9
"Putri?"
Panggilan itu terdengar lembut dan Putri menoleh. Napasnya masih sesak, air mata yang membasahi pipi buru-buru diseka dengan ujung jilbab.
"Mas Ammar." Putri tidak ingin merengek, tapi tangisnya tak juga mereda.
"Ma...." Ammar mulai berlutut.
Isak Putri tak juga reda. Wanita itu mengangkat buku yang sedari tadi dipegang.
"Baper banget ceritanya...." tangis yang coba Putri redam, malah makin kuat ketika berusaha dibendung. "Penulisnya jahat banget, masak tokoh utama prianya dibiarin mati?" Putri tergugu.
Ammar duduk dengan menjatuhkan tubuh. Sikunya bertopang di lutut, tangan besarnya menutup wajah. Pundak pria itu bergetar.
"Mas Ammar kenapa?" Putri menyeka bersih air matanya, mengamati pria yang sama-sama duduk di lantai bersamanya. Lutut mereka nyaris bertemu.
"Nggak apa-apa," Ammar mengangkat wajah, bibirnya terkatup rapat, wajahnya terlihat memerah.
"Putri boleh selesaiin baca dulu?" tanya Putri ragu, sedikit khawatir dengan kondisi pria di sebelahnya. "Kurang satu, dua..." wanita itu menghitung lembaran halaman buku, "empat halaman lagi."
"Silakan, aku tunggu." Ammar bergeser hingga punggungnya bersandar di rak buku. Kakinya diluruskan hingga menyentuh rak di depannya, mengurung Putri di ujung lorong. Kepala bersandar, tengadah sambil terpejam.
Putri memperhatikan Ammar beberapa saat. Pria itu kembali mengatupkan bibirnya rapat. Terlihat kelelahan, tapi secara samar terlihat senyuman. Namun, Putri tidak memperhatikan lama-lama, dia sudah penasaran, apakah penulis buku itu benar-benar membunuh hero-nya.
"Sudah selesai?" tanya lelaki itu sepuluh menit kemudian saat Putri mengikuti posisi Ammar. Kaki terjulur, punggung bersandar, dan kepala tengadah.
"Sudah." Putri tidak memandang lawan bicara, memilih menutup mata dan terus membayangkan adegan terakhir yang dia baca.
'Pulang sekarang?" Ammar mulai bergerak, bersiap berdiri.
"Nanti dulu, baper-nya belum hilang." Wanita itu terkekeh. Puas dengan kemampuan penulis mengaduk-aduk perasaannya.
"Ma...."
"Makasih," ucap Putri cepat, tidak membiarkan Ammar memulai pembicaraan. "Udah lima tahun Putri nggak pernah bisa selesai baca buku, dalam sekali duduk." Putri tersenyum pada Ammar yang memandangnya aneh. "Makasih juga, sudah mau jemput Putri sebelum jam kerja selesai."
Putri melirik jam tangannya, hampir jam lima sore. Sebenarnya, dia tidak tahu jam kerja pria yang baru dua hari ini menjadi suaminya. Tadi, ketika dia menelpon dengan ponsel satpam pun, sebenarnya dia khawatir jika Ammar sedang mengajar di depan kelas. Dia hampir menyerah, setelah dua panggilan diabaikan, dia memutuskan panggilan ketiga adalah usaha terakhirnya.
Ammar hanya diam, beberapa kali Putri mendengar helaan napas berat. Namun, Ammar tidak mengatakan apa pun lagi.
"Kenapa kamu ke sini?"
"Putri mau belanja, ngisi kulkas," Putri berusaha tersenyum sebaik mungkin, berharap Ammar tidak memarahinya karena keluar rumah tanpa izin.
Setelah sadar dompet dan ponselnya hilang, yang pertama kali Putri pikirkan adalah sikapnya yang terlalu menyepelekan Ammar. Meskipun mereka tidak seperti pasangan suami-istri pada umumnya, ikatan yang mereka miliki sah secara hukum agama dan hukum negara. Dan, segala kepatuhan istri kepada suaminya, ikut melekat bersama ijab-kabul yang terucap.
"Lain kali, bilang." Kali ini Ammar menatapnya dengan lembut sebelum berdiri dan mulai melangkah.
Putri ikut berdiri, buru-buru memeriksa rak untuk mengembalikan buku yang telah dia selesaikan.
"Kamu nggak beli buku itu?" Ammar berbalik, memandang Putri dengan tatapan tajam, seperti tatapan lembut yang tadi dia berikan tidak pernah ada.
"Udah selesai baca." Alis Putri berkerut saat Ammar mendekat dan mengambil buku dari tangannya.
"Karena sudah selesai kamu baca, kamu harus bayar." Ammar melanjutkan sebelum Putri sempat protes. "Kamu sudah menikmati nilai manfaat dari buku ini, jadi kamu harus membayar apa yang kamu dapat. Core business toko buku adalah menjual buku, bukan perpustakaan yang bisa dibaca dengan gratis. Jangan jadi free rider." Lelaki itu kembali melanjutkan langkah, berjalan tegap menuju kasir.
Untuk sesaat Putri tertegun. Dia tahu, Ammar orang yang serius. Namun, dia tidak menyangka jika dosen itu akan benar-benar serius dan memberinya kuliah soal nilai manfaat.
"Bukannya free rider itu untuk barang publik?" tanya Putri setelah berhasil menyusul langkah Ammar. Dia masih ingat beberapa materi kuliahnya dulu. Free rider adalah orang yang mengambil manfaat barang publik tanpa melakukan kontribusi.
Dia suka belajar, tapi sejak lima tahun lalu, nilai kehadirannya selalu kurang, nilai ujiannya mengkhawatirkan. Putri tidak mampu lagi mengikuti perkuliahan. Drop out setelah beberapa semester tidak datang ke kampus.
"Iya," Ammar memandang istrinya dengan serius, tatapannya tajam meskipun sempat terlihat terkejut.
"Buku tadi'kan bukan barang publik. Putri bukan free rider dong!" Bibir Putri berkerut ketika melayangkan protes.
"Tadi aku hampir bilang 'pencuri'." Ammar mendengkus malas.
Kali ini Putri malah tersenyum lebar. Dua hari ini, melihat wajah serius Ammar terasa sedikit menakutkan. Namun, entah mengapa kali ini terasa menyenangkan.
"Mas Ammar lucu."
----
A/n: di KBM sudah sampai part 46.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top