4
"Putri mau ambil omlet. Putri ambilin buat Mas Ammar juga ya?"
Ammar mengangkat kepala, mengalihkan pandangan dari email yang baru dia baca separuhnya. Ammar tadi butuh beberapa menit untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan pekerjaan. Kini, ketika fokus mulai menemani, wanita di hadapannya kembali menginterupsi. Sendok berdenting pelan ketika mangkuk bekas bubur sumsum didorong cepat-cepat. Derit kaki kursi berlawanan dengan lantai marmer.
"Nggak perlu, aku ...." Ammar berbicara pada udara. Putri sudah berlari kecil ke gerai omlet di sisi lain restoran.
Menghela napas keras, Ammar meletakkan ponselnya. Dia tahu, percuma berusaha fokus pada pekerjaan saat ini. Matanya mengikuti jilbab biru Putri yang bergerak seiring langkah ringannya. Entah apa yang diucapkan wanita itu pada koki wanita yang masih memegang penggorengan. Namun, Ammar mulai melotot dan menahan napas ketika ujung jilbab Putri menjuntai dekat dengan api. Kedua tangan yang memegang ponsel terangkat di atas penggorengan berusaha mengambil gambar. Putri bahkan meminta koki untuk beratraksi, membalik telur dengan melemparkannya ke udara lalu mendarat kembali ke penggorengan.
Putri tertawa kecil, menunjukkan layar ponselnya pada sang koki yang langsung mengacungkan jempol, kedua wanita itu tertawa bersama. Sayangnya, panik Ammar tak bisa langsung reda. Putri datang ke arahnya dengan langkah tergesa, tangannya penuh dengan piring kecil berisi omlet, dan ponsel yang diletakkan asal.
Sebelum ada kecelakaan kecil lain terjadi, Ammar segera berdiri, menarikkan kursi untuk Putri lalu mengambil piring dari tangan wanita itu. Putri menatapnya heran, tapi Ammar abaikan. Tak masalah dilihat aneh oleh perempuan mungil itu, daripada menjadi perhatian seisi restoran lagi karena ada piring yang jatuh.
"Punya Mas Ammar yang ini, itu punya Putri," ujar Putri ketika Ammar meletakkan piring di hadapannya.
"Memang apa bedanya?" Ammar memperhatikan kedua piring di tangannya.
"Nggak ada sih. Tapi yang ini lebih cantik," Putri terkekeh lalu meraih piringnya, mulai menggeser piring dan menata sebelum mengambil ponsel untuk kembali memotret. Ammar menghela napas, meletakkan piring di depannya. Berusaha tidak mengomentari sikap yang menurutnya kurang dewasa.
"Mas Ammar?" panggil Putri dengan mulut penuh, beberapa menit kemudian yang hanya dijawab dengan deham. Mata Ammar telah terpaku ke layar ponsel, kopi dan omletnya belum tersentuh. "Semalam Mas Ammar bilang, kalau sebenarnya nggak ingin menikah dengan Putri. Tapi kalau sikap Mas Ammar kayak gini, Mas Ammar nggak khawatir Putri salah paham?"
"Maksud kamu?"
"Mas Ammar terlalu baik untuk seseorang yang bilang nggak mau kita nikah." Wanita itu menelan potongan terakhir omlet sebelum melanjutkan. "Bukain pintu kamar buat Putri, tahan pintu lift sampai Putri masuk. Gerak cepat pas tadi Putri hampir tumpahin bubur. Terus, siap nyambut piring Putri sambil tarikin kursi. Kalau dilihat para jomlo, kayaknya mereka akan iri ama Putri."
"Kamu pikir, aku punya perasaan istimewa ke kamu?" Ammar meletakkan ponsel, memandang Putri bagai memandang mahasiswanya yang asal menentang teori yang Ammar jabarkan.
"Terlihat seperti itu." Putri bertopang dagu, dengan senyum yang terkesan usil. Ammar benar-benar tak bisa menebak sikap wanita di depannya. Sampai sekarang, Putri sama sekali belum berbicara soal pendapatnya tentang pernikahan mereka. Dia tidak setuju menandatangani perjanjian yang Ammar siapkan, dengan alasan, perjanjian yang mereka buat tidak akan memiliki kekuatan hukum apa pun. Hanya sanggahan berdasarkan fakta, tapi Putri belum mengeluarkan opininya.
"Aku hanya bersikap baik. Kebaikan yang menurutku wajar. Mungkin karena kamu jarang melihat kebaikan-kebaikan kecil itu, jadi kamu anggap terlalu istimewa." Ammar tidak menyembunyikan kekesalannya. "Jadi, jangan besar kepala."
"Dicatat," tangan Putri bergerak seperti memberikan salute, "mungkin karena pergaulan Putri juga terbatas, jadi nggak tahu kalau apa yang Mas Ammar lakukan sudah jadi common sense di Indonesia."
Ammar memandang Putri heran, apakah wanita ini hidup di gua?
Denting sendok beradu dengan piring. Putri mengetuk piring omlet Ammar.
"Kopi Mas Ammar belum berkurang, dan omlet juga masih utuh." Mata sipit Putri tinggal segaris ketika memandang makanan di depan suaminya. "Mas Ammar sepertinya harus memasukkan makan dan minum ke dalam daftar pekerjaan yang butuh fokus. Karena untuk makan-minum aja, Mas Ammar bisa lupa."
Senyum wanita itu, entah mengapa, terasa menyindirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top