Pria Naif yang Berharap Menjadi Angkasa

Pagi itu, awan terlihat muram ditemani semarai warna putih kehitaman dari sisa hujan pukul lima, pagi tadi. Aroma petrikor kian menyerbak lantas menghilang bersamaan ketika jarum jam tepat menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Sementara itu, derap seorang pria berkacamata terlihat berjalan di bahu jalan dan tetap berada dalam irama yang sama.

Dia menyusuri bahu jalan yang sepertiganya telah diambil alih oleh beberapa pedagang asongan yang sembari menawarkan apa yang dijajakan mereka dengan sopan.

Lelaki itu mendongakkan kepalanya ke angkasa, masih dalam derap irama yang sama, ia kemudian berujar, "Tidak ada pelangi hari ini: baik biru, hijau, atau jingga. Entah di balik awan cirrus maupun kumolonimbus; hanya kelabu. Sama seperti kemarin, lagi dan lagi."

Laki-laki itu berhenti dalam gerakan mendadak, ia menanggalkan kacamata yang bertengger di kepalanya, kemudian diusap-usapkannya dengan saputangan. Ia terkekeh, suaranya hampir tak dapat didengar oleh siapa pun.

Sok tua, sok puitis, sok estetika. Lihat! Usahamu sendiri masih membuatmu pontang-panting bahkan sampai kapapun itu. Aku sih kalau jadi dirimu lebih baik mati saja, malu dilihat orang; enggak punya tujuan hidup! Nyusahin orang tua.

Kilasan memori tentang masa SMA-nya tiba-tiba berputar di kepalanya seperti fotograf usang yang tak dapat dikendalikannya. Dia lantas mengusapkan wajahnya, menghela napas lalu beringsut maju seraya memakai kacamatanya yang telah bersih dari tempias air hujan.

Hari ini, ditemani kalkulasi matang yang terasa tak berkesudahan, ia kini telah membulatkan tekadnya untuk menghadiri acara peluncuran resmi buku puisi pertamanya pada salah satu toko buku terbesar dikotanya.

Lelaki itu kembali menyusuri bahu jalan sejauh lima ratus meter ke depan, kemudian ia berbelok tepat di pertigaan lampu merah menuju pelataran gedung tinggi berlapis ratusan kaca laminated yang terlihat megah dan berkilau. Di atas pintu masuk menuju lobi, terpampang tulisan keperakan yang bertuliskan "Toko Buku Sentral". Sesuai namanya, toko buku tersebut benar-benar berdiri tepat di tengah kota, seolah-olah toko buku tersebut merupakan manifestasi makna bahwa pusat kota tak lain ialah pengetahuan.

Lelaki itu memasuki toko buku tersebut. Suasana di sana terlihat agak ramai. Kedatangan pria itu dengan sigap disambut oleh petugas keamanan yang lantas menggiringnya masuk melewati kerumunan lautan manusia menuju ke altar panggung yang berdiri tepat di belakang eskalator penghubung lantai satu dengan lantai yang lainnya. Terdengar beberapa penggemar sosial medianya sesekali berteriak meneriaki namanya yang sebisa mungkin dia balas dengan senyum simpul yang teramat sangat canggung.

Seorang pria lain, yang dapat ditebak mungkin pembawa acara untuk pagi hari itu, terlihat antusias melihatnya. Dia kemudian berujar seraya mengencangkan mic-nya di tangan kanan. "Hari ini kita kedatangan tamu yang cukup spesial, Adhinatta Ephraim! Penulis buku antologi puisi 'Sajak: Angkasa'. Mari kita beri tepuk tangan!"

Suara tepuk tangan menggema di udara, lelaki yang bernama Adhinatta Ephraim itu menyapa penonton seraya memegang mic yang diberi pembawa acara itu dengan sopan.

"Selamat pagi semuanya," seluruh penonton membalas ucapannya walau terdengar riuh dan kurang jelas. Adhinatta Ephraim memerhatikan pandangannya ke sekeliling, berbagai ribuan tentang kilasan masa lalunya bagaikan ujung tombak yang harus di keluarkan lewat mulutnya. "Saya boleh bercerita sedikit?" Yang ditanya menceracau tidak jelas, sedangkan lelaki itu sendiri benar-benar butuh untuk mengutarakan hal yang ada di dalam kepalanya. "Jadi sebelum saya sampai di tempat semegah ini, tiba-tiba saya mengingat sesuatu, mungkin apa yang saya pikirkan sedari dulu secara tidak langsung tersurat di dalam buku saya sendiri. Ribuan sajak yang selama ini saya tulis adalah ribuan fragmentasi sebagainana saya melihat masa lalu." Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling sekali lagi, kemudian dia melanjutkan kalimatnya, "terkadang pandangan setiap orang tentang bakat dan profesi itu berbeda-beda. Seolah ada patokan sebagaimana tigkat kesuksesan seseorang diukur."

Adhinatta tertawa, dia kembali mengingat masa-masa kelam SMA-nya tadi seolah isi kepalanya kini telah menjelma diari tua yang ingin dibukanya kembali secara disengaja. Ia meraih buku puisinya di atas meja kayu tepat di sampingnya, "Saya ini dikenal sebagai manusia yang gampang iba, punya rasa simpatik yang tinggi sedari dulu sampai-sampai saya sendiri tidak dapat membedakan mana 'meminta tolong' dan mana yang 'memanfaatkan'. Hal inilah yang justru membuat kehidupan saya semakin tidak karuan."

Kali ini lelaki itu tertawa lebih keras. Guratan memori tentang masa SMA-nya berputar cepat di kepalanya. "Maaf, mengingat kata 'iba', saya terkadang suka merasa lupa kalau diri saya itu ternyata terlalu naif." Adhinatta membuka segel buku di genggamannya, dia mencari sebuah puisi di dalamnya, tangannya terlihat agak gemetar, keadaan di tempat itu tiba-tiba menjadi hening seketika.

"Dari sejuta mimpi yang berujung patah
Pantaskah aku menyebutnya 'rumah'?
Kini serupa kukila yang berkelana di luasnya bumantara; ia rela berkelana jauh tanpa segulung peta seolah tidak ada yang hilang dan meniadakan
Seolah aku ini adalah kayu yang lindap menjadi abu

Kita
akhirnya
reda.

untuk esok dan selamanya."

Adhinatta menutup bukunya, dia melempar pandangannya kembali, "Saya ini sangat suka sekali melihat pelangi setelah hujan. Sejak kecil saya rela menunggu pelangi bahkan untuk waktu yang sangat amat lama. Namun kalau dipikir-pikir kembali, saya ternyata lebih menyukai angkasa sejak lama. Angkasa tidak menyejukkan seperti hujan, tidak memiliki banyak spektrum warna seperti semarai pelangi, tetapi yang paling penting, angkasa selalu ada tanpa peduli dengan siapa dan kapan. Saya selalu merasa di posisi itu, saya selalu merasa ada walaupun terkadang dianggap tiada. Dan, buku antologi 'Sajak: Angkasa' adalah sebuah bentuk pelarian semata sebagaimana rasanya menjadi ada dan tiada dalam waktu yang bersamaan."


Cerita satu, Pria Naif yang Berharap Menjadi Angkasa
-Renaldi Manurung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top