15
Putri berusaha menjinakkan rambutnya. Setelah lima hari terkepang kecil-kecil agar jilbabnya lebih mudah dihias untuk resepsi, siang ini dia menghabiskan hampir satu jam untuk mengurai. Tadi dalam kondisi basah dan disisir hingga lurus, rambutnya hampir mencapai pinggang, tapi kini, setelah kering dan kembali melengkung, rambutnya terlihat hanya sebatas tengah punggung, mengembang ke segala arah: kiri-kanan, depan-belakang dan menyembul ke atas. Dia ingin membiarkan bebas, merilekskan kulit kepala yang terlanjur tegang. Namun, untuk menunduk mencuci gelas saja gumpalan hitam itu menutupi wajah.
Suara benda terjatuh menembus suara narator yang sedang membacakan buku di Audible. Putri refleks berbalik sembari melepas headset-nya. Ammar berdiri di ruang tengah, matanya menatap nanar pada Putri, tepatnya pada 'semak' di atas kepala.
"Mas Ammar?" Putri terkejut, buru-buru mengeringkan tangan dan menyanggul rambutnya asal, hanya memastikan wajahnya terlihat. "Putri nggak dengar Mas Ammar masuk."
Ammar berkedip beberapa kali, mulutnya kembali rapat. Dia berdeham sebentar lalu memungut ponsel yang jatuh. Matanya menghindari Putri, meskipun beberapa kali terlihat curi-curi ke arah kepala istrinya.
"Aku nggak ucap salam juga." Lelaki itu berjalan menuju kamar tamu.
Putri buru-buru ke meja makan, membereskan kertas-kertas yang berserak. Ammar hanya masuk beberapa detik, meletakkan tas kerja lalu kembali ke dapur, mengambil minum. Putri menangkap bayangan dirinya di salah satu kaca lemari.
Rambut sebesar semak yang tadi mengganggu berubah menjadi bulatan hitam sebesar bola sepak di atas kepala. Putri menghela napas sekaligus menahan tawa, pantas saja Ammar masih saja melirik ke arahnya.
"Nenek Putri dari Ibu, keturunan Papua." Putri akhirnya memecah kikuk yang memenuhi ruangan itu satu menit terakhir. "Apa Mas Ammar merasa terganggu?" Kertas telah tertumpuk rapi di tangan Putri, lalu menatap Ammar yang berjalan mendekat ke meja makan. Lelaki itu duduk sebelum menyesap air putih dari gelas yang berembun.
"Bukan terganggu, hanya terkejut." Ammar memaksakan senyum kaku.
"Karena nggak seperti yang Mas Ammar harapkan?" Putri juga memaksakan senyuman, seperti dulu ketika dia terpaksa tersenyum kepada teman-teman sekolah yang sering mengejek rambutnya.
"Aku nggak berharap apa pun ke kamu, Put." Kalimat itu terucap datar, tapi terasa menyakitkan. Bibir Putri makin mengerucut. "Sepertinya kamu berharap aku akan benci rambutmu."
Kali ini Putri hanya angkat bahu. Dia harus mengaku, jika tadi pagi dia meminta izin ke Ammar untuk membuka jilbab bukan hanya karena dia terlalu pusing untuk selalu mengikat kencang rambutnya di balik kerudung, tapi dia penasaran dengan reaksi lelaki itu.
"Aku buat perumpamaan, ada orang yang bilang ingin memberiku labu. Aku hanya bilang, 'iya' tanpa memiliki harapan apa pun. Ternyata, orang itu datang sambil bawa labu super besar yang memenuhi meja kerjaku. Wajar nggak kalau aku terkejut dan butuh waktu untuk memproses?" Ammar menatap Putri serius. "Aku terkejut ...."
Tawa Putri menghentikan penjelasan sang dosen yang kemudian menatapnya dengan alis berkerut. Wanita kecil itu duduk di depan Ammar dengan pipi kemerahan karena terlalu senang.
"Dulu teman-temanku sering ngejekin pakai 'brokoli', sekarang Mas Ammar malah pakai perumpamaan labu." Putri meletakkan kedua tangan di pipi, mengendalikan tawa.
"Kamu nggak tersinggung temanmu bilang 'brokoli'?" Ammar menghela napas, menandaskan air dingin di tangannya.
"Tersinggung sih, dikit." Wanita itu cemberut. "Tapi yang lebih bikin tersinggung itu, waktu Putri memutuskan pakai jilbab, eh, malah mereka bilang kalau Putri pakai jilbab buat sembunyiin rambut keriting. Putri memang tutup rambut Putri pakai jilbab, tapi karena Putri sadar itu aurat. Jadi harus dijaga. Bukan aib."
Kerut di bibir Putri hilang seketika menyadari Ammar menatapnya dengan senyuman. Ada detak aneh melihat lengkung bibir di atas jenggot tipis itu, dan iris kehitaman itu terasa sedikit hangat sore ini.
"Ehm, Putri suka rambut keriting Putri, kok." Entah kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu. "Kalau dirawat dengan benar nggak akan se-mengembang tadi. Ini karena lima hari nggak digerai dengan benar." Putri melanjutkan dengan gugup, tangannya berulang menyentuh cepol sebesar bola. "Putri mau minta Pak Wawan antar hair treatment dari rumah ke sini."
"Silakan." Ada kepingan tawa renyah yang meluncur dari bibir Ammar ketika lelaki itu berdiri lalu ke dapur untuk meletakkan gelas.
Dan untuk pertama kalinya, Putri ingin tampil cantik di hadapan seseorang.
___
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top