26
***
"Mas Ammar yang masuk dulu, ya?" pinta Putri ketika mobil telah berhenti di dalam carport.
"Kamu takut pulang ke rumahmu sendiri?" Ammar memandang Putri dengan heran. Bekas basah masih terlihat di jilbab perempuan itu.
"Putri takut dimarahi Ibu." Bibir Putri mengerucut, persis anak-anak yang melakukan kesalahan dan takut bertemu dengan orang tuanya.
"Beberapa kali aku ketemu Ibu, Ibu nggak terlihat galak." Ammar membuka sabuk pengaman. Tidak ada satu orang pun yang tampak di rumah Putri. Mungkin karena hujan, sehingga tidak ada yang terpikir akan ada orang yang bertamu.
"Ibu memang nggak galak." Wanita itu memilin ujung jilbabnya. "Hampir nggak pernah marah."
"Lalu?"
"Karena hampir nggak pernah marah, jadi lebih menakutkan kalau perintahnya dilanggar." Wajah Putri benar-benar ditekuk sekarang. "Ibu nggak izinin Putri sering pulang. Maksimal sebulan sekali."
"Oke. Yang dilarang kamu, 'kan? Ibu nggak bilang aku juga nggak boleh sering datang?"
Putri menggeleng pelan, menggigit bibir.
"Ayo turun!" Ammar segera mematikan mobil dan membuka pintu. Berjalan lebih dulu di depan Putri yang hanya membuntuti.
Taman rumput digenangi air hujan yang masih turun dengan deras. Daun teratai yang mengapung di kolam ikan koi bergoyang seiring rintik. Taman depan rumah kediaman Putri tak terlalu banyak taman hias sehingga pohon mangga yang berada di tengah menjadi pusat perhatian. Sebagian teras basah karena tampias. Ammar mengetuk pintu, Putri bersembunyi di balik tubuhnya.
Salah seorang pengurus rumah membuka pintu, memandang bingung pada Ammar.
"Maaf, cari siapa?" Wanita di pertengahan lima puluh tahun itu ragu.
"Cari Ibu, Mbok Nah." Putri mengintip dari balik pundak, terkikik melihat wajah terkejut sang pengurus rumah.
"Ealah! Mbak Putri!" Mbok Nah berseru gembira. Lalu menatap Ammar sekali lagi. "Mas Ammar tho! Duh, Mbok sudah pikun ternyata Mbak. Pantas saja merasa kenal, tapi Mbok bingung siapa."
Mereka bertiga tertawa bersama. Ammar bergerak melepas sepatu sebelum melangkah masuk. Putri berniat melakukan hal yang sama, tetapi ketika hendak menginjak bagian belakang sepatu, yang terinjak adalah ujung roknya sendiri.
Wajah wanita ceroboh itu hampir beradu dengan lantai. Mbok Nah sudah latah dengan "Jatuh, jatuh."
Tangan Ammar bergerak cepat, meraih pinggang lalu membuat Putri kembali tegak.
"Pelan-pelan," ujar Ammar tertahan.
Putri hanya memandangnya dengan wajah memerah. Ammar merasa bersalah, seharusnya dia cukup menolong Putri tanpa perlu memarahinya, apalagi di rumah istrinya sendiri.
"Maaf," Ammar menyesal, dia melepaskan tangannya, menghindari tatapan Mbok Nah yang masih terkejut.
"Ibu ada di teras belakang," kata wanita lima puluh tahun itu kemudian.
Ammar melangkah perlahan sembari menunggu Putri yang membuka sepatu. Kali istrinya lebih berhati-hati, hingga sepatu kanvas merah mudanya terlepas dengan aman.
"Aku yang sapa Ibu duluan?" bisik Ammar ketika Putri telah menyejajari langkahnya. Beberapa kali berkunjung kemari, Ibu Khadijah memang selalu menemui tamunya di teras belakang. Melewati ruang tamu dan ruang keluarga yang sepertinya jarang terpakai, mata Ammar kembali disambut oleh deras hujan ketika sampai teras belakang.
Beberapa parkit di sangkar kali ini diam, lebih memilih menggelung tubuh sekecil mungkin seperti bola bulu, daripada beradu dengan suara derasnya hujan. Berbagai macam anggrek menggangguk anggun seiring desau angin. Hujan yang deras tidak membuat taman di halaman belakang tergenang. Rumput-rumput yang tertata itu sepertinya dilengkapi dengan sistem biopori ataupun sistem drainase yang mumpuni, untuk mengatasi segala macam cuaca.
Bu Khadijah duduk di kursi rodanya, memandang hujan dalam dzikir. Bibirnya melafalkan sesuatu yang tak terucap, tangannya memutar tasbih dengan perlahan.
"Assalamualaikum, Bu." Ammar tidak ingin mengganggu kekhusyukan ibadah, sehingga dia menyapa selembut mungkin seraya berlutut di samping kursi.
"Waalaikum salam," wanita sepuh itu hanya menjawab refleks, belum sadar siapa yang hadir di sebelahnya. Ketika ibu mertuanya menoleh, Ammar berusaha menampilkan senyum terbaiknya, hal yang sangat mudah dia lakukan, karena Bu Khadijah tersenyum terlebih dulu. "Mas Ammar?"
Ammar hendak mencium tangan, tapi ibu mertuanya bergerak lebih cepat. Tangan keriput dengan tasbih cendana itu menangkup wajahnya. Mata tua itu berbinar, melawan sayu dan lelah yang telah menggerus.
Cara wanita itu menatapnya sejak pertemuan kedua, yang seolah berkata, jika dia menemukan apa yang selama ini dicari di dalam diri Ammar. Kini Ammar ingat, alasan lain kenapa dia menyetujui perjodohannya dengan Putri. Dia ingin mengangkat sedikit beban dari Bu Khadijah, yang terlihat sudah kelelahan menghadapi kehidupan.
Ammar memandang Putri yang menatapnya dengan berkaca-kaca.
Kini Ammar mengetahui, bahwa perjanjian antar mereka berdua, tidak akan mudah lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top