37
"Memangnya kenapa? Mau pergi?" Langkah kaki terhenti, Ammar berbalik. Putri berdiri, merentangkan tangan tinggi, meregangkan tubuh mungilnya. Setelah ini dia akan berkutat dengan laptop untuk mengedit foto-foto yang telah diambil beberapa hari terakhir, membayangkannya saja sudah membuat pundak kaku.
"Nggak," jawab Putri setelah peregangannya selesai. Ammar menatapnya dengan tatapan yang tak Putri pahami. Untuk sesaat mata itu terlihat hidup, detik berikutnya Ammar seperti melihat hantu. "Mas Ammar mau kerja?"
Pertanyaan retoris, Putri paham betul ketika Ammar melanjutkan langkah ke meja kerja.
"Iya," lelaki menjawab pelan tanpa menoleh ke arah lawan bicara, "tapi kalau kamu mau ditemani atau diantar ...." Gelas kopi diletakkan, tangan kanan Ammar bersandar di permukaan meja, tangan kirinya menyapu wajah. Ammar bernapas berat. "beri tahu aku, nanti kutemani." Ammar menjatuhkan diri di kursi, pundak naik turun beberapa saat.
"Mas Ammar nggak apa-apa?" Putri melangkah cepat, jarinya hampir meraih pundak.
"Stop!" Ammar berujar tegas tetapi lembut. Suaranya serak, tarikan napas berat. "Aku nggak apa-apa."
"Mas?" Putri telah di samping Ammar yang masih menyembunyikan wajah. Dua tarikan napas, lelaki itu mengangkat kepala, denting ponsel mengalihkan perhatian mereka.
"Ada yang mau bimbingan lewat video call," ujar Ammar setelah membaca pesan.
"Oh," sang istri menatap resah. Masih khawatir dengan lelaki yang tiba-tiba merasa lelah setelah percakapan singkat.
Putri akhirnya berjalan ke belakang, Ammar mulai membuka laptop dan menyiapkan tabletnya. Wanita itu menoleh untuk terakhir kalinya sebelum masuk ke kamar. Ammar telah duduk tegak, seperti tidak terjadi apa-apa.
***
Putri bertopang dagu dengan kiri, tangan kanannya menggerakkan mouse. Suara klik tetikus di atas meja makan beriringan dengan lamat suara Ammar di ruang kerja. Kamar utama yang sementara ini digunakan Putri tidak memiliki meja yang nyaman untuk bekerja dengan laptop sehingga dia lebih sering mengungsi ke meja makan. Meja kerja di ruang tamu adalah tempat khusus Ammar yang tidak ingin Putri ganggu.
Sudah satu jam dia berusaha mengedit foto yang diambil di hari pertama pernikahannya. Foto omelet yang dia nikmati di restoran hotel.
Terakhir kali Putri melakukan editing, dia memilih untuk menggunakan warna monokrom mengarah ke hitam putih, bermain-main dengan cahaya dan bayangan untuk menambah dramatis. Itu adalah estetika fotonya tiga tahun terakhir.
Namun, rona hitam-putih terasa ganjil untuk gambar omelet yang melayang dengan latar belakang koki yang tertawa senang. Tangan Putri kaku ketika mengarahkan tombol 'temperature' di aplikasi edit foto ke arah hangat. Asing ketika dia memperkaya saturasi warna. Warna kuning yang berpendar, mengintip merah dan hijau dari paprika, wajah tertawa dengan kulit merona.
Meski merasa asing dengan rasa puas yang menyelinap setelah melihat hasil editnya, Putri tetap menyimpan foto itu. Kembali bergerak menjelajahi galeri, mencari foto selanjutnya untuk diubah.
Seorang anak kecil yang sedang berlatih sepatu roda dengan ayahnya, foto yang Putri ambil dua minggu lalu. Wajah ceria yang muncul di layarnya tidak akan cocok jika diubah menjadi foto hitam putih. Lagi-lagi saturasi meningkat, warna hangat menyeruak. Kali ini, Putri tersenyum puas.
Foto Ammar yang bermain bola basket, menanti giliran selanjutnya. Bukan hanya warna yang lebih cemerlang, Putri bahkan memperkuat efek garis cahaya. Bermain dengan gelap terang, meningkatkan ketajaman gambar, menunjukkan gurat serius wajah Ammar, mempertegas beberapa uban lelaki tiga puluh tahun itu.
Putri melepas tetikus, menegakkan tubuh, meregangkan tangan. Bibirnya tak bisa menahan senyum. Sudah lama dia tidak merasa senang dengan hasil editannya. Tiga tahun ini dia puas dengan hasil post production foto-fotonya. Namun, dia tidak pernah benar-benar senang. Warna kelabu yang terlalu sering dipilih, membuat bibirnya terkatup rapat ketika menyimpan hasil akhir.
Kini, semua fotonya kembali berwarna. Rona hangat di layar ikut menghangatkan hatinya. Ataukah sebaliknya? Hatinya mulai kembali hangat sehingga dia bisa mewarnai gambarnya hingga lebih berpendar?
Putri mengintip ke ruang kerja. Ammar masih serius dengan lawan bicara, tangan bersedekap di depan dada. Kaos oblong dan celana pendek yang dikenakan sang dosen tidak mengurangi kegugupan lawan bicara.
Bubur ayam yang mereka nikmati untuk sarapan tidak bertahan lama di perut. Putri bergerak ke dapur, termenung sebentar di depan kulkas yang mulai kosong, lalu mengeluarkan buah-buahan. Bersiap membuat camilan.
"Kamu motret aku?" Sebuah pertanyaan tiba-tiba ketika Putri mulai meletakkan potongan buah ke mangkuk. Putri mengeluarkan kepalanya dari pintu dapur.
Ammar berdiri di depan laptop yang masih menyala, menampilkan gambar dirinya yang sedang menembakkan bola. Wajah lelaki itu rileks, pundaknya santai, kedua tangan masuk ke saku celana.
"Iya," jawab Putri tetap di tempat.
Putri ingin mengabadikan pemandangan di hadapannya. Namun, kali ini tidak dengan kamera, tapi dengan mata dan otaknya. Kali ini, dia tidak perlu menaikkan saturasi ataupun mengeser tombol temperatur agar gambaran ini memberi kesan hangat.
Mata tajam Ammar yang berkilat ceria, senyumnya lebar, rambutnya terjatuh ringan di dahi dengan ujung-ujung yang mengenai bingkai kacamata. Partikel debu memantulkan cahaya yang menelisik lewat kisi jendela, menegaskan setiap garis di wajah Ammar. Kaos oblong jingga berpendar tertimpa sinar matahari waktu duha.
Jika nanti, Putri harus berhadapan dengan dinginnya air yang mengucur untuk menutupi tangis, dia tahu, dia bisa menghadirkan memori ini di pelupuk matanya. Dan hangat akan hadir. Seperti kini, ketika pipinya bersemu hangat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top