10



"Mau sampai kapan kamu jongkok di situ?" tanya Ammar pada Putri yang sudah terlalu lama berjongkok di depan rak peralatan kebersihan tanpa meletakkan apa pun ke troli belanjaan. Selama lima belas menit tadi, Putri bisa dengan cepat mengambil kebutuhan lain tanpa banyak berpikir.

"Putri mau sarung tangan yang pink." Jari wanita itu menunjuk sarung tangan karet warna merah muda yang tergantung.

"Ambil!"

"Tapi ukurannya L semua, kegedean." Bibir Putri mengerucut.

"Cari ukuran yang pas." Ammar berusaha memberikan solusi agar kegiatan belanja mereka segera dilanjutkan.

"Yang ada ukuran M warna kuning. Putri nggak suka kuningnya." Wanita itu memainkan ujung hijab.

"Kamu beli sarung tangan karet untuk fungsi atau apa?" Ammar mulai menyesali keputusannya untuk menemani Putri untuk belanja. Sudah hampir setengah enam, dia tidak akan kembali ke kampus lagi. Tas kerjanya yang tertinggal, dia akan minta Jun untuk membereskan.

"Untuk fungsi, tapi kalau warnanya Putri suka kan bikin lebih semangat." Wanita itu akhirnya berdiri, mengambil sarung tangan karet warna kuning lalu meletakkannya ke keranjang dengan enggan.

"Memang kamu mau pakai untuk apa sarung tangannya?"

"Cadangan aja, kalau terpaksa cuci-cuci atau sikat kamar mandi." Putri mulai berjalan di samping troli, Ammar perlahan mengikuti.

"Mama sudah install mesin pencuci piring buat kamu. Urusan bersih-bersih, tiga hari sekali ada yang akan bantu bersih-bersih. Kamu nggak perlu repot."

"Putri butuh kegiatan. Bosan di rumah nggak ada kegiatan. Tadi ingin Ibu video call agak lama, Ibu bilang kalau bosan lihat layar terus." Putri menggerutu sambil berjalan ke area makanan segar. Ammar hanya menghela napas, tidak ada yang perlu dia katakan.

"Mas Ammar suka pedas? Kalau tiap hari Putri masak pedes, nggak apa-apa?" Ammar hanya mengangguk. "Ada makanan yang Mas Ammar nggak suka atau harus dihindari?""

"Nggak ada." Ammar mengikuti Putri berjalan ke rak sayur. "Untuk sayuran, pakai Sayur Akang saja."

Putri meletakkan kembali styrofoam kecil berisi cabai rawit ke rak.

"Sayur Akang?"

"Aplikasi: Sayur Anter Tanpa Kesang, antar tanpa keringatan." Ammar menahan diri untuk tidak mengeluarkan ponsel dan langsung mempromosikan aplikasi yang menjadi proyek thesisnya. "Langsung dari petani, lebih segar daripada di sini." Ammar memandang deretan sayur yang membuat area ini terasa lebih hijau. Berbagai label terpasang, ada yang dikemas dengan eksklusif, ada yang diletakkan begitu saja di atas konter. Ammar mengenali beberapa label dari kelompok tani binaan kampus.

"Harganya sama saja 'kan?"

"Sama, tapi keuntungan yang didapat petani lebih besar kalau beli lewat Akang. Margin yang diambil supermarket sering nggak masuk akal, kontraknya juga sering ...." Ammar menghentikan kuliahnya yang belum dimulai, Putri memandang dengan senyum lebar.

"Beda ya, kalau belanja dengan dosen agribisnis," Putri terkekeh. "Mas Ammar pakai aplikasi itu juga buat panenan di Semarang?"

Ammar memandang Putri sejenak. Sepertinya Papa dan Mama sudah menceritakan tentang lahan pertanian sayur yang sudah Ammar kelola sejak SMA pada Putri dan Khadijah. Entah kapan itu terjadi, Papa-Mama yang lebih sering melakukan ta'aruf dengan keluarga istrinya daripada Ammar sendiri.

"Awalnya dari kebunku, lalu kureplikasi untuk penelitian kampus. Ingin lihat 'gimana efeknya untuk scoop yang lebih luas."

Bibir Putri bergerak, membentuk kata "Wow" tanpa suara. Matanya berkilat bersemangat.

"Lalu 'gimana hasilnya? Bukannya kalau dari petani langsung ke pelanggan malah mengurangi efek multiplayer perdagangan?"

Kali ini Ammar terpana, dan membiarkan Putri melanjutkan opininya. Ammar selalu memberi waktu kepada mahasiswanya untuk mengeluarkan pendapat hingga tuntas. Kini, dia seperti sedang berhadap one on one dengan salah satu dari mereka.

"Kalau pelanggan beli sayur secara konvensional 'kan, antara petani dan pembeli ada jalur distribusi yang harus dilalui. Memang, harga yang didapat konsumen nggak bisa rendah-rendah banget, keuntungan yang diperoleh petani juga nggak bisa tinggi, karena ada biaya distribusi. Tapi biaya distribusi ini bisa menggerakkan banyak pihak juga, mulai dari supir truk, kuli angkut, kontribusi tol dan lain-lain." Putri mengambil napas sejenak. "Kalau semua jalur distribusi dipotong, petani memang diuntungkan, lalu 'gimana pelaku ekonomi di jalur distribusi?" Wanita itu bertanya serius.

Ammar mengambil menghela napas, lalu tersenyum sebelum menjawab, "Semua sudah aku bahas di thesis. Ada di rak ruang kerja kalau kamu mau baca."

Sinar mata berapi-api yang tadi muncul saat Putri melontarkan argumen seketika meredup.

"Berapa halaman?" Bibir wanita itu mengerucut, senyum Ammar makin lebar.

"Lupa, antara dua ratus sampai tiga ratus mungkin.:

"Putri baca bab kesimpulan dan saran saja," Putri mendengkus lalu berjalan menjauh. Kali ini Ammar tertawa tanpa suara lalu mengikuti langkah istrinya. Putri memasukkan beberapa bahan masakan untuk makan malam dan besok pagi sebelum Sayur Akang datang.

"Disertasi Mas Ammar apa?" tanya Putri saat mereka mengantre di kasir.

"Tentang rantai pertanian dari hulu ke hilir. Mulai dari rencana produksi sampai bagaiamana sampai di tangan pelanggan." Ammar memijat alisnya yang tiba-tiba terasa tegang. "Proyeknya sudah mulai berjalan dari beberapa bulan lalu. Awalnya, hanya jadi proyek kampus karena melibatkan beberapa peneliti lain."

"Tapi?" Putri sepertinya bisa mencium keraguan Ammar sendiri.

"Pemerintah, Kementerian Pertanian sepertinya dapat proposal disertasiku dan ingin proyek penelitian ini jadi pilot project untuk mereka juga."

Lagi-lagi 'wow' tanpa suara itu muncul di mulut Putri.

"Papa-Mama nggak pernah cerita soal ini."

"Aku baru diberitahu dua minggu lalu." Ammar mengistirahatkan siku di pegangan troli, merasa lelah tiba-tiba karena teringat tanggung jawab di pundaknya. "Proyeknya di Malang. Aku ke sana dua bulan lagi, setelah semester ini selesai." Berkali-kali dia menarik napas tapi dadanya masih juga sesak. Kesibukan mengoreksi jawaban kuis yang membuatnya lupa dengan tanggungjawab, kembali memunculkan ketakutan yang dulu sempat dia rasakan. Kini kembali muncul di permukaan. "Aku akan sangat sibuk, Put. Lebih sibuk dari yang pernah kamu lihat."

Andaikan, dia tidak ingin sekadar terbebas dari permintaan berulang Mamanya untuk segera menikah.

Andaikan, Putri tidak meminta untuk segera menikah setelah Ammar menyetujui perjodohan.

Andaikan....

Ammar ingin berhenti dari berandai-andai ini.


--
Di KBM sudah sampai part 49.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top