34

"Kamu belum tidur?"

Wajah kusut Ammar yang sempat muncul sesaat, seketika hilang ketika menanyakan itu. Wajah lelahnya terlihat bersemangat setelah mereka saling tatap.

Putri langsung berdiri, melangkah, ingin segera menghambur ke lelaki yang memenuhi pikirannya dari tadi. Namun, kemudian berhenti, tangannya memegang tepian meja, berusaha menahan diri. Jantung Putri berdetak lebih cepat, ada rona yang memanjat naik, senyumnya enggan lepas. Kikuk langsung mengambil alih ketika dia menyadari apa yang terjadi.

"Putri ada kerjaan," dia berkilah, tak ingin mengakui jika dia menanti. Proposal bisnis yang dijadikan alasan Putri, hanya bertambah satu halaman. Padahal berkasnya sudah dia buka sejak jam delapan tadi. "Mas Ammar mau makan malam?" tanya Putri cepat sebelum kikuk makin menjadi.

Ammar masih tersenyum, meskipun kali ini senyumnya tertahan.

"Boleh, sayur dan lauk saja." Ammar mundur beberapa langkah, meletakkan barang-barangnya di meja kerja.

Ketika Putri sibuk di dapur, Ammar memilih ke kamar mandi: mencuci wajah, tangan, dan kaki dari debu jalanan.

"Proposal bisnis?" tanya lelaki itu ketika melihat layar laptop yang sejak beberapa hari lalu berpindah kepemilikan, menjadi milik istrinya.

"Iya, udah ditagih Mbak Prames, jadi sebaiknya segera Putri kerjakan." Putri keluar dari dapur membawa piring yang berisi lauk dan sayur yang baru dihangatkan dengan microwave.

"Kalian mau buat apa?" Ammar mulai beranjak, membereskan kertas agar bisa meletakkan piring dari Putri di atas meja. Duduk di seberang, Putri menutup laptop lalu menyisihkannya.

"Roastery untuk specialty." Putri mulai menggerai sanggulannya, membiarkan ikalnya jatuh di sekitar wajah. Ammar tersenyum ketika melihat uliran rambut yang memantul. "Dulu, kakek mulai dari kebun kopi. Bapak, Om, dan Pak Dhe mulai bikin pabrik dan memasarkan hasil kebun. Sebagai generasi ketiga kami merasa ditantang untuk membuat sesuatu yang baru." Wanita itu bertopang dagu, tidak bersemangat. "Bukan kami sih, tapi Mbak Prames."

"Sepertinya kamu ...." Ammar kali ini tersenyum kecut, tampak usil untuk sesaat, "malas."

"Terlihat jelas, ya?" Putri meniup helaian rambut yang jatuh di depan wajah. Untaian itu hanya melayang sesaat, lalu kembali ke tempat semula: di antara alis Putri.

"Aku dosen, terbiasa lihat: mana yang malas, mana yang berusaha ekstra, mana yang biasa saja." Ammar mulai menyuap makan malam keduanya. Dia sudah makan dengan profesornya tadi, tidak enak jika harus menolak. Namun, sekarang dia juga akan merasa bersalah jika tidak memakan masakan Putri.

"Putri cuma...," wanita itu menghela napas, mencari alasan untuk kemalasannya,"nggak tahu harus mulai dari mana."

Ujung jari Putri menyusuri pinggiran laptop, dia berharap pekerjaannya segera selesai, tapi belum tergerak untuk benar-benar menyelesaikannya. Pikirannya bercabang. Awalnya Putri hanya berpikir bahwa dia hanya rindu pulang, tapi kini?

Putri memandang lelaki di hadapannya. Ammar masih sibuk mengunyah, tapi matanya mengamati kertas-kertas milik Putri yang berisi data awal yang dikirimkan Prames untuk diproses.

"Sudah survei pasar?" Tangan kiri Ammar sibuk membolak-balik kertas. Wajahnya serius, seperti Sabtu lalu ketika mahasiswa bimbingan datang membawa kesulitan dalam menghadapi skripsi. Sang dosen pembimbing siap memberi petunjuk.

"Belum," jawab Putri masam.

"Mulai dari sana saja, kalau kamu memang bingung." Ammar menelan makanannya. Meletakkan sendok agar bisa membaca data di kertas dengan lebih mudah. Kacamata yang tadi dilepas, kembali dikenakan. "Tentukan dulu pasar kalian siapa, lalu cari tahu kondisi pasar yang kalian tuju. Pasar kopi specialty berbeda banget dengan pasar kalian selama ini. Untuk survei...."

"Mas," potong Putri sembari memegang kertas yang sedang dibaca suaminya. Putri berusaha tersenyum ketika mata lelah Ammar memandangnya bingung. "Makan dulu, ya." Wanita itu mulai menarik lembaran-lembaran putih dari tangan Ammar. "Ini nggak mendesak, bisa kita bahas kapan-kapan. Selesaikan makan, setelah itu, Putri harap: Mas Ammar nggak ada lembur malam ini." Data-data itu Putri amankan di kursi sampingnya, jauh dari jangkauan lelaki pekerja keras di depannya. Dan, dia juga berharap, laptop yang ada di atas meja kerja tidak perlu keluar dari tas Ammar sampai besok di kampus.

"Aku ...." Ammar tidak menyelesaikan ucapannya, kembali mengambil sendok.

Mereka berdua terdiam, apa pun yang ingin Ammar ucapkan, ditahan. Lebih memilih meneruskan makan. Namun, Putri tidak ingin obrolan menyenangkan mereka berakhir.

"Mas Ammar masih ada pekerjaan yang harus selesai malam ini?"

"Selalu ada pekerjaan yang bisa diselesaikan tiap hari." Ammar tersenyum, dia berusaha menenangkan Putri. "Tapi nggak ada yang mendesak. Kenapa? Kamu mau apa?"

Dari kemarin, lelaki itu hanya tidur dua jam. Kini, hampir tengah malam, mereka berdua masih terjaga. Ammar tidak mengeluh, dan itu lebih membuat Putri cemas. Dia masih merasa bersalah, kunjungan mereka ke rumah Ibu yang membuat Ammar harus lembur hingga pagi. Putri tidak ingin Ammar kurang tidur lagi malam ini.

"Tidur." Pipi Putri mengembung, dahi Ammar berkerut bingung. "Mas Ammar perlu tidur."

Ammar menutup mulutnya, menahan makanan tetap di dalam ketika dia tertawa. Sampai akhirnya terbatuk beberapa kali sebelum memaksa menelan makanan yang belum terkunyah lembut.

"Mas Ammar kenapa?" Putri mendorong segelas air, untuk melegakan tenggorokan suaminya.

"Kupikir kamu mau minta ditemani melakukan sesuatu, makanya nggak mau aku lembur." Sebuah cengir muncul di wajah Ammar. Semakin mengenal Ammar, Putri tahu, lelaki itu tidak seserius yang dulu disangka. Ada sisi menyenangkan dari lelaki sibuk itu.

"Melakukan apa?" Kali ini Putri yang bingung.

Ammar menandaskan air minumnya. Rambut Ammar yang tadi pagi tersisir rapi ke belakang, telah berontak dari penataannya. Sebagian telah jatuh menutupi dahi. Pomade yang membuat helaian tampak lurus, mulai menyerah, membiarkan gelombang di atas kepala. Lengan kemeja tergelung hingga siku. Satu kancing dia lepas ketika mencuci wajah tadi agar bisa menyeka leher, menghilangkan lengket keringat. Jam kerjanya telah usai dari tadi, dia tidak lagi memperhatikan kerapian penampilan.

"Entahlah. Nonton, ngobrol?"

Ammar ingin mendengar bagaimana hari Putri berlalu. Apakah dia bosan seharian di rumah tanpa berinteraksi dengan orang lain? Atau, apakah dia mempunyai teman bicara yang bisa ditelepon? Berapa kali dia melakukan video call dengan Ibu?

"Dari kemarin, Mas cuma tidur dua jam."

Putri menyesal melontarkan kalimat itu, tepat ketika Ammar bertanya.

"Bagaimana harimu?"

Sudah lima tahun ini, Putri berharap, ada seseorang yang akan menanyakan bagaimana harinya: setelah jam-jam yang melelahkan di rumah sakit, setelah menit-menit yang mendebarkan di depan ruang ICU, setelah detik-detik yang terasa panjang mengawasi napas yang tersengal.


***

Kalau ingin tahu bagaimana Putri menghadapi lemburnya Ammar, segera cek di KBM bab 79.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top