15 - Jalan Lain
Dua tahun kemudian..
Aku menginjakkan kaki kembali di kota kelahiran ku. Saat ini sedang libur musim panas di Korea dan Papa menyuruhku untuk pulang dulu ke Indonesia.
"Al..." Pekik Nadin ketika aku baru turun dari mobil.
Dia berlari menuju ke arahku dan kami berpelukan layaknya teletubies.
"Ya ampun aku kangen banget sama kamu. Makin glowing aja ya," ucap Nadin sambil terkekeh dan melepaskan pelukan kami.
"Aku juga kangen sama kamu. maafkan daku adinda karena tidak bisa menghadiri wisuda dirimu," ucapku sambil tertawa geli. Ya setahun yang lalu Nadin memang sudah wisuda sarjana dan sekarang dia benar-benar fokus mengurus usaha kami.
"Ma, Pa apa kabar? Al kangen banget," ucapku pada Mama dan Papa dan memeluk mereka bergantian. Sebenarnya mama dan papa sudah beberapa kali menjenguk aku ke negeri ginseng.
"Alhamdulillah sehat. Ayo masuk kamu pasti capek," ucap mama. Kami pun akhirnya masuk ke dalam rumah.
"Kamu istirahat aja dulu Al. Nanti makan malam turun lagi kesini ya." Perintah mama. Aku pun menyetujui dan melangkahkan kaki ke kamar bersama Nadin.
Kamar yang sudah aku tingalkan dua tahun ini masih sama. Aku membuka lemari pakaian ku dan melihat beberapa gamis baru yang masih tebungkus rapi.
"Itu setiap kita launching produk baru aku selalu menyimpan satu dress untuk kamu," ucap Nadin yang kini tengah duduk di kursi dekat jendela kamar ku.
"Wah ibu CEO kita begitu perhatian," ucapku sambil terkekeh. Memang sejak setahun yang lalu aku menyerahkan semua wewenang kepada Nadin dan aku sekarang hanya sebagai pemilik 45% saham di butik dan sisanya milik Nadin. Nadin bahkan telah melebarkan usahanya bukan hanya di bidang fashion saja.
Aku memeriksa isi lemariku dan tanganku berhenti bergerak di sebuah gamis yang dulu aku pakai saat pertama kali bertemu dengan Kang Arnav.
"Kamu tahu kabar kang Arnav?" tanyaku dan menutup pintu lemari.
"Sejak dia tidak aktif lagi di organisasi aku tidak tahu kabarnya. Dia mengganti nomor ponselnya sepertinya," ucap Nadin.
"Kamu masih belum bisa melupakannya? Ini sudah dua tahun loh," lanjut Nadin.
Aku hanya menghela napas. Aku memang tidak berniat melupakannya karena itu bukan tujuan awalku. Tapi ketika mengingat mungkin saja bukan dia telah memiliki wanita disisinya membuatku mati-matian ingin melupakannya. Namun pada akhirnya hasilnya selalu saja sama, dia tidak pernah bisa pergi dari ingatanku.
"Keadaanmu sendiri bagaimana? Masih sering teringat mas Ilham?" tanyaku pada Nadin.
Setahun yang lalu memang mas Ilham telah menikah dengan salah satu teman Nadin juga di organisasi. Jodoh memang tidak ada yang tahu bukan? Aku masih ingat ketika Nadin menceritakan itu, ia menangis sampai berhari hari.
"Mohon maaf nona Almeira kenapa mengganti topik pembicaraan?" ucapnya dengan mendelik.
Aku tersenyum geli dan berkata, "Iya iya sorry, by the way aku tidur dulu ya capek banget sumpah," ucapku dan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 14.00
"Silahkan nyonya dan hamba pamit ke kantor lagi ya. Besok kamu harus kesana!" ucap Nadin.
"Baiklah kakanda. Hati-hati di jalan," ucapku dan menatap Nadin yang berjalan menuju pintu.
Bandung dan segala kenangannya membuatku kembali terkenang pada dia yang namanya masih bercokol di dalam hati. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk melupakannya tapi tak ada satupun yang berhasil. Bagaimana jika orang yang kurindukan itu ternyata sudah menjadi milik orang lain? Aku mengusap wajahku kasar dan berkali-kali beristigfar. Tidak boleh seperti ini, aku harus lebih tegas pada diriku.
***
Makan malam saat ini terasa aneh, entah perasaan ku saja atau bukan tapi orang tua ku terlihat kikuk. Aku menepis semua pemikiran aneh itu dan mungkin saja bukan ini karena aku telah lama tidak makan bersama mereka.
"Kamu kenal Ikhsan?" tanya Papa tiba-tiba dan membuatku menghentikan sejenak aktivitas makan ku.
"Ikhsan? Teman SMA ku?" tanyaku kembali pada papa untuk memastikan.
"Iya. Dia yang anaknya pak Ridwan," jawab papa.
"Kenapa gitu Pa?" tanyaku dan melanjutkan makan.
"Kemarin Papa ketemu dia dan juga pak Ridwan. Dia menyampaikan niat baik untuk melamar kamu," ucapan papa sukses membuatku tersedak.
Melamar? Maksudnya apa ini?
"Papa gak maksa kamu untuk menerima nya, tapi coba kamu pikir saja banyak pertimbangan baik jika bersama dia. Kamu tahu bukan Papa telah bersahabat lama dengan Ridwan dan Ikhsan juga anak yang baik," lanjut papa.
Aku mencoba mencerna segala ucapan papa. Iya betul Ikhsan anak yang baik, dia dulu ketua osis di SMA dan keluar SMA dengan nilai tertinggi. Sekarang yang aku tahu dia menjadi general manager di perusahaan ayahnya. Tapi, melamar? Dia ingin menikah denganku?
"Aku masih kuliah Pa." Akhirnya hanya kata itu yang terlontar dari mulutku.
"Ikhsan bilang jika kamu menerimanya dia akan menunggu sampai pendidikan kamu selesai. Oh ya Al keluarga mereka akan kesini dua hari lagi. Kamu berhak menjawab apapun. jangan merasa terbebani," ucap Papa.
Aku membelalakan mata tak percaya. Jadi ini alasan papa menyuruhku pulang? Aku memandang papa. Aku benci tatapan itu, tatapan papa yang penuh harap dan aku tak kuasa untuk sekadar menolak. Aku hanya menghela napas dan melanjutkan makan walaupun sudah tak berselera.
***
Aku memandang pria yang tengah duduk di depanku. Dia masih tampan, seperti dulu. Pandangannya yang menyejukkan entah mengapa membuatku gugup.
"Jadi Al bagaimana jawaban kamu?" ucapan papa membuyarkan lamunanku. Aku mencoba menguatkan hati dan mungkin memang ini takdir yang Allah gariskan untukku.
"Insya Allah Al menerimanya. Namun dengan syarat kita akan menunda pernikahan sampai Al menyelesaikan kuliah dan selama jangka itu Al tidak mau ada komunikasi kecuali untuk hal-hal yang benar-benar penting," ucapku mantap. Ya mungkin ini jalan yang Allah berikan. Lagipula untuk apa hatiku terus mengharapkan seseorang yang mungkin saja sudah bersama orang lain?
Aku melirik sejenak ke para orang tua yang sepertinya terkejut dengan persyaratan yang aku ajukan. Namun suara pria di depanku membuatku menoleh ke arahnya.
"Saya siap menyetujui semua persyaratan itu." Ikhsan mengatakan itu dengan suara yang lembut. Aku segera beristigfar dalam hati ketika malah teringat kang Arnav.
Ketika para orang tua menuju ke ruang makan, aku dan Ikhsan masih berada di ruang depan.
"Kamu kenapa ingin menikah denganku?" tanyaku padanya.
"Aku mengagumi mu dari SMA. Namun saat itu aku tak ada keberanian sedikitpun untuk mendekatimu," jawab Ikhsan yang membuatku menggelengkan kepala tak percaya.
"Mungkin ini memang jalan takdir Nya. Aku bersyukur ketika menanyakan pada papa bahwa kamu ternyata belum menikah," lanjutnya tersenyum senang dan hanya kubalas dengan senyum kecil.
Saat SMA kami memang tidak terlalu akrab, kami beda kelas dan beda organisasi. Kami hanya saling mengenal karena beberapa kali bertemu di acara yang mana orang tua kami ada.
"Kamu kuliah berapa lama lagi Al?" tanya Ikhsan
"Satu setengah tahun lagi. Kamu gak ngebet kan?" tanyaku sambil tertawa ringan.
Dia ikut tertawa dan menjawab, "Dari SMA aja aku sabar buat bisa bersama kamu apalagi hanya satu setengah tahun."
"Kita ke ruang makan aja yuk," ajakku dan berdiri dari duduk.
Ikhsan ikut berdiri dan bersamaku menuju ruang makan.
---
"Serius kamu terima Al?" tanya Nadin tak percaya.
Aku menyesap teh yang Nadin sajikan. Sekarang aku berada di ruangan Nadin. Rumah yang dulu kami jadikan kantor telah disulap menjadi beberapa ruangan untuk Nadin dan staff.
"Aku bisa apa saat papa begitu berharap?" jawabku.
"Gak Al. Kamu gak bisa nerima begitu aja hanya karena papa kamu. Ingat ini tuh untuk masa depan kamu," ujar Nadin.
"I know, dan aku merasa tidak ada salahnya untuk menerima. Pilihan orang tua tidak mungkin buruk bukan? Dan aku tahu Ikhsan pria yang baik. Dia bisa membawaku pada jalan yang baik juga," ucapku.
"Kamu gak jadiin ini sebagai upaya kamu untuk melupakan kang Arnav bukan?" tanya Nadin yang sukses membuatku kehilangan kata-kata.
"Kamu bilang Ikhsan pria yang baik. Dan kamu gak bisa menjadi sejahat itu untuk menjadikan dia alasan kamu agar bisa melupakan kang Arnav," lanjut Nadin.
"Nadin aku memang belum sepenuhnya melupakan kang Arnav. Tapi apa salahnya dengan aku menerima Ikhsan dan berusaha melupakan dia. Mungkin saja bukan Allah menghadirkan Ikhsan agar aku bisa mencintai dia karena Nya? Agar aku bisa sepenuhnya melupakan masa lalu ku dan menjalani hidup untuk masa depanku," ucapku dengan mata yang sudah tak bisa membendung air mata.
Aku tahu pertemuan itu tak salah. Aku tahu takdir Allah itu yang terbaik. Tapi jika boleh memilih, aku akan lebih memilih untuk tak pernah bertemu dia jika melupakannya akan sesulit ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top