8 - Kuliah
"Jadi kamu suka chatingan gitu sama kang Arnav?" tanya Nadin dengan antusias.
"Hmmm," jawabku malas sambil melihat-lihat katalog tas keluaran terbaru salah satu brand lokal yang terkenal.
"Terus kalian suka bahas apa aja?" tanya Nadin lagi.
"Harus ya aku ceritain ke kamu?" tanyaku jengah. Memang seharusnya tadi aku tidak menceritakan padanya bahwa aku beberapa kali chatingan dengan kang Arnav.
"Ya iyalah harus," ucap Nadin tak menyerah.
"Gak mau ah males." ucapku.
"Ih kamu mah gitu," gerutunya.
"Intinya mah ya cuma nanya-nanya seperti kegiatan aku, dan kaya gitu lah gak banyak. Bye the way Nad dia nyebelin ya ternyata," ucapku saat teringat salah satu chat nya yang sengaja mempermainkan ku.
"Emang dia itu kaya gitu Al. Sama kaya mas Ilham," ucapnya sambil tersenyum membayangkan.
"Mas Ilham terus," ledekku. Dan hanya dibalas cengiran lebar oleh Nadin.
"Pengumuman kamu berapa minggu lagi Al?" tanya Nadin.
"Dua minggu lagi," jawabku pendek.
"Kang Arnav tahu?" tanya Nadin lagi.
"Dia tahu aku mau kuliah, tapi aku gak bilang ke luar negeri," jawabku.
"Kamu harusnya kasih tahu dong, demi masa depan kalian," ucap Nadin sambil tertawa.
"Masa depan apanya, dianya aja gak pernah ngebahas gimana kelanjutan dari proses kita," ucapku sedikit merenung.
Jika dipikirkan memang terasa aneh diantara kami berdua. Sebenarnya kami itu apa?
"Sabar aja Al, baru beberapa minggu juga kan kalian," ucap Nadin.
"Aku penasaran dengan satu hal. Emang iya ya kang Arnav udah gak ada apa-apa sama Dwi?" tanyaku mencoba meyakinkan diri sendiri.
"Iya lah Al. Mereka emang udah gak ada apa-apa," jawab Nadin.
"Tapi ya Nad logika aja gitu, mereka udah lama kenal, bahkan kata kamu tempo hari kalau kang Arnav udah nadzor ke rumahnya sama ustadz. Nah masa semudah itu mereka gak ada apa-apa?" tanyaku sangsi.
"Ya ampun Almeira cantik dengerin aku. Walaupun mereka udah kenal lama belum tentu kang Arnav benar-benar jatuh cinta sama Dwi, mereka mengikuti proses seperti seharusnya. Dan satu hal, kang Arnav baru nadzor bukan khitbah ya," ujar Nadin panjang lebar.
Aku mengiyakan. Tapi tetap saja perasaanku sebagai perempuan masih ragu.
"Jadi ceritanya kamu ragu nih sama kang Arnav?" tanya Nadin setelah keheningan menyelimuti kami.
"Bukan gitu juga," Bohongku. Bagaimanapun tentang perasaanku saat ini aku tak ingin ada yang mengetahui.
"Yaudah sekarang mendingan kita pesen makan aja," ucap Nadin terkekeh dan menyerahkan ponselnya yang memperlihatkan daftar makanan di salah satu aplikasi.
Aku pun tertawa dan tak urung mengambil ponselnya.
***
Bismillahhirrahmanirrahmim rapalku dalam hati saat hendak membuka pengumuman kelulusan yang diumumkan secara online di website.
Setelah menekan tombol enter mataku berkaca-kaca melihat pengumuman di layar laptop ku. Kupeluk mama dan papa bergantian.
"Selamat ya sayang," ucap papa sambil mengelus kepalaku lembut.
"Selamat, akhirnya kamu bisa kuliah juga disana," ucap mama.
"Makasih Ma,Pa," ucapku masih dengan suasana haru.
Aku benar-benar tak menyangka bahwa penantianku selama satu tahun ini terbayar dengan hasil yang manis.
"Ma, Pa, aku pergi ke kantor dulu ya," ucapku setelah beberapa saat kemudian.
"Kenapa buru-buru?" tanya papa.
"Aku mau ngasih tahu Nadin," ucapku senang.
"Yaudah hati-hati ya," ucap mama.
"Tunggu sebentar Al," ucap papa.
Aku mengerutkan kening heran. "Aku manasin mobil dulu deh Pa," ucapku.
"Iya, tunggu disana," ucap papa dan berlalu menuju kamar.
Aku pun segera melangkahkan kaki menuju garasi setelah sebelumnya pamitan pada mama.
"Al." Panggil papa yang muncul dari belakangku saat aku tengah memanaskan mobil.
"Iya Pa," jawabku.
"Ini." Papa menyodorkan kartu debit yang sudah lama tak aku pakai.
"Untuk apa Pa?" tanyaku heran.
"Mungkin kamu akan perlu ini lagi mulai sekarang." ucap papa.
"Tapi Pa-" ucapanku terpotong saat papa mendekat dan menggenggam tanganku.
"Papa tahu kamu mungkin sekarang tidak butuh ini lagi. Bahkan Papa percaya kalau penghasilanmu sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup kamu. Tapi bagaimanapun kamu itu masih putri Papa, masih tanggung jawab Papa. Apalagi kalau kamu mau kuliah di luar negeri. Ingat disana kamu butuh makan yang jauh lebih mahal daripada disini," ucap papa sambil terkekeh.
Aku menghambur ke pelukan papa. Bahkan beliau ini sudah memikirkan bagaimana aku nanti di Korea. Memang sejak usahaku lancar aku mengembalikan kartu yang diberikan papa sejak aku SMP. Aku ingin mandiri, hanya itu alasanku. Hanya mobil saja yang tidak aku kembalikan karena itu sudah menjadi milikku sebagai hadiah ulang tahun yang ke tujuh belas.
"Makasih banyak Pa," ucapku.
"Jangan berterima kasih, ini merupakan hak kamu," ucap Papa.
"Yaudah sekarang kamu boleh pergi. Katanya mau ngasih kabar bahagia ini ke Nadin," ucap papa mengurai pelukan kami.
"Iya Pa. Al berangkat dulu ya. Assalamu'alaikum," pamitku
"Waalaikumsalam," jawab papa.
---
Aku turun dari mobil setelah sampai di kantor. Aku berpikir sejenak, ini motor siapa ya yang berada tepat di samping mobilku? Apa ada tamu? Kok Nadin gak ngabarin aku ya.
"Assalamu'alaikum," salamku begitu memasuki kantor yang pintunya terbuka.
"Wa'alaikumsalam warrohmatullah," jawab mereka serempak.
Aku sedikit terkejut bahwa di sofa tamu disana ada mas Ilham, kang Dian dan jangan lupakan ada kang Arnav.
Aku tersenyum kikuk kepada mereka.
"Eh Al udah datang. Katanya kamu mau kesini malam," ucap Nadin yang baru datang dari arah dapur sambil membawa nampan berisi teh.
"Iya, ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Tapi nanti aja kalau sekarang kan lagi ada tamu," ujarku.
Aku melirik sejenak ke arah teh Oca dan Rima yang sepertinya tidak terpengaruh dengan kehadiran 3 makhluk ini. Mereka tetap fokus pada pekerjaannya. Sepertinya memang hanya aku yang merasakan hawa canggung disini.
"Al sini deh gabung sama kami," ucap Nadin ketika melihatku melangkah hendak menuju meja kerja.
Aku merutuki kebodohanku yang dengan anggunnya malah berjalan menuju sofa tempat dimana mereka berada.
"Ada apa ini?" tanyaku mencoba bersikap biasa. Padahal jantungku sudah sangat bertalu-talu dengan keras.
Aku duduk di sofa single berhadapan dengan Nadin. Sedangkan mereka berada di sofa panjang yang berada di tengah-tengah kami.
"Jadi gini Al, aku berencana mau jadiin brand kita menjad salah satu sponsor di acara tabligh akbar yang diadain sama komunitas," ucap Nadin.
Aku mengangguk mengerti. Memang sudah beberapa kali brand kami menjadi sponsor di banyak acara. Tapi untuk di komunitas Nadin baru kali ini.
"Al setuju gak?" tanya mas Ilham padaku.
"Aku sih setuju aja. Kalau untuk urusan begini serahkan saja pada Nadin," ucapku tersenyum simpul.
"Lah kamu juga sekarang mah harus bantuin dong Al. Kamu tahu kan aku lagi sibuk kuliah," ucap Nadin tersenyum jail.
Kalau saja disini tidak ada mereka sudah ku lempar Nadin dengan gelas berisi teh. Itu hanya akal-akalannya saja agar aku terlibat kali ini.
"Kamu gak sibuk kan Al? Kalau Nadin aja kasihan dia kan jadi panitia juga," ucap mas Ilham.
Fix mereka bersekongkol untuk ini.
"Okay untuk saat ini aku akan ikut. Yaudah kalau gitu sekarang disini kita mau ngebahas itu kan? Dimulai aja," ucapku akhirnya. Kulihat Nadin tersenyum penuh kemenangan disana.
Kami pun akhirnya membahas segala hal dimulai bagaimana konsep acaranya, dan banyak hal lainnya. Sesekali diselingi candaan yang mampu mencairkan suasana. Tapi yang aneh disini kang Arnav nampak sedikit berbicara dia bicara kalau memang diperlukan saja, sangat berbeda dengan dirinya kalau sedang chating besamaku. Apakah dia juga merasa canggung sepertiku?
Setelah mereka pulang aku langsung membawa Nadin ke lantai dua untuk bicara.
"Maksudnya tadi apa hemm gak ngasih tahu aku kalau disini ada tamu?" tanyaku sinis.
"Kan aku gak tahu kalau kamu mau kesini," ucapnya kelewat santai.
"Terus ngapain bawa-bawa aku buat acara itu?" tanyaku gemas.
"Nih Al acara ini lumayan biar kamu bisa tambah deket sama kang Arnav. Biar cepet nikah juga," ucapnya sambil tertawa.
Aku melemparkan bantal ke arahnya.
"Aku keterima kuliah di Korea," ucapku menghentikan tawanya.
"Hah? Terus gimana dong?" tanyanya ambigu.
"Gimana apanya? Ya Alhamdulillah lah Nad," jawabku aneh.
"Kang Arnav gimana?" tanya Nadin menatap lurus ke arahku.
Aku memejamkan mataku sejenak. Aku melupakan satu fakta itu. Walaupun sampai saat ini tidak ada kejelasan antara kami tapi tetap saja dia salah satu bagian di kehidupanku. Kenapa aku sampai melupakannya.
"Nanti aku akan bicara padanya," ucapku.
"Kapan?" tanya Nadin.
"Kalau udah waktunya," ucapku.
"Yaudah kalau begitu mari rayakan kelulusanmu dengan tidak memikirkan hal lain," ucapnya dengan semangat.
"Kemana?" tanyaku.
"Ya tentulah ke korean restaurant. Aku ajak dulu kedua admin kita ya," ucapnya yang tanpa mendengar jawabanku langsung memanggil mereka berdua.
Aku tertawa dan bersyukur karena papa memberikan aku kartu debit yang isinya entah berapa karena kurasa papa pasti selalu mengisinya. Mungkin papa juga tahu kalau aku harus mengisi perut-perut mereka karena kelulusanku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top