Tari Kebencian
Kakinya melangkah masuk ke halaman gedung besar berciri khas kuno namun masih terlihat kokoh dan terawat. Seorang gadis berambut panjang yang ia biarkan tergerai masuk menyapa teman-temannya dengan senyum merekah dan manis. Dania namanya, gadis berkulit putih serta berwajah cantik itu tampak di sambut oleh teman-temannya.
Lain halnya dengan Ruby, yang hanya duduk di sana sembari menatap malas sekumpulan orang-orang sok asik itu. Ruby tahu Dania cantik, manis, pintar, dan tentunya kaya. Berbanding balik dengan dirinya yang merupakan anak biasa dengan penampilan biasa dan bermuka jutek.
"Munafik," gumamnya yang kemudian bangkit dari duduknya dan mulai mengambil selendang yang ia gunakan untuk latihan menari hari ini.
Sembari memulai gerakan tariannya, ia memandang Dania yang masih di kerumuni teman-temannya yang lain, mereka tampak bercanda dan tertawa bersama. Dalam hati kecilnya, Ruby sedikit iri dengan apa pun yang ada pada Dania, gadis itu terlalu sempurna, bahkan ia lebih lincah dan selalu mendapatkan pujian.
"Ayo kita mulai! Ruby sudah mulai pemanasan," ujar Dania sembari menghampiri Ruby yang tengah berdiri tak jauh dari sana.
Selesai dengan latihan pertama mereka, tak lama seorang wanita tiba, ia adalah guru tari mereka yang hari ini datang terlambat karena suatu kendala. "Anak-anak, kita mulai seperti biasa ya. Di karenakan saya datang terlambat jadi kita mulai ke intinya saja. Ibu ingin mengumumkan berita penting tentang tawaran mengisi acara di Yogyakarta."
Ruby yang mendengar itu sontak menatap kaget dan penuh harap akan gurunya itu. Bahkan anak-anak yang lain pun tampak ikut histeris.
"Permisi, Bu. Kita akan tampil bersama kan?" tanya Dania.
"Sayangnya tidak, kali ini khusus penari solo, bukan kelompok. Jadi ini sedikit sulit karena harus memilih di antara kalian," jelas wanita berbadan ramping itu.
"Dania saja yang mewakili, dia juga sudah menguasai berbagai macam tarian." Ucapan itu datang dari seorang gadis berkulit sawo matang yang duduk di sebelah kiri Ruby. Sontak saja Ruby menatap gadis berambut panjang itu dengan wajah sedikit kesal dan malas.
Ruby adalah seorang penari muda yang berasal dari sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Sejak kecil, dia bercita-cita untuk menjadi penari terkenal dan tampil di panggung megah di Yogyakarta. Ia merasa bahwa panggung tersebut adalah tempat di mana impian-impiannya akan menjadi kenyataan. Namun, dunia seni tidak selalu ramah. Ruby menghadapi persaingan yang ketat dan terkadang merasa bahwa dirinya terkungkung oleh keterbatasannya terlebih persaingannya dengan sosok Dania.
Ia menatap Dania di sebelahnya, mungkinkah ia bisa mengapai impiannya? Sedangkan saingannya ada sosok sempurna seperti Dania.
Malam itu Ruby pulang dari sangar tari dengan pikiran yang kacau, ia cukup terbebani dengan keadaanya sekarang. Namun, seberusaha mungkin ia harus tetap fokus untuk penampilannya besok di acara kecil-kecilan di desanya.
Ketika malam itu tiba, gemerlap lampu menyorot mereka. Tarian gemulai dari Dania benar-benar memukau penonton. Ruby hanya bisa melihat jelas sorot mata para penonton hanya berfokus pada gadis sempurna itu, dirinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah terlihat atau bahkan tersorot cahaya sedikitpun.
"Aku membenci diriku yang sekarang," batinnya sembari terus menari di balik bayang-bayang sosok Dania. Ia menatap gadis itu, senyum lebarnya menambah perasaan benci di diri Ruby. "Aku lebih membencimu yang terlewat sempurna, Dania."
Setelah pertunjukan tari di desanya selesai, Ruby segera bergegas pergi dari lokasi itu dengan tangis dan perasaan hancur, ia merasa benar-benar gagal. Dengan perasaan sedih itu bukannya pulang ke rumah, Ruby justru pergi ke hutan bambu yang gelap dan sunyi untuk merenung. Di sana, dia mulai mendengar suara halus yang memanggilnya.
"Ruby, kami bisa membantumu mencapai ketenaran dan menghadapi panggung megah yang kamu inginkan," kata suara tersebut. "Namun, ada harga yang harus kamu bayar."
Ruby awalnya terkejut dan bahkan ketakutan karena suara itu, namun ia memberanikan diri dan giliran bertanya, "Harga apa yang harus aku bayar?"
Suara itu menjawab, "Kamu harus menjual jiwamu kepada kami dan bersekutu dengan mahkluk halus dari dunia seni tradisional Jawa. Hanya dengan begitu, kita bisa memberimu kekuatan dan bakat yang tak terkalahkan."
Ruby merasa dilema. Impiannya adalah segalanya baginya, dan tawaran ini seperti sebuah kesempatan terakhir. Akhirnya, dengan hati yang berat, Ruby setuju.
Dengan bersekutu dengan mahkluk halus tersebut, Ruby mendapatkan bakat yang luar biasa. Setiap gerakan tari yang dia lakukan seakan memiliki kekuatan magis, dan penonton tidak dapat melepaskan mata mereka dari penampilannya. Seperti acara malam ini, ketika semua penonton hanya tertuju padanya, seakan dirinya bukan lagi bayang-bayang dari Dania.
Gerakan tubuh yang gemulai diiringi tabuhan musik Jawa dan senyuman mengembang ia tunjukan, seakan panggung ini hanya untuk dirinya. Ruby benar-benar larut dalam setiap gerakan tarian yang ia tampilkan pada para penonton.
Suara tepuk tangan terdengar, banyak pujian yang di dapatkan Ruby di malam itu. Semua teman-temannya bahkan ikut menyanjung Ruby. Kecuali Dania yang hanya bisa menatap heran akan perubahan dari sosok Ruby.
"Auranya kenapa berbeda dari Ruby yang aku kenal?" batin Dania sembari menatap Ruby berjalan menjauh dari panggung.
Hal yang ditunggu-tunggu Ruby akhirnya terwujud, gadis itu akhirnya mendapatkan posisi untuk tampil di panggung megah yang selama ini dia impikan di Yogyakarta dan mengalahkan Dania.
Namun, semakin lama dia bersekutu dengan mahkluk halus tersebut, semakin besar pula harga yang harus dia bayar. Ruby merasa seperti dia kehilangan dirinya sendiri dan kesenian sejati yang dimilikinya. Ia melihat dirinya sendiri dalam cermin, dan matanya telah kehilangan cahaya yang dulu begitu berkilau.
"Apakah caraku ini benar?" gumamnya sembari menatap pantulan dirinya dari cermin besar itu. Sedang asik mengaca, tiba-tiba pantulan dirinya berubah menjadi sosok wanita menyeramkan berpakaian adat jawa dengan mulut lebar yang hampir menyentuh telinga. Sosok itu menyeringai, matanya merah mengeluarkan darah segar.
Reflek Ruby menjerit kaget dan membuat seisi ruang rias itu menatap aneh ke arahnya. Seorang wanita menghampirinya. "Ada apa, Ruby?" tanyanya.
Gadis itu menatap si wanita dengan wajah pucat dan ketakutan, Ruby hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak ada apa-apa," ujarnya sembari berusaha melupakan kejadian menyeramkan itu.
Malam yang ditunggu tiba, gadis yang telah siap dengan pakaian khas penari itu pun segera mengambil posisi untuk persiapan tampil. Sosok guru pelatihnya datang, memberikan sepatah dua patah kata untuk sekadar menyemangati.
"Aku pasti bisa," ujarnya sembari menyeringai seakan telah percaya pada sosok lain di tubuhnya.
"Aku akan membantumu, Ruby."
Bisikan itu terdengar lembut, seakan berada tepat di sebelahnya. Ruby sempat mencari asal suara itu, namun ia abaikan begitu saja ketika namanya telah dipanggil untuk segera tampil.
Karir Ruby memang melonjak drastis setelah penampilan spesialnya di panggung Yogyakarta. Sejak saat itu nama Ruby mulai dikenal masyarakat, sosok gadis penari dari Jawa dengan paras cantik dan lemah gemulai itu mendapatkan banyak sekali tawaran tampil di acara-acara besar, seperti halnya malam itu di acara besar yang di selenggarakan di Jakarta.
Pada malam penampilan terbesarnya, Ruby merasa bahwa sesuatu tidak beres. Dia tampil di panggung megah dengan mahkluk-mahkluk tersebut, mahkluk berupa menyeramkan yang ikut berada di panggung bersorot lampu.
Ketika penampilannya di mulai, penonton terpesona oleh tarian indah miliknya. Namun, di tengah penampilan, Ruby merasa seperti dirinya terpisah dari tubuhnya, seakan ada sebuah energi yang menarik jiwanya untuk keluar dari tubuhnya.
"Ini tidak mungkin," gumamnya sembari berusaha terus tersenyum dan melanjutkan pertunjukannya.
"Ini sudah waktunya, Ruby."
Si gadis menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan, aku mohon jangan ambil diriku sekarang. Aku akan memberikan apa yang kau mau," batinnya.
"Kau sudah terlambat, janjimu untuk memberikan tumbal tak kau penuhi, Ruby. Dan kau masih meminta waktu?"
Sesosok menyeramkan muncul di depannya. Wajah berlumuran darah dengan senyum mengerikan itu terpampang jelas di depan matanya. Suasana berubah gelap, Ruby masih di atas panggung, namun seakan terlempar jauh di dimensi lain.
"Aku mohon padamu, Nyai."
"Sudah terlambat!"
Dalam kepanikan, Ruby mencoba memutuskan hubungan dengan sesosok wanita yang ia sebut Nyai tersebut, tetapi sosok itu terus menuntut harga yang mengerikan. Dalam momen ketakutan itu Ruby menemukan dirinya tenggelam dalam kegelapan, dan saat ia membuka mata, ia mendapati dirinya terperangkap di dalam sebuat lukisan besar.
Sesosok wanita berkebaya dengan wajah menyeramkan muncul di depannya dengan suara mengerikan ia berbicara, "Kau telah menjual jiwa dan identitasmu kepada kami, Ruby. Sekarang, kau milik kami. Kau akan menari untuk selamanya dalam dunia kegelapan ini."
Ruby merasa ketakutan dan terpaku di tempat. Ia mencoba untuk membalas dan membebaskan dirinya, tetapi mahkluk-mahkluk jahat tersebut semakin erat mengikatnya dengan energi gelap yang mengerikan.
Dengan putus asa si gadis tampak memohon. "Aku menyesal! Tolong bebaskan aku!"
"Kau tak akan bisa keluar dari sini, selamanya."
"Siapapun kau, bebaskan aku, akan aku berikan semuanya untukmu."
Namun, wanita bermulut lebar itu hanya menjawab dengan tawa yang mengerikan dan. Ruby merasa dirinya semakin tenggelam dalam kegelapan, dan dunia luar yang dulu ia kenal seakan-akan semakin jauh.
Begitu Ruby terperangkap dalam lukisan, dunia di dalamnya begitu gelap dan menakutkan. Ia merasa seperti jiwa dan identitasnya terkoyak-koyak, dan ia tidak tahu bagaimana bisa melarikan diri dari situasi ini. Ia mencoba untuk memahami apa yang telah terjadi, tetapi terjebak dalam lingkaran waktu yang tak berujung.
Selama berabad-abad, Ruby berada dalam kegelapan tersebut, merasa terisolasi dan kehilangan. Ia berusaha mencari jalan keluar, mencoba untuk memahami apa yang telah terjadi, tetapi terjebak dalam lingkaran waktu yang tak berujung. Pada saat itu, ia menyesali pilihan yang telah dibuatnya.
Di dunia nyata, berita tentang kepergiannya menyebar, dan banyak penari dan seniman yang merasa sedih atas nasib Ruby. Mereka mengingat kisahnya sebagai peringatan tentang bahaya ambisi buta dalam seni.
Kisah Ruby menjadi legenda di kalangan penari dan seniman. Mereka yang mendengar kisahnya diingatkan bahwa seni sejati tidak dapat dicapai dengan menjual jiwa, dan harga yang harus dibayar Ruby adalah tragis dan mengerikan. Ruby telah menumbalkan dirinya sendiri dalam pertaruhan yang mengerikan antara seni, ambisi, dan kegelapan yang tak terbayangkan.
***
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top