16 - Ketika nyaman hanya sekedar nyaman


Sudah tujuh bulan sejak acara lamaran itu. Terkadang aku tidak percaya bahwa sudah ada seseorang yang mengikatku, kecuali ketika melihat cincin dengan berlian kecil di tengahnya yang melingkar di jari manisku.

Seperti kesepakatan dulu, aku dan Ikhsan tidak saling berkomunikasi. Walaupun nyatanya terkadang untuk beberapa hal dia suka menghubungiku. Tapi aku mengerti, mungkin ini sebagian proses untuk kami saling mengenal.

Perasaanku pada Ikhsan sekarang? Aku nyaman dengan dia. Walaupun usia kami sama tapi dia mampu menjadi pria yang dewasa. Tapi perasaan ini cukup berhenti di kata nyaman. Aku tidak mempunyai perasaan apa-apa lagi, atau mungkin belum.

Hari-hariku disini seperti biasa saja, pergi kuliah, pulang, dan istirahat. Aku terkadang jalan-jalan saat weekend untuk menjelajahi negeri ginseng ini. Aku pun disini mempunyai beberapa teman yang asli orang Korea dan beberapa yang dari Indonesia. Kami sering berkumpul ketika pulang kuliah atau bersama-sama liburan di akhir pekan.

Dua bulan lagi Nadin akan menikah, dan aku sangat bersedih karena tidak bisa menghadiri pernikahnnya. Walaupun Nadin mengatakan tidak apa-apa tapi tetap saja perasaan sedih itu menyelimuti ku. Nadin akan menikah dengan Kang Dian. Lucu bukan? Perihal jodoh memang sangat misteri.

Aku menarik napas panjang dan memejamkan mata. Malam sudah mulai larut dan aku harus segera tertidur sebelum banyak sekali pikiran yang datang.

***

Seoul, Maret 2023

Seoul Central Mosque, salah satu masjid di Seoul Korea Selatan. Kupandang sejenak bangunan itu sebelum akhirnya kulangkahkan kaki untuk masuk sambil mengeratkan mantel yang ku pakai. Hawa dingin yang menusuk membuat langkahku kian cepat.

Setelah berwudhu dan memakai mukena dengan segera aku merapatkan shaf bersiap untuk melaksanakan shalat berjamaah Isya. Memang tak banyak yang ikut berjamaah tapi aku merasa bahagia tiap kali menginjakkan kaki ke masjid ini.

Suara iqomah membuatku membeku. Bukannya mengapa, tapi suara ini begitu familiar di telingaku. Aku pun menepis semua pemikiran aneh dan terseyum sendiri mengingat betapa bodohnya diriku menyangka bahwa itu suara dia.

Selesai shalat jamaah aku langsung beranjak dan bersiap untuk mengisi perutku yang dari sore sama sekali belum kuisi.

"Assalamu'alaikum." Salam dari seseorang membuatku berhenti mengikat tali sepatuku.

"Wa—alaikumsalam," jawabku sedikit bergetar dan menoleh ke arah sumber suara.

Dia tersenyum lembut seperti biasanya dan aku hanya tercenung menatap dia dengan kaku.

"Alhamdulillah bisa bertemu orang yang saya kenal disini," ucapnya dan duduk di sebelahku walau cukup jauh.

Aku kembali melanjutkan aktivitas ku menyelesaikan ikatan tali sepatu ini dan mencoba mencerna semuanya. Kenapa dia ada disini?

"Bagaimana kabarnya Alma?" tanya dia. Nama itu, pangilan yang sudah lama sekali tidak aku dengar.

"Alhamdulillah baik Kang. Kang Arnav sendiri gimana kabarnya? Kok bisa ada disini?" cecarku dengan pertanyaan.

"Alhamdulillah saya pun baik. Kebetulan perusahaan mengadakan liburan untuk beberapa karyawan sebagai reward karena kami mendapatkan keuntungan yang sangat besar," jawabnya sambil terkekeh.

"Teman-temannya mana?" tanyaku sambil menatap ke sekeliling karena yang aku tahu dia sendiri dari tadi.

"Teman saya mungkin sedang beristirahat di hotel. Dan kebetulan hotel tidak jauh dari sini, makannya saya kesini dahulu," ucapnya.

"Kang, Alma mau makan. Mau ikut?" tawarku.

"Boleh," ucap dia dan memakai sepatunya.

Kami berjalan beriringan menuju salah satu restaurant halal yang tidak jauh dari masjid.

"Sudah berapa hari disini Kang?" tanyaku sambil menunggu makanan kami datang.

"Tiga hari. Dan dua hari lagi kami pulang," jawabnya, dan aku hanya mengangguk.

"Senang sekali rasanya bisa bertemu kamu disini," ucapnya dan sukses membuat jantungku bergetar.

Aku tertawa dengan sedikit canggung mencoba mencairkan suasana. Kenapa dia harus berbicara seperti itu?

"Istrinya gak dibawa?" tanyaku dan itu sukses membuat ekspresinya berubah seketika.

"Istri?" dia bertanya balik dan tertawa renyah.

Tawa itu, yang begitu aku rindukan. Kini dia di depanku. Apa yang harus aku lakukan?

"Saya belum menikah Alma," ucapnya dan entah kenapa rasanya ada perasaan lega. Namun kelegaan itu tak berlangsung lama saat aku memandang jari manisku yang terlingkar cincin disana.

Aku mengangkat kepalaku dan menatap kang Arnav. Rupanya dia tengah melihat ke arah cincin itu juga. Dan dengan refleks aku menarik tangan dari atas meja.

Dia berdehem dan menatap keluar jendela karena kami berada di meja yang paling ujung dan berbatasan langsung dengan jendela luar.

"Kamu betah disini Alma?" tanya kang Arnav dengan mata yang masih fokus keluar jendela.

"Alhamdulillah," jawabku singkat dan ikut menatap keluar.

"Saya pikir akan bertemu kamu di pernikahan Nadin," ucapnya lagi dan sukses membuatku geer, bukankah itu artinya bahwa dia memang berharap untuk bertemu denganku lagi?

"Alma juga sangat sedih ketika itu tidak bisa datang di pernikahannya. Alma sangat tidak menyangka bahwa Nadin akan menikah dengan kang Dian. Takdir memang sebecanda itu bukan?" ucapku sambil terkekeh.

"Bukan takdir yang becanda, tapi manusia nya saja yang senang becanda. Manusia sangat senang menerka nerka takdir. Dan ketika tidak sesuai prediksinya, mereka mengatakan bahwa takdirnya yang becanda. Padahal punya kuasa apa manusia terhadap takdir?" ucap kang Arnav.

Aku mengalihkan perhatianku dan menatapnya yang ternyata dia pun tengah memandang ke arahku. Syukurlah keadaan itu tidak berlangsung lama karena makanan telah tersaji di depan kami.

Kami pun makan dalam diam dan berkutat dengan pemikiran masing-masing.

"Kamu yakin tempat tinggalmu tidak jauh dari sini?" tanya kang Arnav sambil melirik arlojinya dan terlihat khawatir.

"Iya kang tenang aja. Alma bisa pulang sendiri," ucapku. Lagipula jam sembilan malam itu belum terlalu malam disini. Aku sering pulang hampir tengah malam.

"Baiklah hati-hati Alma dan jangan lupa kabari saya ketika sudah sampai di apartement," ucapnya. Ya tadi kami memang bertukar nomor dan mengapa dia menghilang selama ini karena ponselnya hilang dan dia tidak tahu nomorku.

"Siap Kang. Hati-hati juga pulangnya jangan nyasar," ucapku sambil terkekeh. Hotelnya memang tidak jauh, cukup berjalan kaki saja.

"Semoga kita bisa bertemu lagi ya. Saya benar-benar senang melihat kamu disini," ucapnya lagi, matanya melirik ke arah jariku dan dia menghela napas sejenak.

"Baiklah Alma, sampai jumpa. Assalamu'alaikum," salamnya.

"Waalaikumsalam warrohmatullah," jawabku dan segera menaiki taksi yang memang sudah aku pesan.

***

Malam ini aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pertemuan singkat tadi sukses membuat pertahanan yang telah aku bangun bertahun-tahun hancur dalam sekejap. Dan perlakuannya tadi sukses membuat jantungku kembali berdebar, sensasi lama yang tidak aku rasakan. Tatapan nya tadi ketika melihat cincin ini sukses membuatku kembali bimbang atas keputusan yang telah aku ambil.

Rasanya aku ingin memaki diri sendiri yang begitu penuh kembimbangan ini. Pradugaku dulu membuatku berada di titik ini. Kenapa aku terkecoh hanya karena status sederhana dulu, "Bismillah.. Semoga Allah ridhoi jalan ini. Semoga segala hal nya dipermudah."

Aku menepuk pelan pipiku dan berusaha membuat diriku kembali sadar. Sadarlah! takdir tidak pernah salah alamat.

Di situasi ini pikiranku benar-benar kacau. Aku tak ingin ada satu pun hati yang tersakiti olehku. Tapi bukankah hidup memang selalu seperti itu? Kita tidak bisa menyenangkan semua orang.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top