31
___
"'Gimana tadi rapatnya?" Putri mengalihkan pembicaraan, membicarakan pekerjaan lebih aman daripada berbicara tentang Ibu dan deretan obat-obatan yang selalu diminum setiap hari tanpa boleh terlewat.
"Mereka menyambut baik rencana penelitianku." Lampu lalu lintas telah hijau, mobil kembali bergerak, menjauh dari rumah tempat Putri tumbuh, menuju tempat dia berteduh sementara.
Semua hal tentang Ammar adalah sementara, meskipun rasa nyaman muncul. Rasa aman mulai menggoda Putri untuk menjadikannya persinggahan terakhir. Namun, Putri sadar, dia tidak akan bisa menemani Ammar terbang meraih mimpinya. Bagi Putri, kembali ke sarang adalah satu-satunya pilihan, kembali kepada induknya.
"Kalau Mas Ammar jalan penelitian sendiri, memungkinkan nggak?"
"Sulit."Ammar diam sejenak, bukan karena lalu lalang kendaraan di depan menyulitkannya mengobrol. Lelaki itu benar-benar memikirkannya. "Bukan masalah biaya penelitian atau tenaganya. Kampus siap, beberapa mahasiswa juga sudah apply untuk ikut penelitian."
"Lalu?"
"Aku butuh mereka biar koordinasi antar dinas di daerah lebih mudah, mereka butuh aku untuk dijadikan proyek pengembangan."
"Tapi?" Tanya Putri lagi, Ammar tertawa.
"Kalau setelah aku jawab, kamu masih tanya dengan satu kata, aku monolog saja."
"Jadi Mas Ammar mau Putri ngomong panjang lebar buat menanggapi?" Putri memutar tubuhnya, duduk menyamping agar dapat menatap lawan bicara. Ammar hanya menjawab dengan senyum lebar yang menampilkan deretan giginya. Lampu jalanan yang menyinari wajah Ammar membuat Putri menyadari jika lelaki yang belum lengkap tiga puluh tahun itu telah memiliki kerut dalam di sekitar matanya. Rambut di samping kepala berkilau janggal.
"Di berita, Presiden sudah mulai bahas tentang penghematan anggaran. Aku khawatir kalau penelitianku belum running, Surat Keputusan Pembentukan Tim juga belum dibuat, terus wacana penghematan berjalan, bisa-bisa dari Kementerian batalin proyek mereka."
"Memangnya, kalau penghematan semuanya kena, atau bisa pilih itemnya?"
Ammar angkat bahu, lampu jalanan kembali menyinari wajahnya. Rambut Ammar kembali terlihat terang di beberapa tempat.
"Entahlah. Mungkin aku bisa tanya temanku yang di Kemenkeu. Tapi, dia di Pajak, nggak yakin apakah urus hal itu juga." Kali ini lelaki itu bermonolog.
Putri tidak terlalu memperhatikan, pandangan fokus pada rambut Ammar. Lampu jalanan hadir lagi, rasa penasaran wanita itu mendapatkan jawaban.
"Mas Ammar beruban?" seru Putri tiba-tiba, sampai-sampai Ammar menoleh sebentar ke kursi penumpang.
"Iya, ada beberapa," jawab Ammar seadanya. "Kamu baru sadar?"
"Iya, selama ini Putri pikir itu kilau rambut." Wanita itu tertawa lepas. Selama ini, Putri tidak pernah benar-benar memperhatikan Ammar. Jantung dan pipinya sering kali berulah aneh jika Putri menatap pria itu terlalu lama. Saat ini pun demikian, tapi interaksi mereka hari ini berhasil membuatnya lebih nyaman. Ingin memperhatikan lebih lekat.
"Dari lulus SMA mulai muncul beberapa uban."
"Ternyata Putri nikah dengan pria tua." Putri tetap terkekeh, menemukan bahan olokan baru untuk suaminya.
"Aku anggap ini sebagai tanda kebijaksanaan," kilah Ammar yang membuat senyum Putri makin lebar.
"Nggak pernah semir rambut?" Putri menenangkan diri, pipinya mulai sakit karena terlalu banyak tertawa.
"Pernah, sekali. Rambutku rontok dan akhirnya kupotong bros."
Lagi-lagi Putri tertawa, tak sanggup membayangkan lelaki di sampingnya dengan rambut cepak ala tentara.
"Putri juga pernah coba cat rambut, jadi rapuh, gampang patah." Putri mengusap hijab yang menutupi rambutnya. Pola jalinan rambut teraba dari luar, tapi tersamarkan jika hanya dipandang sekilas.
"Rambutmu cantik."
Pujian Ammar membuat hening seketika. Ada tangan tak kasat mata yang menggelitik leher Putri, merambat ke rahang, nyaris meronakan pipi.
"Bukan labu raksasa lagi?" Putri berusaha menutupi kikuk, Ammar tertawa.
"Bukan, ikalnya...."
Ucapan terputus, nada dering terdengar dari pelantang suara mobil. Ponsel Ammar yang tergeletak di tempat penyimpanan di antara mereka menyala.
"Prof. Luqman." Putri sempat membaca sebelum Ammar menekan tombol penerima di stir.
"Assalamualaikum," sapa Ammar dengan suara yang lebih serius. Setelah salamnya terjawab, lelaki itu melanjutkan, "Bagaimana, Prof?"
"Kamu nggak apa-apa, Mar?"
Pertanyaan sang penelepon membuat Putri bingung. Ammar terlihat fokus, entah pada jalanan di depannya atau pada sang Profesor.
"Baik, Prof. Kenapa?"
"Aku kirim email dari sore, tapi belum kamu balas. Kupikir kamu kenapa-kenapa."
Dari cara bicaranya, Putri merasa jika Ammar dan lawan bicara cukup dekat. Bukan sekadar kolega.
"Maaf, Prof. Sebentar lagi saya buka, sepertinya tadi terlewat."
"Oke. Itu terkait jurnal reviewmu. Synthesize-mu masih kurang."
"Baik, Prof." Ammar menjawab hormat.
"Kuharap bisa selesai segera dan kita diskusikan sebelum aku berangkat ke bandara."
"Baik."
Terdengar helaan napas dari ujung sambungan telepon yang lain.
"Aku harap, kejadian dulu nggak terulang lagi."
Sikap tenang Ammar tiba-tiba menghilang, dia menoleh ke arah Putri dengan cepat.
"Kamu sudah menikah ...."
Ammar menekan tombol di stir, suara penelepon di speaker mobil makin pelan lalu menghilang. Lelaki itu mensenyapkan penelepon. Tangan kirinya segera meraih ponsel, memutuskan bluetooth, lalu menempelkan benda persegi itu ke samping telinga.
Putri tertegun. Ammar tidak ingin percakapannya didengar.
"Aku tahu tanggung jawabmu dengan istrimu berbeda." Suara Luqman yang kebapakan menyesakkan dada Ammar. Namun, Ammar hanya diam mendengarkan. Dia terlalu menghormati profesornya, tak akan sanggup menyanggah. "Aku harap, dengan menikah, istrimu akan membantumu lebih fokus. Aku benar-benar tidak ingin kejadian waktu tesis terulang lagi."
"Baik, Prof." Hanya itu yang bisa Ammar katakan untuk menjawab semua nasihat Luqman. Panggilan segera diakhiri. Ammar meletakkan ponsel, lalu memijat alisnya yang menegang.
"Itu dosen pembimbing, Mas?" Pertanyaan Putri menyadarkan Ammar alasannya memindahkan panggilan dari audio system di mobil kembali ke ponsel. Putri tidak perlu mendengar permasalahannya.
"Iya. Dari tesis dengan Prof. Luqman," Ammar menjawab datar sembari menyalakan lampu sein ke kiri. "Kita berhenti sebentar." Dalam lalu lintas pulang kerja Jakarta, Ammar menepi sejenak. Lampu hazard dinyalakan ketika mobil telah berhenti di bahu jalan, memberi tanda pada mobil belakang agar melewatinya.
Lelaki itu tenggelam dalam pikirannya dengan ponsel di tangan. Wajahnya yang diterangi oleh sinar layar, tampak fokus. Lelaki dingin yang Putri lihat di malam pernikahan kembali muncul. Tidak ada lagi Ammar yang santai seperti seharian tadi.
Ponsel kembali terhubung dengan sistem suara mobil. Suara terbata-bata khas suara komputer mulai terdengar. Ketika Ammar meletakkan ponsel, dari layar Putri bisa melihat halaman penuh kata. Ammar menggunakan aplikasi untuk membacakan jurnal dalam bahasa inggris.
Mobil kembali bergerak, kembali menembus kemacetan.
"Mas Ammar bisa paham dengar suara robot?" tanya Putri setelah lima menit bosan mendengar intonasi monoton. Putri menoleh ketika tidak mendapat jawaban. Di sampingnya Ammar tampak serius, fokus pada jalanan, pada suara dari pelantang, tap bukan pada istrinya.
"Mas Ammar." Lagi-lagi tak ada jawaban. "Mas?"
"Iya?" Ammar menoleh sekilas, lalu kembali memandang ke depan.
Putri mengulang pertanyaannya, ada rasa kesal yang tersemai.
"At least, dapat gambaran besarnya apa," jawaban Ammar sama monotonnya dengan kecerdasan artifisial yang lelaki itu pilih.
Putri ingin keakraban yang tadi muncul sebelum telepon Luqman kembali hadir. Namun, tubuhnya punya keinginan sendiri. Dia berusaha menahan diri dari menguap, tapi sedikit suara tetap lolos dari mulutnya.
"Kalau mengantuk, tidur saja. Nanti kubangunin."
Jika kalimat itu Ammar ucapkan beberapa menit lalu, Putri akan menganggapnya sebagai bentuk perhatian lelaki itu. Namun, kini, Putri merasa jika Ammar sedang tidak ingin diganggu.
Seharusnya, Putri tidak perlu merasakan sesak yang tiba-tiba muncul. Ammar sudah mengorbankan banyak waktunya hari ini untuk dia. Ke mana hilangnya rasa terima kasih yang tadi Putri ucapkan setelah selesai menangis ketika meninggalkan rumah ibunya?
Putri tidak ingin berubah menjadi haus perhatian setelah merasakan kebaikan Ammar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top