6 - Bismillah


Aku membuka pesan dari Nadin dengan ragu. Sebuah file berbentuk word dari seseorang yang dua hari yang lalu aku telah mengirim file yang sama.

Aku pun merapalkan basmallah dalam hatiku dan membuka cv dari kang Arnav.

Namanya Arnav Rashaad dia berusia 25 tahun dan merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. Kakaknya laki-laki berusia 29 tahun dan adiknya seorang perempuan yang masih kelas 2 SMA. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil di dinas ketenagakerjaan dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Kang Arnav sendiri merupakan seorang pegawai di perusahaan yang cukup maju untuk saat ini.

Ada nomor ponsel yang dicantumkan disana, aku pun menyimpannya. Kebiasaanku memang selalu menyimpan nomor orang yang dikenal. Kita tidak pernah tahu bukan kepada siapa kita membutuhkan bantuan?

Oh ya kemarin kang Arnav sempat bertanya pada Nadin apakah aku terburu-buru menuju jenjang pernikahan? Dan tentu saja aku jawab tidak. Bahkan sebenarnya aku belum berpikir terlalu jauh ke arah sana karena impianku untuk bisa kuliah di Korea pun belum terwujud.

***

Hari berganti hari. Sudah hampir dua minggu setelah kita bertukar cv dan tidak ada perkembangan apapun. kecuali Nadin yang selalu mengejekku tentang kang Arnav. Dan jangan lupakan bahwa dia selalu bercerita tentang kegiatan kang Arnav karena mereka sering bertemu untuk kegiatan keagamaan di komunitas.

Aku membuka instagram dan melihat postingan yang menginformasikan bahwa ustadz favorit ku akan melakukan ceramah dekat dengan lokasi kantorku. Aku pun memutuskan untuk datang kesana dan terlebih dahulu menghubungi Nadin.

Me : Nad nanti sore udah ashar ke Masjid Al-Ikhlas yuk. Ada kajian.

Nadin : Oke, tapi kamu berangkat duluan aja ya. Aku ada acara kampus dulu.

Me : oke Nad.

"Rim, Teh Oca temani aku kajian yuk nanti sore," ajakku pada mereka.

"Dimana Teh?" tanya Rima.

"Deket kok, di Al-Ikhlas," jawabku.

"Jam berapa Teh?" tanya teh Oca.

"Ba'da Ashar," jawabku.

Dan mereka pun hanya mengangguk sebagai ucapan setuju.

---

Aku memarkirkan mobil di parkiran masjid, kami datang sebelum Ashar karena aku takut masjid akan penuh. Kami pun berjalan dari tempat parkir menuju masjid, namun ketika aku baru saja memasuki pelataran masjid mataku terpaku pada satu sosok yang berjalan menuju kami. Dia berlalu begitu saja dan aku sempat melirik punggungnya yang telah menjauh.

Itu kang Arnav kan? Tapi aku lupa lagi. Dengan segera aku membuka ponsel dan mencari cv kang Arnav untuk melihat fotonya.

Benar itu dia.

"Kenapa Teh?" tanya Rima bingung melihatku yang berhenti sejenak.

"Hah? Gak kenapa-napa, yuk masuk," jawabku.

Kang Arnav pasti tidak mengenaliku karena sekarang aku memakai niqob. Pada awalnya aku hendak memakai masker, tapi ketika melihat niqob yang sudah lama tak aku pakai akhirnya kuputuskan untuk memakainya saja.

Bukan maksudku mempermainkan niqob dengan melepas pasang, hanya saja aku masih belajar. Aku belum siap bila sepenuhnya memakai niqob, dan aku pun telah berjanji akan memakai itu terus ketika sudah menikah. Insya Allah.

Kami duduk di luar masjid karena belum adzan hingga suara Rima menyentak lamunanku.

"Teh antar ke toilet yuk. Aku mau wudhu," ucap Rima.

Aku pun mengangguk dan mengantarnya.

Toilet berada di tempat yang cukup terpisah dengan bangunan masjid. Aku menunggu Rima di dekat wastafel dan ada sebuah kain yang menjadi penutup agar orang luar tidak bisa melihat.

Tiba-tiba angin berhembus dan kain itu pun tersingkap, aku pun menoleh keluar dan ketika itu pandanganku terkunci dengan sosok yang tengah menoleh ke arah sini. Kang Arnav.

Dia memalingkan wajah dan aku pun segera menundukkan pandangan. Jantungku berdetak dengan kencang. Ada apa ini? Padahal kang Arnav pasti tidak mengenaliku.

"Teh, ayo," ajak Rima yang telah selesai.

"Ayo," jawabku.

***

Kajian telah selesai dan kini aku, Nadin, teh Oca, dan Rima hendak makan malam dulu sebelum pulang. Kami telah duduk di salah satu rumah makan padang.

"Kenapa Nad?" tanyaku pada Nadin yang terus sibuk mengecek ponselnya.

"Mas Ilham nanyain aku dimana. Katanya lagi cari makan," jawab Nadin.

"Jangan bilang kamu ngasih tahu kita lagi disini?" tanyaku dengan was was.

Senyuman Nadin sukses membuat jantungku langsung berdebar-debar tidak normal.

"Assalamu'alaikum." Aku melirik tiga orang pria yang menghampiri kami.

Aku kenal yang dua nya, dan aku yakin yang mengucap salam itu mas Ilham.

"Wa'alaikumsalam warrohmatullah," jawab kami.

Mereka pun duduk di meja yang tepat berada di samping kami. Dan sialnya kenapa kang Arnav duduk di kursi yang sebaris denganku. Walaupun kami berbeda meja tapi tetap saja hanya terpaut beberapa langkah, atau hanya terhalang dua setengah keramik.

"Udah pesan?" tanya mas Ilham pada Nadin.

"Udah. Lagi nunggu aja ini," jawab Nadin.

Seperti teringat sesuatu Nadin berkata, "Oh ya kenalkan ini sahabat aku Almeira, ini teh Oca dan ini Rima."

"Dan perkenalkan aku Ilham, ini kang Arnav dan kang Dian," ucap mas Ilham.

Kami pun hanya mengangguk dan sedikit menoleh. Teh Oca pun kembali ke obrolan serunya dengan Rima dan Nadin berbincang dengan mas Ilham. Sedangkan aku hanya diam menyimak obrolan mereka. Kulirik dari sudut mata terlihat kang Arnav sedang memainkan ponselnya.

Hingga pesanan kami pun datang dan akhirnya kami makan dalam diam. Aku sedikit kesusahan makan karena memakai niqob. Ya hal ini sering terjadi karena aku belum terbiasa. Untung saja aku memakai niqob luar jadi tidak terlalu sulit.

Aku menghentikan acara makan ku dan seperti biasa makanan ku selalu bersisa jika makan diluar seperti ini. Bagiku porsi makanan di rumah makan itu terlalu banyak. Padahal kata Nadin itu udah pas.

"Nad aku ke mobil duluan ya. Biar aku yang bayar aja makanannya," ucapku dan menyampirkan tas.

Tanpa menunggu persetujuan Nadin aku bangkit, "Semuanya saya duluan. Assalamu'alaikum." Pamitku dan segera beranjak setelah mereka menjawab salamku.

Aku pun bergegas menuju kasir dan membayar semua makanan.

Hampir 15 menit aku sendirian di dalam mobil, dan tak lama mereka pun datang.

"Makasih kata mas Ilham dan teman-temannya," ucap Nadin begitu memasuki mobil.

Aku pun hanya mengangguk mengerti. Tadi memang aku membayar makanannya karena kasir bertanya apakah sekalian dengan mereka, yaudah aku bayar aja semuanya.

"Langsung pulang kan?" tanyaku setelah kami keluar dari halaman masjid.

"Iya pulang aja," ucap Nadin.

"Oh ya Al, gimana rasanya bertemu kembali dengan kang Arnav?" tanya Nadin.

Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, "Biasa aja sih Nad. Lagian kami juga kan belum membahas apa-apa lagi," ujarku.

Nadin tampak mengangguk angguk kan kepala.

"Emangnya yang tadi itu siapanya Teh Al?" tanya teh Oca dari jok belakang.

"Calon suaminya," jawab Nadin sambil tertawa.

Aku pun hanya mendengus kesal. "Bukan siapa-siapa Teh." ucapku.

Aku pun kembali fokus pada jalanan di depanku dan sedikit memikirkan kang Arnav. Aku tersenyum sesekali membayangkan betapa lucunya kami yang terlihat sangat asing.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top