20
“Mereka, yang sebagian besar perempuan, berasumsi: seorang penjahat lebih mungkin mengorbankan seluruh dunia demi orang yang paling dicinta.”
Jari-jari Putri mengetuk gelas yang masih separuh isi.
“Apa kamu bagian dari mereka?”
Baca bab 66. Tanpa Romantisasi, selengkapnya di aplikasi KBM App.
***
"Maaf, karena sempat suuzan," ucap Ammar tulus.
Putri memandangnya lama, terkejut. Kemudian wanita itu tersenyum, senyum lebar yang membubuhkan garis di sekitar mata.
"Terima kasih, sudah tabayun."
Buru-buru wanita itu menunduk, menyuap mi yang sudah mulai dingin. Garis senyum wajah berubah menjadi kernyih. Putri menggeram kecil dan kepayahan menelan makanannya.
"Kenapa?" Ammar mulai khawatir, Putri buru-buru meneguk teh.
"Nggak apa-apa," sebuah senyum dipaksakan hanya menghiasi bibir. Putri memandang berat pada mi di depannya.
"Nggak enak?" Ammar bersiap mencicip makanannya sendiri, Putri masih enggan menjelaskan. Saat Ammar berkonsentrasi mengunyah, barulah dia sadari jika mi yang dia makan lebih hambar dari yang biasa dibeli. Menghela napas, dia menukar kotak mi mereka.
Seminggu ini, Ammar telah terbiasa dengan masakan Putri yang kurang garam. Sehingga, pada suapan pertama tadi, Ammar tidak menyadari jika makanan mereka tertukar.
"Ini yang pesananmu, tanpa micin, kurang garam," ucap Ammar sembari menyuap makanan yang tadi sempat dicicipi oleh wanita di sebelahnya. Lidahnya yang seminggu terbiasa makanan minim penyedap, sedikit bersorak gembira.
"Putri pikir sama aja." Pipi itu mulai mengembung, menyendok mi yang masih mengepul.
"Hati-hati, itu lebih panas." Hanya itu yang dia katakan, tidak ingin menjelaskan kejadian dua puluh menit lalu.
Untuk sesaat mereka diam, sibuk mengunyah makan malam mereka yang sedikit lebih larut dari biasanya. Putri tidak lagi mengeluh, dia mengambil kipas angin kecil untuk menghilangkan uap panas.
"Mas Ammar," tanya Putri ketika mi Ammar tinggal separuh, "nggak merasa minya terlalu asin?" Sebuah gelengan sebagai jawaban. "Kalau masakan Putri, apa terasa hambar?" Putri memandang khawatir.
"Mau jawaban jujur atau menyenangkan?" tanya Ammar sok serius, yang membuat wanita di depannya memicingkan mata.
"Memangnya jawaban jujur Mas Ammar nggak menyenangkan?"
Ammar tergelak, Putri tersenyum lebar memamerkan gigi putih yang kontras dengan kulit sawo matangnya.
"Masakanmu enak."
Sepertinya jawaban singkat Ammar tidak tepat, karena Putri mengejarnya dengan pertanyaan lain.
"Salah satu kebohongan yang diizinkan adalah kebohongan suami untuk menyenangkan istrinya. Apa ini termasuk salah satu kebohongan itu?"
Lagi-lagi Ammar tertawa.
"Aku jujur, masakanmu enak. Hanya saja, lidah anak kos-ku, yang terbiasa dengan makanan warung sedikit terkejut di awal. Aku nggak akan bohong untuk urusan seperti ini. Kalau memang masakanmu nggak enak, aku akan memilih beli makan di luar. Atau memintamu untuk kursus masak." Ammar meneguk teh hangat hampir hambar yang disiapkan Putri. Dengan berkurangnya jumlah gula, kini dia lebih bisa mengapresiasi rasa teh itu sendiri.
"Iya, sih." Putri mengangguk, rambutnya berayun seirama. "Itu lebih solutif. Karena, kalau nggak enak, Putri juga nggak mau makan." Wanita itu terkekeh lalu melanjutkan makan.
"Mas Ammar sadar, nggak, sih?" Putri kembali bertanya ketika Ammar mulai memberesi kotak makannya yang sudah kosong. Mi Putri masih sepertiga. "Kalau pembawaan Mas Ammar itu kadang terlalu serius?"
Ammar memandang Putri tajam.
"Kayak sekarang, serius banget," ujar Putri yang sangat santai.
"Lalu?" Ammar bertanya tidak sabar, tapi si penanya malah menyuap makanan dan mengunyah berlama-lama.
"Jadi bikin orang lain di sekitar Mas jadi tegang juga."
"Pengecualian kamu." Ammar bersandar, melipat tangan. Putri lagi-lagi memamerkan senyum lebar.
"Memangnya Mas Ammar mau? Kalau Putri tanggapi seriusnya Mas Ammar kayak Cika dan kawan-kawan sebelum presentasi?"
Ammar hanya mengerutkan alisnya. Putri mengeluarkan ponsel dari saku celana piyamanya. Layar ponsel Putri menampilkan galeri, sekilas Ammar bisa melihat deretan foto yang diambil Putri hari ini. Foto kegiatan tadi siang di ruang tamu dan di taman komplek pagi tadi.
"Ini lihat!" perintah perempuan kecil itu. Ammar menurut, mencondongkan tubuh ke depan, tangannya yang terlipat diletakkan di atas permukaan meja. "Coba lihat posisi duduk mereka."
Ammar duduk di sofa tunggal di ujung meja. Lima mahasiswa laki-laki terbagi dalam dua barisan di sisi kiri dan kanan Ammar, sedangkan Cika duduk sendiri di kursi tambahan. Kesamaan dari mereka berenam adalah duduk dengan punggung tegak, baik menatap Ammar atau membuka laptop di pangkuan sebelum gilirannya tiba.
"Lalu?" Ammar masih tidak mengerti apa yang ingin Putri jelaskan.
"Ini foto setelah Andi selesai presentasi." Putri meletakkan alat makan, ujung jarinya mengusap layar, menunjukkan foto selanjutnya. "Lihat duduknya." Punggung Andi di foto itu bersandar. "Lalu ini." Foto selanjutnya dua orang teman Andi yang lain juga ikut menyandarkan punggung di sofa, kontras dengan tiga orang mahasiswa yang belum sempat presentasi.
Ammar ingin memperhatikan detail foto Putri lebih lanjut. Namun, ada sesuatu yang menggelitik samping wajahnya: rambut Putri. Harum sampo menggoda hidung lelaki itu, tapi sebelum tersiksa lebih jauh, Ammar memilih mundur sembari menahan rambut ikal yang perlahan terlepas dari sanggul.
"Aku nggak tahu kalau kamu sempat ambil foto." Sesaat Ammar memainkan beberapa helai rambut di antara jari, sebelum menjauhkan tubuh dari meja, kembali bersandar ke kursi. Mengambil jarak dengan Putri sebelum menikmati kedekatan dengan wanita itu.
"Mas Ammar aja yang terlalu serius makanya nggak sadar." Bibir kecil itu mengerucut. "Putri foto sebelum antar camilan." Putri meneruskan makan, sambil melihat layar ponselnya. Jari-jari kirinya bergerak, memperbesar gambar, memperhatikan detail.
"Kamu suka fotografi?" tanya Ammar asal, hanya untuk mengisi keheningan.
Kepala Putri mengangguk, rambutnya berayun. Tangan Ammar terkepal, menahan diri dari rasa penasaran.
"Suka, tapi sudah mulai jarang. Hobi yang mulai nggak sempat dilakukan." Kali ini, Putri mengatakannya dengan tenang, menatap lama layar ponselnya. Seperti menyatakan rindu kegemarannya.
"Kenapa?"
Pertanyaan itu tidak dijawab, hanya gendikan bahu yang tidak memberikan penjelas.
"Kalau kayak gini, jadi kangen kamera." Senyum tipis menghiasi wajah Putri yang masih belum mau menatap Ammar.
"Nggak kamu bawa?"
Kali ini gelengan yang menjadi jawaban.
"Waktu packing koper kemarin, Putri sempat mau bawa."
"Tapi?" Ammar melirik jam dinding, belum terlalu larut dan pekerjaan Ammar untuk hari ini selesai. Mereka bisa mengobrol sebentar.
"Bisa-bisa Putri betah di sini dan nggak kepikiran pulang kalau bawa hal yang Putri sukai."
Makanan Putri telah habis, tapi dia membiarkan untuk sesaat kotak makannya terbuka. Pikirannya sedang tidak di sini. Telunjuknya menyusuri tepian layar ponsel yang memamerkan Ammar sedang menembakkan bola ke keranjang, dengan kontras yang menarik dan terasa hangat.
Hujan telah mereda, detik jam dinding menambah kikuk pada sunyi di antara mereka.
"Kalau kameramu bisa bikin kamu lebih nyaman tinggal di sini, minta orang rumah untuk kirim saja. Karena kamu meletakkan rasa nyamanmu pada kamera, bukan pada lingkungan."
Mereka berdua tidak menyukai kondisi saat ini, tapi paling tidak, mereka ingin melewatinya dengan lebih menyenangkan. Ammar ingin meringankan rasa rindu rumah yang sedang dipikul oleh wanita di depannya.
"Kalau sudah waktunya kamu kembali ke rumah Ibu, kamu tinggal bawa kamera itu." Ammar ingin memberikan solusi logis untuk Putri. "Jadi, kamu nggak akan merasa berat ketika harus pergi dari sini."
Namun, ada berat di dada yang membuat sesak ketika membayangkan Putri akan pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top