10 - Hadiah ulang tahun
Kang Arnav : Bismillah..
Alma boleh saya minta bantuannya?
Aku membaca pesan yang dikirimkan kang Arnav 10 menit yang lalu.
Me : Bantuan apa kang?
Kang Arnav : Adik saya ulang tahun tiga hari lagi.
Rencananya saya mau beli satu set dress dan khimar dari kamu.
Me : oh ok
Alma minta ukurannya aja kang.
Kang Arnav : Dia suka pake ukuran M.
Me : mau warna apa?
Kang Arnav : Terserah kamu aja deh, hehe
Me : Yakin?
Kang Arnav : Iya saya yakin.
Me : Yakin apanya nih?
Kang Arnav : Yakin kamu yang pilihin warnanya.
Emangnya apa dih?
Me : Gpp, iya maksudnya itu. Wkwk
Nanti alma kabarin lagi deh kalau udah. Perlu dibingkis nih?
Kang Arnav : Kalau saya minta bantuan lagi kaya gitu boleh?
Me : Akan saya laksanakan baginda.
Kang Arnav : Ada-ada aja kamu.
Makasih ya.
Me : Kalau gak ada mah atuh gak bakalan kenal sama kang Arnav.
Iya sama-sama.
Kang Arnav : Lagi dimana sekarang?
Me : Di rumah kedua.
Kang Arnav : tempat kerja?
Me : Iya. Kenapa? Mau nyamperin? Wkwk
Kang Arnav : Nanya doang.
Emang boleh kalau saya nyamperin kamu?
Me : Boleh, asal membawa seperangkat alat sholat dibayar tunai.
Kang Arnav : Mau ngapain? Sholat berjamaah?
Me : Iya. Kamu imam, aku makmum.
Kang Arnav : Wahh udah mulai ambigu nih pembahasannya.
Yaudah sok atuh kalau lagi kerja.
Me : oke.
Aku tersenyum melihat percakapan kami.
"Teh aku mau lihat stok baju dong," ucapku pada teh Oca.
"Ini Teh," ucap teh oca sambil menyerahkan kertas berisi informasi barang yang tersedia.
"Aku mau yang rembulan series ukuran M warna dark plum ya, satu set teh," pintaku.
"Buat siapa Teh?" tanya teh Oca.
"Ini ada yang mau beli ke teteh. Ntar uangnya teteh transfer ke rekening kita," ucapku.
Aku memang tidak berniat untuk meminta bayar ke kang Arnav. Hitung-hitung hadiah untuk adik ipar. Eh?
"Ini Teh," ucap teh Oca menyerahkan gamis yang terbungkus plastik setelah kembali dari gudang penyimpanan.
"Makasih ya Teh," ucapku sambil bergerak mengambil tas hendak keluar rumah.
"Kemana Teh?" tanya Rima.
"Mau beli sesuatu," ucapku sambil terkekeh. Padahal aku hendak ke heartbreak untuk membingkis pakaian ini.
***
Aku duduk di bangku taman yang keadaan sore ini cukup ramai. Kulirik jam di tanganku dan sudah lebih 20 menit dari yang dijanjikan. Tak ada satu pun notifikasi di ponselku yang menandakan bahwa dia ada menghubungi.
"Maaf saya terlambat," ucap seseorang yang membuatku menengok ke samping.
"Gak papa, aku juga belum lama," ucapku tersenyum dan memberikan jarak agar dia bisa duduk.
"Ini," ucapku sambil menyerahkan bingkisan yang dari tadi kupegang.
"Cantik." Pujinya yang tentu saja untuk bingkisannya.
"Jadi semuanya berapa?" tanya kang Arnav.
"Gak usah," jawabku.
"Jangan membuat saya tak enak Alma. Ayo sebutkan saja berapa," ucapnya
Aku tersenyum kecil dan berkata, "Serius gak usah. Anggap saja itu hadiah dari aku."
"Alma jangan buat saya jadi gak mau minta bantuan ke kamu lagi," ucapnya serius.
"Oke saya akan chat admin kamu aja," lanjutnya saat aku tak kunjung bersuara.
"Eh jangan. Yaudah nanti aku kirim nomor rekening sama harganya," ucapku akhirnya.
"Nah gitu dong. Makasih banyak ya Alma," ujarnya.
"Udah jangan terus-terusan bilang makasih. Malah aku yang gak enaknya," ucapku terkekeh pelan.
Dia pun ikut terkekeh. Sejenak hanya keheningan yang menyelimuti kami. Kami fokus dengan pikiran masing-masing hingga suaranya memecahkan keheningan.
"Kamu tahu ada apa dengan Nadin dan mas Ilham?" tanyanya.
"Memangnya ada apa?" aku balik bertanya.
"Aku pikir kamu tahu sesuatu antara mereka. Gak ada apa-apa sih, hanya saja kalau aku perhatikan sepertinya mereka memendam sesuatu," ungkapnya.
"Nadin gak pernah cerita apa-apa padaku," Bukannya aku berbohong, hanya saja ketika Nadin curhat padaku berarti tidak ada hak ku untuk menceritakan kembali pada orang lain.
"Mas Ilham sebenarnya sudah dekat dengan orang lain. Dia sudah nadzor dan tinggal khitbah saja kalau mereka mau melanjutkan." Tutur kang Arnav yang membuatku langsung menengokkan kepala ke arahnya.
"Nadin tahu itu. Karena hampir semua anak-anak organisasi mengetahuinya," lanjut kang Arnav seperti mengerti isi pikiranku.
"Tapi sepertinya mas Ilham ragu untuk melangkah ke arah selanjutnya," ujarnya kembali.
"Aku boleh tanya gak?" tanyaku ragu.
"Tanya apa?" tanya dia.
"Dulu ketika kang Arnav memutuskan untuk tidak melanjutkan dengan seseorang. Alma boleh tahu alasannya?" tanyaku hati-hati.
Dia terdiam sejenak seperti sedang memikirkan kata-kata. Pandangannya lurus ke depan. Apa sesulit itu untuk menjawab?
"Kalau gak mau dijawab juga gak papa," ucapku setelah merasa kalau dia tak akan menjawab.
"Sebenarnya saya tidak mau menceritakan ini. Tapi supaya tidak ada yang mengganjal di hati kamu, baiklah akan saya jelaskan. Dia itu perempuan yang baik pada awal kami bertemu, saya sempat terkagum dengan keshalihahannya. Saya pun memutuskan untuk berkenalan lebih jauh dengannya. Semakin saya mengenal ternyata kepribadian aslinya cukup berbeda dengan yang selama ini dia tampilkan. Hingga pada akhirnya dengan didampingi ustadz, saya datang ke rumahnya untuk nadzor dan bertemu orang tua nya. Saat nadzor saya melihat rupanya begitu cantik, tapi kecantikan itu membuat saya tambah ragu."
"Insecure?" tanyaku terkekeh untuk mencairkan suasana yang berubah menjadi serius.
Dia tertawa sejenak dan menjawab, "Kalau saya insecure karena rupa, mungkin saat ini saya tak akan duduk di sebelah kamu."
Aku ikut tertawa mendengar ucapannya, dan dalam hati sangat berbunga-bunga. Secara tidak langsung berarti dia bilang aku cantik kan?
"Setelah itu saya memutuskan untuk shalat istikharah. Dan perasaan saya tambah ragu akan dia. Hingga seorang teman tanpa saya minta tiba-tiba datang dan menjelaskan beberapa hal yang membuat keraguan di hati saya meningkat. Pada akhirnya saya pun akhirnya memutuskan untuk mengakhiri semuanya," pungkasnya.
"Apa dia melakukan kesalahan hingga kamu ragu?" tanyaku.
"Mungkin saya tidak akan cukup baik untuk bisa membimbing dia," ucapnya dengan bijak.
Aku pun mengangguk-anggukkan kepala merasa cukup untuk tidak membuat dia bercerita lebih banyak.
"Kalau kamu Alma kenapa memutuskan untuk berkenalan dengan saya?" tanyanya.
Aku menelan ludah susah payah. Bagaimana aku menjawabnya? Tidak mungkin bukan aku menjawab karena kesalahfahaman?
"Kang, ingat malam waktu kita bertemu untuk pertama kalinya?" tanyaku dan dijawab anggukan olehnya.
"Disaat itu saya merasa kang Arnav itu begitu dewasa. Saya membutuhka pria yang bisa membuat saya lebih baik lagi, dan saya rasa saat itu kenapa saya tidak mencoba berkenalan saja dengan kang Arnav. Siapa tahu jodoh bukan?" ujarku dengan senyum.
"Saya cukup kaget loh ketika mas Ilham berbicara pada saya bahwa temannya Nadin ada yang mau berkenalan sama saya. Saya merasa tak percaya," ucapnya.
"Kenapa tak percaya?" tanyaku.
"Ya gak percaya aja." Jawabannya sungguh tak berarti.
"Saya ingin berkenalan lebih jauh dengan keluarga kamu," ucapannya membuatku termenung.
Berkenalan? Dengan keluarga? Apakah hubungan ini memang akan berlanjut dan akan serius? Jujur aku hanya ingin mengenalkan satu pria seumur hidup kepada keluargaku.
"Akan saya pertimbangkan," jawabku diplomatis.
"Oh ya Alma, sudah cukup sore saya pulang sekarang aja. Kamu juga mau pulang sekarang?" tanya dia.
"Iya aku juga pulang sekarang saja," jawabku.
"Yaudah terima kasih sekali lagi ya Alma, saya pamit. Assalamu'alaikum."
"Sama-sama Kang. Wa'alaikumsalam warrohmatullah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top