25

Putri melompat masuk ke mobil. Ammar segera menutup pintu di belakang istrinya. Angin berembus semakin kuat, hampir membalik payung yang Ammar pegang ketika pria itu berjalan di depan mobil. Pintu belakang pengemudi dibuka, Ammar menutup payung dan segera melemparkannya. Beberapa detik lelaki itu akhirnya masuk. Kemejanya kuyup, kacamata berembun. Tangan Ammar menyugar rambutnya yang basah dan mulai berantakan.

"Langsung deras, ya." Putri berucap, mengisi sepi di antara gemuruh hujan yang mengenai SUV putih Ammar.

"Iya," timpal Ammar.

Lelaki itu menghadap Putri, tubuhnya maju dengan cepat. Wajah basah dan rambut yang tak beraturan, satu detak menyelinap dalam ritme jantung Putri yang masih cepat karena berlari kecil sepanjang parkiran. Tangn kiri Ammar meraih sesuatu di belakang kursi Putri. Namun, sepertinya lelaki itu kesulitan, terdengar dari napasnya yang berat. Udara hangat menyapu pipi, wewangian kayu yang hangat menyapa hidung. Tubuh mereka dekat, pikiran Putri tak lagi melekat.

Beruntung, hal itu hanya terjadi dalam waktu singkat. Ammar kembali pada posisi duduk semula, kali ini sambil memegang totebag kecil berwarna hitam. Rumbai khas penghias sajadah menyembul dari dalam tas, bersisian dengan kain sarung yang khas dengan motif kotak-kotaknya. Satu set sikat dan pasta gigi mengintip ketika Ammar menarik sesuatu dari dasar tas.

Sebuah handuk muka berwarna biru Ammar angsurkan kepada Putri. Wanita itu menatap tidak mengerti.

"Untuk seka air hujan."

Putri masih tidak mengerti arah pembicaraan, masih sibuk meredam wajahnya yang perlahan memanas.

"Di wajahmu." Handuk itu kini hanya beberapa sentimeter dari wajah Putri. "Put?"

"Iya." Putri menerima handuk itu, kembali menghadap depan, tiba-tiba menjadi kikuk dengan kelakukan Ammar. Wanita itu memilih menghadap lurus ke depan, menatap gerakan whipper yang baru saja dinyalakan.

Handuk mulai menyeka wajah, jilbab di bagian kepala dan pundak yang basah juga punggung tangannya. Ketika selesai Putri mengembalikan tanpa melihat ke arah Ammar, terlalu jengah dengan lelaki itu. Sementara Ammar sendiri terlihat tidak begitu memikirkan apa yang terjadi. Dia menerima handuk itu, melepas kacamata lalu mengeringkan wajah dan kepala.

Putri memilih mengambil kacamata Ammar yang tergeletak di dashboard. Ingin membalas kebaikan kecil suaminya.

Ammar melipat handuk, tapi tidak memasukkan kembali ke tas. Hanya meletakkan di jok tengah.

"Kacamata Mas."

Kali ini Ammar terkejut, untuk sesaat lelaki itu tampak bingung, menatap kacamatanya lalu Putri. Kaca yang tadi basah, berembun, dan buram kini telah bersih. Bahkan lebih bersih dari kondisinya sebelum kehujanan.

"Wow...." Ammar mengenakan kacamata, melihat ke arah depan di mana guyuran hujan terseka dari kaca. "Jernih." Lelaki itu terdengar sangat senang. "Terima kasih." Sebuah pandangan singkat dengan senyum yang lebar.

Jantung Putri berdebar.

Putri hanya bisa menatap kosong ke arah depan ketika mobil yang mereka naiki perlahan bergerak. Ammar menyetir dengan serius, curah hujan yang sangat tinggi membuatnya harus ekstra hati-hati.

Biasanya butuh waktu lima belas sampai dua puluh menit untuk menempuh perjalanan dari Kebun Binatang Ragunan ke rumah Putri. Namun, deras hujan membuat semuanya melambat. Mobil bergerak pelan dengan lampu kabut yang menyala, pengendara motor terpaksa menepi, hanya ada satu-dua yang nekat menerobos hujan. Tepian jalan penuh dengan orang-orang yang berteduh, genangan mulai muncul.

Mereka berkendara dalam diam. Putri berusaha menata pikiran, hari ini terasa menyenangkan. Sangat menyenangkan hingga rasanya Putri takut dia akan terbiasa.

"Gerbang rumah memang selalu terbuka, ya?" tanya Ammar, memecah lamunan Putri. Gerbang rumah Putri sudah terlihat di ujung jalan, tapi laju mobil Ammar makin lamban. Dia tidak ingin menyiram air genangan di jalan ke orang-orang yang sedang berjalan di tepi jalan.

"Eh?" Putri hanya menatap bingung, berusaha mengingat apa yang dikatakan Ammar. "Iya. Kebiasaan dari dulu. Bapak selalu biarkan gerbang terbuka, jadi kalau ada tetangga yang butuh bertamu mereka nggak perlu tunggu di pinggir jalan."

Wanita itu menghela napas, meremas tas kameranya. Dia rindu pria nomor satu di hatinya.

"Dulu waktu Putri kecil pernah diajak jalan-jalan Bapak naik motor bebek di sekitar sini." Putri memandang jalanan di sekitarnya, berusaha mengenang bagaimana tempat itu dua puluh tahun yang lalu. Pohon-pohon rimbun yang dulu memberi sejuk, sudah tergantikan oleh tembok-tembok rumah. Jalanan lebih lebar, menutup sisi tanah merah yang dulu sering Putri gunakan bermain. "Ternyata di tengah jalan turun hujan. Tahu nggak, apa yang Bapak lakukan?"

"Apa memangnya?"

"Putri duduk di depan, tiba-tiba Bapak masukin kepala Putri ke dalam kaosnya." Tenggorokan Putri selalu berat ketika mengenang ayahnya. Namun, kali ini ada tawa yang menyelinap, kenangan itu menyenangkan. "Bilang, 'Put, jangan bergerak, ya! Hujan, biar kamu nggak basah!'"

"Kamu nggak sesak napas?" Ammar ikut tertawa.

Putri menggeleng, menyeka air mata yang tidak sempat menetes.

"Untungnya nggak." Putri menoleh ke Ammar. "Tapi ternyata, begitu sampai, Putri baru tahu kalau ternyata Bapak basah banget." Waktu itu wajah, rambut, dan baju ayahnya basah kuyup.

Ammar hanya mengangguk sekilas, rambut dan kemejanya masih terlihat basah.

Remasan tangan Putri makin rapat. Dia tidak pernah berpikir akan menemukan pria nomor dua secepat ini.



A/n, seperti biasa, part lebih lengkap ada di KBM. Rencana update di sana 2 hari lagi. See you...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top