11 - Ice Cream
"Teh katanya mau pake baju warna maroon kok jadinya hitam?" tanya Rima saat aku telah keluar dari kamar.
"Gak papa Rim, biar gak mencolok saja," ucapku tertawa.
"Kamu udah siap?" tanyaku pada Rima.
"Udah. Kalau mau berangkat ayo sekarang aja," jawab Rima.
Akhirnya kami pun berangkat menuju salah satu masjid. Saat ini penghujung tahun 2019 dan kami akan mengikuti acara mabit (malam bina iman&takwa) di salah satu masjid yang mana panitia penyelenggaranya salah satunya adalah Nadin.
Kami berangkat dengan mengendarai motor dan tentu saja aku dibonceng.
"Teh kok gerimis ya," ucap Rima ketika kami berhenti di lampu merah.
"Iya Rim. Gak papa lah terusin aja," ucapku walau dalam hati sedikit menyesal karena tidak membawa mobil saja.
Aku melihat jam di tanganku sudah menunjukan pukul 18.40 berarti perjalanan ke sini hanya 15 menit.
"Bentar ya aku hubungi Nadin dulu," ucapku pada Rima.
Kami memang berhenti sebelum masjid dan hendak menghubungi Nadin yang dari sore sudah berada disana.
Aku merutuki kebiasaan Nadin yang sulit dihubungi jika sedang dibutuhkan seperti saat ini.
Dalam keremangan cahaya aku melihat satu sosok yang tampak belakang sepertinya aku mengenali.
"Rim maju aja deh coba kesana ke gerbang masjidnya," ucapku pada Rima.
"Siap Teh," ucap Rima dan langsung melajukan motornya.
"Assalamu'alaikum." Salamku begitu motor terhenti tepat di depan gerbang.
"Wa'alaikumsalam warrohmatullah," ucap kang Arnav berbarengan dengan satu pemuda lainnya yang tidak aku kenal.
"Maaf mau tanya kalau parkirannya di dalam atau dimana ya?" tanyaku.
"Oh tempat parkirnya dibawah Teh," jawab pemuda itu sambil menunjukkan dengan tangannya.
Aku mengikuti arah tunjuknya dan melihat oh memang ada tempat parkir walaupun agak gelap.
"Yaudah Teteh tunggu aja disini. Biar Rima kesana," tawar Rima.
"Gak papa Rim?" tanyaku.
"Iya gak papa," jawabnya.
Aku pun turun dari motor dan berdiri kikuk dengan kang Arnav yang ada beberapa langkah di depanku.
"Kang sebentar saya ke dalam dulu dipanggil mas Ilham," ucap pemuda itu sambil menunjukkan sesuatu di ponselnya.
Setelah pemuda itu pergi hanya keheningan di antara kami. Tempat parkir memang cukup jauh jadi wajar kalau Rima tidak lekas kembali.
"Saya sempat tidak mengenali kalau itu kamu Alma," ucap kang Arnav tiba-tiba.
Aku mencerna ucapannya dan baru mengerti kalau aku memang saat ini memakai niqob.
"Masa sih kang. Dari mata juga kan kelihatan," ucapku tersenyum walaupun aku yakin kang Arnav tak akan mengetahuinya karena pandangannya ke depan sana.
"Ini kedua kalinya saya melihat kamu memakai niqob," ujarnya.
"Nadin kemana ya Kang? Dia tak angkat telponnya," ucapku mengalihkan pembicaraan.
"Dia kayanya lagi di pendaftaran jadi wajar kalau gak lihat telpon," jawabnya dan aku hanya mengangguk mengerti.
"Oh ya Alma. Ada rencana gak mau pakai niqob itu seterusnya?" tanya kang Arnav.
"Ada. Nanti kalau udah menikah," jawabku.
"Kenapa gak dimulai dari sekarang?" tanyanya kembali.
"Alma juga mau seperti itu. Tapi Alma kan rencana mau kuliah lagi dan disana akan cukup aneh kalau Alma memakai niqob." Jawabku.
"Memangnya kamu kuliah dimana?" pertanyaan kang Arnav membuatku tertegun. Apakah aku harus mengatakannya sekarang?
"Nadin!" panggilku saat melihat sosok Nadin di halaman masjid.
Nadin menengok ke arahku dan tersenyum kemudian ia mendekat. Syukurlah aku bisa menghindari pertanyaan tadi.
"Eh udah datang," ucap Nadin setelah ia berdiri di depanku.
Aku hanya memutar bola mata malas karena dari tadi ia tak mengangkat telpon.
"Rima mana?" tanya Nadin.
"Tuh." tunjukku pada Rima yang tengah berjalan menuju ke arah kami.
"Kamu kehujanan Al?" tanya Nadin setelah memperhatikan bahwa khimar ku sedikit basah.
"Iya. Tadi gerimis," jawabku pendek.
"Bawa jaket?" tanya Nadin.
"Enggak," jawabku sambil tersenyum yang membuat kedua mataku menyipit.
"Kamu tuh kebiasaan. Yaudah nanti pakai jaket aku aja. Ntar kamu masuk angin lagi." Omel Nadin yang hanya kubalas dengan senyuman.
"Udah Ma?" tanyaku pada Rima yang telah berdiri di sebelahku.
"Udah Teh. Tadi cukup sulit parkirnya karena cukup penuh," jawabnya.
"Yaudah kalau gitu ayo kita simpan barang-barang kalian di ruangan sebelah, terus ke masjid. Bentar lagi Isya." Ajak Nadin sambil mengamit lenganku.
"Kang kami permisi ya," Nadin berkata kembali.
"Iya silahkan," ucap kang Arnav. Sejenak mata kami bertemu dan aku langsung memutuskan kontak mata itu.
Aku pun berjalan beriringan dengan Nadin dan Rima.
"Tas aku simpan dimana dong? Ini udah penuh," ucapku pada Nadin ketika melihat sekeliling telah tersimpan tas orang lain.
Ruangan yang dimaksud Nadin adalah sebuah madrasah kecil di samping masjid yang kata Nadin akan dipakai untuk tidur.
"Simpan aja diatas tas aku," ucap Nadin dan menunjukkan letak tas nya.
"Nad hampir aja aku tadi mau pake baju warna maroon," ucapku pada Nadin saat menunggu Rima yang ke toilet dulu.
"Wah? Bakalan sama dong sama kang Arnav," ucapnya terkikik. Aku pun ikut terkekeh mendengarnya.
"Untung aja aku pakai warna ini," ucapku.
"Padahal gak papa kali-kali sama," ujar Nadin. Aku memukul pelan lengannya dan tertawa bersama.
***
Kegiatan demi kegiatan telah dilaksanakan. Dan sekarang saatnya istirahat sebelum nanti kita melaksakan qiyaumul lail.
Aku bersama Rima dan Nadin memilih untuk beristirahat di masjid karena di madrasah sudah cukup penuh. Kulirik jam di tanganku sudah pukul setengah sebelas malam.
Sebuah notifikasi masuk di ponselku dan ternyata pesan dari Arya.
Arya : Teh aku udah di depan gerbang masjid. Sini bentar.
Me : Ada apa?
Arya : Ngasih sesuatu buat teteh.
Me : ok tunggu.
"Aku ke depan bentar." Pamitku pada mereka berdua.
"Kemana?" tanya Nadin.
"Ada si Arya katanya mau ngasih sesuatu ke aku," jawabku.
"Oh oke," jawab Nadin dan kembali fokus pada ponselnya.
Suasana diluar cukup sepi, aku pun melangkah kan kaki menuju gerbang masjid.
"Arya apaan?" tanyaku dari dalam karena pagar sudah terkunci.
"Nih buat Teteh," ucapnya sambil menyerahkan sebuah plastik ke sela-sela pagar.
Aku menerima plastik yang ternyata berisi ice cream. Aku menunjukkan ekspresi bertanya padanya.
"Kebetulan tadi aku lewat sini dan tahu kalau Teteh lagi disini. Makannya aku beli aja ice cream. Teteh kan biasa makan yang dingin-dingin di malam hari," ujarnya panjang lebar.
"Makasih ya," ucapku sambil tersenyum walaupun Arya tidak bisa melihat ekspresi ku.
"Sama-sama Teh. Aku pamit kalau gitu," ucapnya.
"Hati-hati Arya," ucapku.
Setelah Arya pergi aku pun berbalik dan berjalan menuju masjid kembali. Namun sosok di depan sana membuatku memelankan langkah berharap dia segera pergi.
Entah sengaja atau tidak dia malah tetap berdiri di dekat pohon kurma yang ada di halaman masjid hingga akhirnya aku berada cukup dekat dengannya.
"Darimana?" tanya kang Arnav.
"Ada yang ngasih aku ini," jawabku sambil mengacungkan plastik yang kupegang.
"Dari siapa?" tanya dia kembali.
Ini perasaanku saja atau apa ya, kok dia seperti sedang mengintrogasiku.
"Dari salah satu karyawan aku," ucapku.
Dia mengangguk mengerti.
"Kang Arnav lagi ngapain disini?" tanyaku.
"Saya sedang melaksanakan tugas untuk keliling melihat situasi," jawabnya.
"Gak baik makan yang dingin-dingin tengah malam," ucapnya kemudian.
"Udah kebiasaan," jawabku terkekeh.
"Saya permisi masuk dulu ke dalam ya Kang," lanjutku tak mau berlama-lama dengannya.
"Iya silahkan." jawabnya.
Aku pun pergi meninggalkan dia yang masih berdiri disana.
"Apaan itu?" tanya Nadin begitu aku sudah duduk di sebelahnya.
"Ice cream dari Arya," jawabku sambil menyimpan plastik di hadapannya.
Nadin pun segera mengambil dua ice cream dan menyerahkan salah satunya ke Rima.
"Kok gak di makan?" tanya Nadin begitu menyadari aku tidak menyentuh ice cream itu sama sekali dan malah terbengong-bengong.
"Katanya gak baik makan yang dingin-dingin tengah malam," ucapku.
"Kata siapa? Arya? Wah jahat tuh anak ngasih ini tapi ceramah kaya gitu." Gerutu Nadin.
"Kata kang Arnav," jawabku dan sukses membuat Nadin terbatuk.
"Kamu kapan ketemu dia?" tanyanya setelah batuknya agak mereda.
"Barusan," ucapku dengan tangan yang tergerak mengambil satu ice cream.
"Katanya gak baik, kok dimakan?" tanya Nadin.
"Sayang ice cream nya. Untuk kali ini aja," ucapku sambil terkekeh dan hanya dibalas Nadin dengan dengusan. Rima pun hanya tertawa kecil melihat kami.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top