21


Maaf, konten agak dewasa. 😬

Bab 67. Ciuman, Setelah Itu

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Link aktif di profil.

___

Ammar meletakkan lap penyerap air yang digunakan untuk mengeringkan motor ketika ponselnya berdering. Panggilan video dari Mamanya yang sebenarnya sudah dia tunggu dari pagi. Rutinitas Minggu pagi yang telah dijalani sejak Ammar merantau ke Bogor, meninggalkan orang tuanya di Semarang.

Setelah salam dan bertanya kabar secara singkat, Mamanya meminta bicara dengan Putri.

"Putri sedang telepon dengan Ibunya." Meskipun menjawab demikian, Ammar tetap masuk ke rumah. Mengalihkan kamera depan ke kamera belakang untuk menunjukkan Putri yang sedang asyik mengobrol melalui perangkat jemala di dapur.

Sanggul wanita itu bergoyang seiring obrolan yang terdengar menyenangkan. Tangannya tetap bergerak lincah, memotong bahan makanan.

Mama menghela napas kecewa.

"Kemarin waktu ngobrol, Bu Khadijah bilang, kalau beliau melarang Putri pulang ke rumahnya. Baru boleh ke sana sebulan sekali." Wajah tua itu mencerminkan iba pada menantunya. "Bu Khadijah berharap, Putri bisa punya kehidupannya sendiri. Setelah lima tahun terakhir aktivitasnya cuma di rumah aja."

Ammar menurunkan volum, merasa tidak nyaman jika Putri mendengar pembicaraan ibu mertuanya.

"Mama mengerti maksud baik Bu Khadijah, tapi tetap kasihan ama Putri."

Ammar hanya menjadi pendengar. Dari pembicaraan mereka semalam, dia sangat paham jika Putri ingin pulang. Meskipun barang-barangnya dipindah ke rumah Ammar, bagi Putri tempat ini tidak akan pernah menjadi rumah.

Dari awal pernikahan, Putri telah menetapkan, bahwa tempat ini hanya tempat singgah sementara. Sampai satu hal jelas, yang sampai sekarang belum Ammar ketahui apa, Putri terpaksa tinggal satu atap dengan Ammar.

Ammar sendiri, tidak ingin mengubah pikiran Putri. Ammar hanya ingin, mereka berdua bisa hidup berdampingan dengan nyaman.

"Ada apa Mas?" Putri menoleh ketika Ammar selesai mengucap salam untuk mengakhiri obrolannya dengan Mama.

"Tadi Mama VC, mau ngobrol sama kamu." Ammar berjalan mendekat, mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dingin.

"Sudah ditutup?"

Ammar hanya mengangkat ponsel untuk menunjukkan layar utamanya, panggilan telah berakhir.

"Nggak, Bu," ujar Putri tiba-tiba, untuk sesaat Ammar bingung sampai dia menyadari jika Putri sedang bicara dengan ibunya. "Putri bicara ke Mas Ammar." Pandangan wanita itu kembali pada pisau dan talenan. "Nanti Putri kirim apa aja yang mau dibawa Pak Wawan."

Pernyataan cinta dan salam, dan panggilan Putri juga berakhir.

"Ibu titip salam buat Mas." Putri melepaskan perangkat jemalanya.

Ammar meneguk minuman dan menyadari jika dia tidak pernah bicara dengan ibu mertuanya sejak di hotel, di malam resepsi pernikahan.

"Mama juga titip salam buat kamu."

"Nanti Putri telepon Mama kalau begitu." Wanita itu tersenyum lebar.

"Kalau kita ke rumah Ibu, pakai alasan aku yang mau ketemu. Apa Ibu akan memarahi kamu?"

Senyum Putri yang tadi Ammar pikir sudah lebar, kini bertambah lebar. Ujung-ujung mata bulat Putri ikut tersenyum.

"Mas Ammar benar mau ke rumah Ibu?"

Ammar angkat bahu.

"Kamu mau pulang, 'kan?"

"Banget!" Putri berseru. "Tapi...." Kesenangan langsung hilang, "Memang Mas Ammar ada waktu?"

Ammar menghela napas, menyadari jika tadi dia benar-benar tidak berpikir panjang.

"Mas Ammar fokus ke pekerjaan Mas Ammar aja." Putri tetap tersenyum yang Ammar balas dengan senyum datar. Dia berterimakasih atas pengertian Putri, sembari berusaha menepis bayangan wajah muram yang kembali menyeruak ke permukaan.

Ammar melangkah keluar dapur, hendak melanjutkan membersihkan kendaraan sambil mengoperasikan ponsel; memeriksa jadwalnya untuk minggu depan.

Titik kecil di hari rabu menghentikan langkahnya. Penanda agenda yang dia masukkan sejak minggu lalu.

"Aku ada rapat di kantor Kementerian hari rabu, kita bisa mampir ...."

Ammar berbalik. Putri melepaskan pisau dari tangannya. Memandang Ammar lekat, tersenyum dengan seluruh wajah, jari-jarinya terjalin di depan dada.

Kalimat tak terselesaikan, Ammar tersenyum sama lebarnya.

Sudah lama dia tidak merasakan bahagia karena telah menciptakan senyum di wajah orang lain. Di antara semua getir yang belum berlalu, dia tahu, dia merindukan rasa itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top