19

KBM sudah bab 64 ya..

***
Putri menoleh ke pintu masuk ketika mendengar suara gemeletak knop. Dia keluar dari dapur dan melihat Ammar berjalan terburu. Lelaki itu mengacak rambut yang basah, bagian atas baju koko yang berwarna hijau muda terkena siraman air yang cukup banyak, meski pun tidak kuyup.

Dua puluh menit lalu, Putri juga mendengar suara pintu dibuka. Namun, ketika dia keluar kamar tidak ada seorang pun. Karena khawatir, Putri memutuskan menunggu Ammar sembari menyeduh teh.

Langkah Ammar melambat ketika melihat Putri. Ammar hanya mengangkat tangannya yang memegang plastik berisi dua kotak makanan, meletakkannya di meja makan, lalu meneruskan perjalanan ke bagian belakang rumah. Tak lama, lelaki itu kembali muncul dengan sebuah payung.

"Aku kembalikan payung ke warung dulu. Kalau kamu sudah lapar, makan duluan saja." Rambut kembali diacak. Basah lelaki itu seperti tidak memakai payung. Pintu dibuka, suara hujan terdengar lebih jelas dengan adanya celah udara. Hanya sesaat, lalu deru rintik air teredam.

Putri membawa dua gelas teh yang masih mengepulkan uap panas beserta sendok garpu, menata makanan untuk mereka berdua.

Ammar kembali dalam lima menit. Lagi-lagi melewati ruang makan begitu saja. Kali ini masuk ke kamar. Putri sendiri memilih diam sambil memperhatikan keributan lelaki itu malam ini. Teh vanilinya terasa lebih enak ketika hidung digoda oleh aroma manis gurih yang menguar dari celah kotak makan.

Pandangan Putri mengikuti Ammar yang baru keluar kamar dan berbelok ke belakang, menuju laundry area dengan baju basah di tangan. Handuk kecil tersampir ke kepala, Ammar masih asyik menggosok rambut. Sedangkan Putri merasa iri.

"Ada apa?" Ammar mendekat, menarik kursi lalu duduk.

"Putri kalau gosok rambut kayak Mas Ammar, pasti langsung megar kalau sudah kering." Bibirnya mengerucut.

"Sudah jadi hubungi rumah untuk kirim hair treatment?"

Putri menggeleng.

"Tadi keasyikan masak. Nggak sempat, lupa." Sebuah kesadaran membuat Putri sesak, dia lupa menghubungi ibunya hari ini. Terlalu asyik dengan kesibukan. Telunjuk menelusuri pegangan cangkir, pikiran mulai berkelana, mulai merasa bersalah.

"Mau telepon dulu?" suara Ammar terdengar lembut, tatapannya menenangkan. Dengan rambut berantakan dan menutupi sebagian dahi, lelaki itu tak lagi terlihat terlalu kaku dan serius, seperti yang Putri rasakan seminggu ini.

Putri menggeleng setelah melirik jam dinding. Sudah lewat jam delapan malam, ibunya sudah istirahat.

"Mulai makan?" Lagi-lagi suara itu terasa menenangkan.

Kotak makan mulai dibuka, aroma mi goreng memenuhi ruangan. Menghangatkan udara Bogor yang diguyur hujan. Putri berusaha menyisihkan kemurungan.

"Kayaknya bakal lebih enak kalau tadi Putri pesannya mi rebus." Suara wanita itu mulai kembali riang.

"Kamu nggak mau?" Gerakan Ammar mempersiapkan makanan terhenti, menatap Putri dengan serius.

"Mau kok," Putri bersegera mengambil sendok, mulai mengacak mi untuk menghilangkan uap panas. Tak sabar, Putri meniup makanan, yang menghasilkan teguran.

"Kalau bisa jangan ditiup," ucapan itu pelan, tapi mematikan.

Namun, Putri tertawa.

"Mas Ammar serem. Bisa Putri bayangin kalau lagi kuis di kelas, ada yang mulai grusak-grusuk mau menyontek terus Mas bilang, 'Jangan ada yang curang.'" Putri hanya mengangkat mi di udara, membiarkan uap panas pergi dengan sendirinya. "Mereka pasti langsung diam di tempat."

"Kecuali mahasiswanya kamu, yang malah mengomentari."

Tawa Putri makin menjadi. Sendoknya bergoyang. Mi yang ingin didinginkan, jatuh, bercampur lagi dengan mi yang panas.

"Putri akan jadi mahasiswa yang diam-diam bersyukur kalau ada teman yang ketahuan menyontek di awal. Kalau mereka jera, artinya mereka terlindung dari kecurangan yang lebih besar."

Ammar tertawa pelan, mulai menyuap makanannya perlahan.

"Apa kamu tipe mahasiswa yang akan lapor kalau ada kecurangan?"

Kali ini Putri berpikir sejenak, lalu menggeleng.

"Kalau nggak dekat, Putri juga nggak akan sok menasehati. Tapi berusaha menunjukkan sikap. Biasanya mereka sadar, kok. Kalau mereka sedang bikin strategi menyontek, Putri langsung diusir jauh-jauh." Putri tertawa getir, teringat kembali masa sekolah dan kuliahnya yang singkat.

"Jadi, soal nilaimu yang tiba-tiba naik ...."

"Putri sampai gerakan tutup mulut ke Om Hendra ...." Bibir Putri langsung mengerucut jika mengingat inisiatif pamannya, sebal. Putri sudah susah payah menjaga integritas: tidak menyontek meskipun tahu nilainya akan jelek karena tidak sempat belajar, tiba-tiba saja pamannya malah menghubungi dosen untuk menaikkan nilai.

"Maaf," ucapan Ammar pelan, menatap Putri tenang. Hujan di luar bertambah lebat, angin bertiup semakin kencang, ranting pohon mengetuk jendela. "Karena sempat suuzan."

____

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top