajam Andra dengan napas memburu. Dari tatapan mata tajamnya dapat dilihat bahwa Daniel mulai menyimpan aura kebencian terhadap Andra.
***
Grepp!
"Eh?"
"Kita harus bicara."
"Ha?"
"Berdua."
"Apa?"
Aya belum sempat berpikir apa-apa saat ia sedang asik bercengkerama bersama sahabatnya, Daniel tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dan mengajaknya bicara empat mata.
Tentu saja Aya kaget.
Mata gadis itu mengerjap beberapa kali guna menerka-nerka apa yang sedang pria itu inginkan darinya. Apakah pria itu akan menyatakan cintanya? Mengajaknya kencan? Atau langsung mengenalkannya pada orangtua pria itu?
Hati Aya berbunga-bunga. Berbagai pemikiran menarik mulai bergelayut di pikirannya. Namun, angan itu tiba-tiba menghilang saat dengan tak sabaran dan sedikit kasar, Daniel menariknya pergi keluar dari kelas. Tiga sahabat Aya tak berpikir yang aneh-aneh. Malah mereka menyoraki Aya dengan kalimat godaan, "Cieeee... Cemungud Ayaa. Hahahah..."
Hingga di sinilah Daniel membawanya. Taman belakang sekolah yang sedang sepi. Hal tersebut dikarenakan jam pelajaran pertama baru saja dimulai.
"Aduh, ada apa sebenarnya? Kalo mau nembak aku, jangan pake tarik-tarik, dong. Yang lembut dikit napa. Biar romantis."
Daniel mendengus. Apa Aya tak bisa membaca raut wajah orang lain? Terlihat jelas di wajah Daniel bahwa pria itu sedang tak ingin bercanda atau melakukan suatu hal romantis padanya. Lalu, darimananya Aya berpikir bahwa Daniel akan menembaknya?
"Sorry, aku udah kasar. Tapi, ada beberapa hal yang harus aku katakan sama kamu," ungkap Daniel serius.
"Aih, mau bilang apa, siiih?" Aya tersenyum-senyum malu. Matanya berkedip-kedip, bukan kelilipan, lebih tepatnya berusaha tampil imut. Namun di mata Daniel, apa yang Aya lakukan saat ini membuatnya ilfeel.
Daniel mendesah sejenak, lalu kembali menatap Aya serius. "To the point aja. Pertama, jangan terlalu dekat denganku mulai saat ini. Jangan pernah coba cari tau apapun tentang diriku lagi. Kedua, aku nggak suka tipe gadis sepertimu. Ketiga, Jangan coba-coba membuntutiku layaknya penguntit. Dan keempat, katakan pada saudaramu jika bukan aku yang membawamu ke tempat sepi itu, melainkan kamu sendiri yang membuntutiku. Aku nggak mau ada kejadian apapun yang melibatkan kesalahpahaman orang lain hingga membawa petaka suatu saat nanti."
Aya mengerjap beberapa kali. Ia berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Daniel padanya. Permintaan apa itu? Semua hal yang pria itu pinta, hanya satu hal yang bisa ia lakukan, yaitu poin ke empat dan itu sudah ia katakan, tapi keluarganya tetap menyalahkan Daniel.
"Emangnya kenapa kamu minta itu?" tanya Aya, pelan. Ada nada kekecewaan dari ucapan gadis itu.
"Karena aku nggak suka kamu melakukan itu. Apapun yang aku sembunyikan, itu adalah masalah pribadiku. Kamu, nggak berhak mencari tau. Aku harap ini sudah sangat jelas. Kita nggak boleh terlibat apapun lagi mulai saat ini. Ingat, apapun yang akan terjadi sama kamu, aku nggak bertanggung jawab, karena aku sudah memberikan peringatan."
Daniel berbalik hendak pergi, tapi Aya dengan cepat menarik lengan pria itu. "Tapi aku serius suka sama kamu, Daniel. Dan aku sudah putuskan nggak akan jauh-jauh dari kamu."
Daniel menarik tangannya dari gadis itu, lalu menatapnya tajam. "Aku sudah mengatakan sejak awal. Aku nggak suka sama kamu, sedikitpun. Jadi, jauhi aku. Jika kamu tetap mengabaikan, resiko terburuk kamu tanggung sendiri."
Pria itu kemudian benar-benar pergi meninggalkannya. Aya bahkan tak berkeinginan untuk mengejar. Hati gadis itu sedikit terluka. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri. Selama ini ia tak pernah merasakan indahnya jatuh cinta. Sekali ia jatuh cinta, pria yang dicintainya malah menolak secara gamblang dan tanpa perasaan.
Namun, bukan Aya namanya jika dia menyerah dengan begitu mudah. Ia akan mempertahankan cintanya untuk Daniel. Walau bagaimanapun, pria itu harus bertanggung jawab karena sudah membuatnya jatuh dalam pesonanya hingga tak bisa pergi ke lain hati.
"Bukan Aya namanya jika menyerah sampai di sini. Cinta harus diperjuangkan," ujarnya mantap.
***
"Berapa lama kita akan berada di sini, Sayang?"
Di salah satu kamar hotel bintang lima yang ada di Jakarta, dua manusia berbeda jenis kelamin asik bergelung di dalam selimut tanpa sehelai pakaian yang mereka kenakan. Wanita cantik bertubuh menggoda asik menempel pada dada sang pria, mengusapnya pelan untuk menggoda.
"Hingga kita bisa menemukan mereka." Pria itu menjawab. Dia kemudian berusaha duduk, mengambil gelas wine yang tersedia di nakas lalu menenggaknya sedikit demi sedikit.
Wanita di sebelahnya ikut terduduk. Gelas wine sang pria yang masih terisi, ia ambil dan menenggaknya hingga tandas.
"Aku tidak tahan berada di sini. Udaranya panas dan pengap. Aku butuh udara segar tanpa adanya gangguan siapapun dan tanpa polusi yang membuat kulit wajahku kusam." Wanita itu mengusap-usap wajah mulus bak porselen hasil operasi plastik tersebut dengan lembut dan penuh kehati-hatian.
Tak dapat dipungkiri bahwa pesona yang ditampilkan sang wanita cantik tersebut mampu menarik pria manapun jatuh ke dalam dekapannya. Salah satu bukti sudah tersedia di depan mata. Menjabat sebagai sekretaris perusahaan sang atasan hanya sebagai jembatan untuk meraup kepuasan duniawi. Mendapat jabatan menarik sekaligus mengeruk uang sang atasan dengan menggodanya. Usaha yang dilakukan tak pernah gagal. Dengan mudah, bahkan bisa dikatakan hanya dengan sekali petikan jari, pria itu sudah masuk ke dalam perangkapnya.
Wajar jika wanita itu menjadikan makna 'Wajah adalah aset berharga' dalam kehidupannya, karena berkat wajah cantiknya ia bisa menggenggam pria dan dunianya.
"Tenang saja. Kita tidak akan berlama-lama di sini. Atau, jika kamu mau, aku bisa menyewa sebuah pulau pribadi untuk kencan kita ini. Tentunya tanpa ada gangguan apapun di sana." sang pria memberikan penawaran yang tentunya tak akan pernah ditolak sang wanita.
"Dengan senang hati. Tapi, di mana itu?"
Pria itu tersenyum, "The Water Island."
"Aku baru pernah dengar." Wanita itu tampak bingung.
Gemas, pria itu mengecup pipi sang wanita hingga menimbulkan kikikan geli darinya. "Kamu akan tahu saat tiba di sana nanti."
"I can't wait."
***
Andra membuka pintu kamar sang kembaran tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu, dan ia sedikit melonjak kaget saat melihat apa yang sedang saudara kembarnya itu lakukan di atas ranjangnya.
"Kamu ngapain?" tanya Andra, tegang. Pasalnya, apa yang ia lihat membuat Andra meringis ketakutan. Lebih tepatnya takut terjadi sesuatu dengan tubuh kembarannya tersebut.
Aya hanya menyengir, lalu menjawab, "Salto," dengan santai.
Andra meringis. Belum sempat ia melarang, sang kembaran sudah memasang ancang-ancang berdiri di atas ranjang, lalu melompat di udara sembari membuat gerakan memutar badan. Andra kontan memekik. Ia bahkan langsung berlari, berharap bisa menangkap tubuh Aya sebelum tertelungkup ke lantai yang mana nanti malah membuat hidungnya tambah hilang. Namun sayang, bukannya menjadi penyelamat sang kembaran, malah tubuhnya sendiri mendapat terjangan maut dari gadis itu.
"Abang!!" Kini giliran Aya yang memekik. Buru-buru ia mendekati sang abang yang sudah tertelungkup menyedihkan di lantai. Begitu berhasil membalikkan tubuh sang kembaran, Aya kembali memekik kala melihat darah mengalir dari dua lubang hidung Andra.
"Idung gueee. Hik... Idung gue patah, nggak? Bengkok, nggak? Atau hilang?" Dalam setengah kesadaran yang dimiliki, Andra langsung meraba hidungnya. Hal pertama yang ia cemaskan adalah satu aset berharganya tersebut. Jika hidung mancungnya hilang, maka hilang juga pesona seorang Andra.
Aya tak memperdulikan kekhawatiran Andra, yang ia khawatirkan adalah darah yang terus keluar dari hidung pria itu. Jika bunda mereka mengetahui masalah ini, Aya dalam masalah besar. Bisa-bisa bunda akan mengadu pada ayah untuk mengeluarkannya dari taekwondo karena sudah mencelakai saudaranya sendiri.
10 tisu kering sudah Aya gunakan untuk mengelap darah tersebut, syukurlah sedikit demi sedikit darah itu berhenti keluar.
"Lagian Abang sih, ngapain orang salto dideketin? Sengaja nyari penyakit? Awas kalo ngadu macem-macem sama bunda, ya."
Andra berusaha duduk. Tangannya masih meraba-raba hidungnya yang terasa nyeri bukan main. Aya kemudian ia tatap kesal, "Kakak itu yang selalu nggak berhenti bikin orang cemas. Ngapain pake salto segala di atas ranjang? Kalo kaki, tangan, lehermu patah gimana?"
Bukannya merasa bersalah, Aya malah tersenyum-senyum menatap sang kembaran. "Ciee... Perhatian diaaa? Takut, yaaa? Tapi sayang, Bang. Kakak itu udah suka sama cowok lain. Abang itu bukan tipe Kakak, tau."
Andra spontan melotot. "Idih! Jijik gue!" lalu menjauh dari gadis itu.
"Hahahaha..." Aya terbahak. Mengerjai saudaranya sendiri menjadi hiburan tersendiri bagi gadis urakan tersebut. Lagipula, Aya juga masih waras kok. Tidak mungkin dia menyukai saudara kembarnya sendiri layaknya ia menyukai Daniel. Apa kata dunia? Bisa jadi kiamat makin dekat jika itu sampai terjadi.
"Berhenti ketawa!" Andra membentak. "Abang tadi ke sini mau nyari dedek. Mana dia?"
Aya berusaha menghentikan tawanya, tapi entah kenapa susah sekali. Andra bahkan harus mencubit pipi tirus sang kembaran dengan kuat hingga tawa gadis itu berubah menjadi ringisan.
"Sakit, Bang!" bentak Aya. Pipinya yang memerah dan ada bekas kuku Andra, ia usap-usap. Cubitan Andra tidak pernah main-main. Jika ia tidak segera menepis cubitan itu, mungkin pipi Aya sudah berdarah karenanya.
"Lagian, kenapa nyari dia di sini? Ada urusan apaan sampai dia mau main ke kamar Kakak? Cari noh di ruang bedahnya," ketus Aya. Pipinya masih senantiasa ia usap.
Tanpa mau berlama-lama di kamar pengap tersebut, Andra enyah dari sana usai mengetahui keberadaan Al, dan meninggalkan Aya yang misuh-misuh sendiri.
***
"Dek."
"Hm."
Andra masuk ke ruang kerja Althaf begitu ia mendapat respon gumaman dari sang adik barusan. Pria itu kemudian mengernyit begitu melihat apa yang sedang Althaf kerjakan di depan meja komputernya. "Kali ini bikin apa?"
Althaf tak menjawab. Dirinya sedang fokus pada layar komputer yang menampilkan tulisan-tulisan tak orang mengerti, tapi dirinya mengerti.
"Ini benda apa?"
"Jangan sentuh!" Andra spontan menarik kembali tangannya dari benda kotak kecil yang sedang terhubung ke komputer, saat adiknya itu tiba-tiba menepis tangannya dan membentaknya.
Luar biasa sekali adiknya yang satu itu.
"Bikin apa, sih? Orang nanya diabaikan. Gue orang woy, bukan genderuwo," kesal Andra.
Al mendesah. Kacamata anti radiasinya ia lepaskan, lalu menatap sang abang sedikit kesal. "Abang mau apa ke sini? Ganggu."
Andra berdecak. Kesal, ia menempeleng pelan kepala adiknya begitu saja. Al berusaha sabar. Ia sudah terbiasa menghadapi sikap kekanakan abangnya yang seperti itu.
"Bunda nyuruh ambil beras di tokonya Bu Andang. Kamu ambil."
"Lah? Yang disuruh siapa? Kok Al yang disuruh?" Al protes. Lagipula abangnya itu ada-ada saja. Masa iya Al yang disuruh pikul beras 50 kilogram sendirian. Biasanya juga abangnya itu yang disuruh sang bunda ambil menggunakan mobil.
"Bunda nyuruh Abang nyampein ke kamu, Dek."
"Nggak percaya. Udah sanaa. Jangan ganggu pekerjaan Al."
Andra mendecih pelan. "Sok keren kamu, Dek. Baru bikin kotak nggak guna gitu udah sok sibuk, bilangnya pekerjaan. Ck, ck..."
Althaf menatap sang abang kesal. Hampir saja ia ingin melemparkan monitor komputer di depannya itu jika saja ia tak ingat bahwa harga komputer yang dibelikan sang ayah harganya tak main-main. Jika rusak, tak akan diganti dengan baru oleh sang ayah.
"Sebelum keyboard ini melayang, mending Abang pergi. Jangan ganggu Al!" Al siap-siap memegang keyboard komputernya, tapi Andra buru-buru kabur sebelum nanti kepalanya ikut bocor. Sudah cukup hidungnya patah usai ditendang Aya, jangan sampai kali ini kepalanya bocor usai dilempar Al menggunakan keyboard komputer.
Kasian Andra. Punya adik kok sadis semua, ya?
Al berusaha meredam emosinya yang sempat tersulut. Usai kepergian sang abang, ia kembali fokus pada layar komputer. Tampaknya anak itu masih berusaha menyalin data komputer untuk dikoneksikan ke dalam alat pelacak yang sudah dirakitnya. Jika proses penyalinan ini selesai, alat pelacaknya akan diuji coba. Apakah sudah bisa menerima data atau belum?
Saat penyalinan hampir selesai, suara pintu yang dibuka kembali membuat Al terganggu. Anak itu kembali mendesah. "Sekarang apaaa?" kesalnya.
"Udah jadi belom?"
Al mendongak, ternyata sang kakak. Ia pikir abangnya kembali dan bersiap mengganggunya lagi.
"Masih transfer data. Habis ini mau di uji cobakan sama Emamora."
Aya mengangguk-angguk paham. Emamora yang dimaksud Al adalah hamster peliharannya. Setiap ada ciptaan baru, maka tugas Emamora menjadi hewan percobaan.
"Kalo ini berhasil, besok udah jadi." Al menambahkan.
"Oke. Kakak tunggu besok. Udah nggak sabaaar. Lalalaaaa... "
Desahan Al kembali terdengar. Abangnya aneh, kakaknya apalagi? Mendengar bahwa GPS-nya sudah hampir siap, kakaknya itu langsung pergi sembari menyanyi dan menari tak jelas.
Keluarga aneh.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top