27

Hai Pembaca Budiman, boleh minta komentarnya, apasih yang ekspektasi teman-teman ketika pertama kali baca cerita ini? Ketika sudah membaca sejauh ini, apakah ekspektasi itu terpuaskan atau nggak?

terus, di KBMapp, cerita ini sudah sampai bab 72 loh.

sampai jumpa minggu depan. <3

Ohya, sedikit pelajaran Bahasa Indonesia hari ini ya.




Sepertinya, ada distorsi makna untuk kata "jengah".

***

"Kalian dari mana? Kok basah semua?" Ibu memegang lengan Ammar, meraba lembap yang masih terasa dari baju lelaki yang sedang berlutut di depannya.

"Tadi kehujanan waktu mampir ke Bonbin," jawab Ammar menenangkan.

"Ragunan?" Ibu meyakinkan lagi, lalu memandang Putri yang masih berlindung di belakang Ammar.

"Iya," Putri menyembunyikan tasnya yang berisi kamera di balik tubuhnya.

"Kebetulan Ammar tadi ada rapat di Kementan, jadi mampir sebentar ke sana. Putri kangen foto, katanya." Ammar memenuhi permintaan Putri untuk menjadi tamengnya. "Karena sudah sampai sini, tanggung kalau nggak ketemu Ibu sekalian." Ammar tetap berlutut di depan Ibu, menggenggam tangan yang memegang tasbih.

Khadijah memandang anak perempuannya, tatapan menyelidik hanya muncul sebentar sebelum tersenyum lebar.

"Kamu nggak merengek minta pulang ke Mas Ammar, 'kan?" goda Khadijah.

Ammar tertawa, menarik tangan Putri agar bertemu langsung dengan Ibunya. Tapi wanita itu malah merengek keras, langsung berlutut dan memeluk. Khadijah tertawa lepas, menepuk kepala Putri.

"Ibu sehat?" Putri sesenggukan, ucapannya teredam tubuh, berucap tanpa mengangkat kepala. "Putri kangen."

Ammar menghela napas, mundur, menyisih sebentar dari haru-biru pertemuan ibu dan anak. Jika dari awal Ammar menolak pernikahannya, dia tidak perlu memisahkan anak dari ibunya. Jika dari awal Ammar tidak ingin menjadi pahlawan untuk memberi sedikit bahagia pada Khadijah.

Ammar menghela napas, menyisihkan andaikan-andaikan yang hanya memperberat hatinya. Dia hanya ingin memfokuskan pikirannya untuk sore ini, pada Khadijah. Menjalankan tanggungjawabnya karena ingin bersikap heroik, dia tidak ingin menjadi alasan perpisahan ibu dan anak.

Jika dia dan Putri pindah ke rumah ini, mungkin satu persoalan selesai. Perjalanan Jakarta-Bogor tidak terlalu buruk, dia bisa menggunakan KRL jika tidak ingin terjebak dalam kemacetan.

"Sudah," Khadijah terdengar parau, membuat Ammar berhenti memikirkan rencanya. Putri masih memeluk erat. "Ganti baju dulu, baju kalian basah."

Putri mengangkat kepala, wajahnya memerah, air mata membasahi pipi, bibir terkatup erat menahan rengekan.

"Saya tidak apa-apa." Ammar menenangkan, membantu Putri untuk bangkit dan duduk di kursi rotan yang terletak di samping kursi Khadijah.

Napas istrinya masih berat, tapi sudah mulai bisa mengendalikan diri.

"Basah gitu, kok nggak apa-apa," sanggah Khadijah. "Ganti dulu, bawa baju?" Pertanyaan itu Ammar jawab dengan gelengan. "Pakai baju Bapak saja, kayaknya cukup. Ibu masih simpan baju beberapa Bapak, Put..."

Putri terlihat panik, Ammar tidak mengerti mengapa istrinya bersikap seperti itu, tapi berusaha membantu. Menolak tawaran ibu mertuanya untuk memakai baju mendiang ayah mertua.

"Putri punya kaos yang bisa dipakai Mas Ammar, kok!"

Khadijah mengamati anak dan menantunya sejenak. Lalu mengangguk dan mengalah.

"Yaudah, ganti baju dulu. Abis ini, Ibu minta tolong Mbok Nah siapkan teh hangat."

"Ayo," Putri menarik tangan Ammar, untuk sesaat Ammar ingin melepaskan, merasa jengah. Kedekatan fisik mereka hari ini sudah membuatnya merasa aneh. Namun, tak mungkin Ammar melepaskan tangan istrinya di depan ibu mertua.

Ammar menurut, mengikuti langkah kecil Putri. Ini pertama kali Ammar masuk lebih jauh ke rumah Putri. Sebelum menikah, kunjungannya hanya sebatas ruang tamu dan teras belakang.

"Ini kamar Ibu," ujar Putri ketika mereka melewati sebuah pintu yang tertutup. "Dulu Bapak sering kerja di sini," lanjut wanita itu ketika melewati pintu yang lain, kali ini pintunya terbuka. Sekilas Ammar bisa melihat isinya. Rak buku di satu sisi, set meja kerja di samping jendela, rak kaca yang berisi berbagai kamera, dan sisi tembok yang lain berisi puluhan bingkai yang memamerkan berbagai foto. Pengamatan Ammar selesai ketika Putri membuka sebuah pintu.

"Kamar Putri," ucap wanita itu, yang tiba-tiba melepaskan tangan ketika mereka berdua telah masuk ke kamar dengan warna dominan merah mudah dan biru.

Putri menutup pintu, lalu memandang Ammar dengan kikuk. Wajahnya masih saja merah. Ammar mengalihkan pandangan, mundur satu langkah. Rasa aneh itu makin kuat. Lelaki itu membersihkan tenggorokan, mengurangi jengah.

"Putri carikan dulu, kayaknya Putri punya hodie angkatan yang kegedean." Wanita itu akhirnya bergerak, menjauh dari pintu, menjauh dari Ammar yang langsung menghela napas.

Tas yang sedari tadi dibawa, diletakkan di atas ranjang. Ammar tidak suka dengan jalan pikirannya sendiri, dia benar-benar butuh pengalih perhatian. Tidak ingin memandang Putri terlalu lama, membiarkan istrinya mencari baju yang dimaksud di lemari empat pintunya.

Kamar ini tetap terurus meskipun tidak ada penghuninya. Jendela sedikit terbuka, mengantarkan suara hujan dan udara segar ke kamar. Gorden putih bergerak seiring aliran udara. Di samping jendela ada meja kerja putih, dengan beberapa barang. Ammar memilih mendekat ke meja. Beberapa album foto tertumpuk di satu sisi. Album-album itu terlihat sama, kurang lebih setebal lima sentimeter, dengan sampul hitam.

Pada sampul album teratas tertulis angka tahun, 2019, yang dikuti tanda strip. Ammar membuka album itu. Beberapa foto hitam putih yang berisi orang-orang yang sedang duduk menunggu, Ammar tidak yakin di mana foto itu diambil. Hanya terlihat lorong, bangku, dan deretan orang. Semakin ke belakang foto yang tersimpan semakin terlihat sepi, foto dari jendela gedung tinggi ke jalanan di bawahnya, disusul benda-benda yang terlihat sendiri.

Sampul album kedua tertera "2018", album ketiga tertera "2017", semakin ke bawah, angka album semakin kecil, total ada delapan album di meja Putri.

Kini, Ammar membuka album 2016. Halaman pertama terlihat jauh berbeda dengan isi album terakhir, seperti diambil oleh dua orang yang sangat berbeda.

Warna-warna dengan kontras yang semarak, meskipun sudah limat tahun berlalu. Foto-foto orang yang beraktivitas di jalanan, tawa yang diabadikan, dan kehidupan terekam jelas.

"Ini, kamu semua yang ambil fotonya?" tanya Ammar mulai penasaran.

Putri yang sedang mencari diantara tumpukan bajunya, melihat sekilas ke arah Ammar.

"Iya, tiap minggu Putri pilih satu foto untuk dicetak lalu disimpan di situ." Putri tetap melanjutkan kesibukannya.

"Tapi yang ini nggak selesai?" Ammar mengangkat album terakhir yang hanya berisi beberapa foto.

"Nggak sempat hunting dan nggak merasa ada yang bagus juga." Putri berkata pelan, berusaha terlihat tak acuh. "Ketemu!" seru wanita itu kemudian. Ammar, meskipun masih penasaran dengan foto-foto Putri, merapikan kembali album.

"Terima kasih," Ammar menerima hodie bertuliskan "Manajemen". Tangan Ammar refleks meraih kancing kemeja, sebelum menyadari bahwa Putri yang tiba-tiba menunduk dan memalingkan muka.

"Aku ganti baju di kamar mandi luar," Ammar buru-buru berbalik, meraih kenop pintu.

"Orang rumah akan bingung kalau Mas Ammar keluar kamar untuk ganti baju."

Kenop pintu terlepas.

"Mas Ammar ganti di sini aja. Putri sembunyi di kamar mandi, sekalian ganti baju juga." Putri bergerak cepat, menyambar baju di lemari, lalu menutup pintu kamar mandi dalam.

Ammar memandang hodie biru muda di tangannya. Berdecak atas semua rasa jengah yang muncul bertubi-tubi. Dia mencoret wacana pindah kemari. Ammar tidak siap harus berada dalam ruang tertutup dengan Putri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top