12
Putri menarik napas dalam, memilin jilbab di genggaman. Gerakan Ammar terhenti. Lelaki itu mengabaikan belanja dan datang mendekati Putri, wajahnya serius. Terlalu serius. Seketika Putri menyesali ucapannya.
"Apa maksud kamu?"
"Kita bisa bicarakan itu lain kali." Putri bergegas melangkah, menuju kamar. Melarikan diri. "Kerjaan Mas Ammar pasti terganggu karena tadi harus jemput Putri..."
Sebuah genggaman di lengan kanan atas menghentikan langkah Putri. Ammar menariknya hingga kembali berhadapan. Tatapan serius itu makin membuat Putri menyesal dan merasa bersalah. Putri tak mampu menatap mata Ammar. Dia hanya mengamati kemeja kerja Ammar yang basah.
"Kupikir selama ini, pekerjaanku yang membuat kita tidak bisa bicara." Ada decak tipis dalam bicara Ammar, merasa dipermainkan. "Tapi sepertinya, kamu juga memanfaatkan kesibukanku untuk melarikan diri."
Putri makin menunduk, genggaman di jilbabnya makin erat. Tidak mengelak, karena mungkin saja apa yang dikatakan Ammar tepat. Putri sedikit lega karena pria itu sibuk luar biasa, tak sempat memedulikannya, tidak sempat mengganggu Putri yang sedang tersiksa oleh rasa rindu rumah.
"Kita bicara." Ammar berucap serius, tapi kali ini terasa lebih lembut.
Putri menarik napas, perlahan tengadah. Jarak mereka dekat. Terlalu dekat.
"Oke," ujar Putri sembari mundur, tangan kirinya menyentuh tangan Ammar yang menggenggam. Jari-jari kokoh itu terasa dingin, bahkan di tangan Putri yang sudah dingin.
Lelaki itu sama sekali tidak mengeluhkan tentang kejadian sore ini. Tidak memarahi kecerobohan Putri. Bahkan Ammar hampir mengucap maaf, yang tidak ingin Putri dengar. Tetap menemani berbelanja meski wajahnya terlihat sangat lelah. Cukup peduli untuk mencari helm warna pink, meskipun berakhir dengan helm hitam. Menegakkan tubuh, meskipun tidak mengubah banyaknya terpaan hujan yang mengenai Putri, dia tetap ingin menghargainya.
Dada Putri menghangat, entah karena sentuhan kedua mereka, atau karena semua yang terjadi sore ini.
"Tapi Mas Ammar ganti baju dulu," Putri memaksakan diri untuk kembali mundur, melepaskan tangan suaminya. Dari pengeras suara musala dekat rumah, muazin mulai membisikkan doa di depan mikrofon. "Setelah salat, kita bicara. Oke?" Putri mengambil keputusan sepihak lalu bergegas ke kamar. Sebelum Ammar sempat membantah.
***
"Put," Ammar mengetuk pintu kamar. Sudah sepuluh menit sejak Ammar pulang dari musala, tapi Putri belum juga keluar. "Aku tunggu di meja makan."
Suara pegangan pintu terdengar, tapi pintu hanya terbuka beberapa milimeter. Memberi jalan untuk suara kecil Putri untuk lewat. "Kalau bicara di sini aja 'gimana?"
"Maksud kamu?"
"Bukan apa-apa. Bentar lagi Putri keluar." Pintu kembali rapat.
***
"Kopi instan?" tanya Putri entah berapa menit kemudian, Ammar sudah lelah menghitung waktu dan memilih menyeduh kopi instan yang selalu dia sediakan di dapur. Wanita itu berjalan sambil menyimpul dia utas tali jilbabnya di belakang kepala.
"Jiwa petani kopi tersinggung?" balas Ammar sambil mengecap cairan manis dengan sedikit sensasi pahit di pangkal lidah.
"Tergantung merk yang Mas minum sih. Karena siapa tahu, kami jadi salah satu supplier kopinya." Putri duduk di salah satu kursi, memandang Ammar yang bergerak di dapur. Mata Putri membulat saat menyadari apa yang ada di meja makan. "Kok bisa ada di sini?" Sebuah ponsel dengan case bunga sakura dan sebuah dompet berwarna pink pucat.
"Tadi sopir taksinya datang lagi kemari. Karena rumah masih kosong, dititip ke pos satpam." Ammar mengamati Putri yang tampak girang karena barang-barangnya kembali. "Satpam serahkan ke aku waktu ketemu di musala."
"Masih utuh." Putri bertepuk tangan pelan di depan dada setelah membongkar dompet. "Putri coba telepon supir taksinya ya, mau ucapin terima kasih. Tadi waktu jemput Putri si Bapak telepon dulu, jadi nomornya tersimpan"
Ammar mendekati meja dengan dua cangkir di tangan. Satu kopi miliknya, dan satu lagi teh aroma bunga yang tadi Putri beli ketika berbelanja. Ammar hanya diam dan membiarkan. Putri menelepon dari ponselnya, beradu argumen untuk beberapa saat. Putri memaksa minta rekening untuk mengirimkan biaya yang keluar karena harus melakukan perjalanan kembali ke rumah mereka tanpa penumpang. Dan sepertinya sang Supir Amanah juga berkeras untuk menolak.
Ammar pikir setelah perdebatan kecil selesai, Putri akan segera memperhatikannya. Namun, dia salah. Wanita itu terus bermonolog apakah dia harus mengirimkan dalam bentuk pulsa untuk membayar pria itu, atau dia perlu minta tolong salah satu keluarga untuk mencari tahu identitas supir taksi sehingga bisa mengirim biaya penggantian langsung ke rumahnya.
"Put," Ammar meletakkan cangkir kopi yang sedari tadi menghangatkan tangan, gerakan Putri yang hampir menelepon terhenti, "bisa kita bicara?" Akhirnya Ammar meminta. Dia tidak tahan dengan kucing-kucingan yang dilakukan wanita di depannya.
Bibir Putri mengerucut, tapi meletakkan ponselnya di atas meja.
"Apa maksudmu, kalau kamu juga ingin membuat perjanjian yang sama?" Ammar memulai, sedapat mungkin tidak berkesan intimidatif.
Putri menatap Ammar sekilas, lalu menunduk lagi.
"Sebelum menikah, Putri ingin buat prenup, perjanjian pranikah." Putri berbicara sambil menunduk. "Isinya, ada beberapa hal." Suara wanita itu pelan, tapi masih bisa Ammar dengar. "Isinya tentang pembagian harta. Beberapa tahun lalu, ada salah satu sepupu Putri yang ditipu suaminya sendiri. Harta warisan Kakek yang diterima Paman, dibawa lari. Keluarga besar sudah wanti-wanti supaya kami yang belum menikah bisa lebih hati-hati."
"Kamu curiga padaku?" tanya Ammar sedatar mungkin, dia sedikit tersinggung.
Putri menggeleng cepat. "Waktu itu Putri belum kenal Mas Ammar. Itu juga bukan masalah percaya-tidak percaya, hanya pencegahan biar nggak perlu saling curiga." Wanita itu mengangkat kepala, sosok pintar yang tadi muncul saat berbelanja kembali hadir di depan Ammar. "Tapi setelah melihat apa yang Mas Ammar lakukan hari ini, untuk urusan buku yang cuma beberapa puluh ribu saja Mas Ammar sangat, Putri bisa percaya Mas Ammar tidak akan sejahat suami sepupu Putri."
Ammar hanya mengangguk, kembali menyesap kopinya. Dia juga memberi tanda pada Putri agar segera meminum tehnya. Tadi, ketika baru sampai rumah, tangan wanita itu terasa dingin ketika hendak melepaskan cengkeraman tangan Ammar.
"Lalu?"
"Putri juga sempat ingin menambah satu pasal lagi." Tangan Putri melingkupi cangkir, ujung-ujung kukunya mengetuk permukaan keramik. "Pernikahan hanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang telah pihak pertama dan pihak kedua sepakati." Putri akhirnya menatap Ammar tepat di mata. "Dari awal, Putri berharap, Mas Ammar nggak menyetujui perjodohan ini."
---
Bab 52 sudah ada di KBM. Kemungkinan bab 53 akhir pekan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top