PIM : Tujuh

Halo ketemu lagi, ada yang nunggu nggak sih cerita ini?

butuh booster semangat biar bisa terus nulis. nggak dmungkiri respons, vote dan komentar kalian akan jadi asupan strum semangat yang nggak ada obat. Wwkwkwk. So, ayo dong bakar semangat lagi di sini. jangan lupa votemantnya ya... tengkyuu

***

"Ajegile, cengap-cengap gue ah pagi ni! Demi lo nih, Rin!" seru Niel jenaka sambil mengibas-ngibas tangan demi mengeringkan keringat di dahinya.

"Cengap-cengap konon! Padahal sempat sarapan sampe kenyang. Ke toilet sampe tiga kali!" cibir Aryan geli.

"Niel ya gitu, kalo kekenyangan waktu sarapan, ke toiletnya bisa tiga kali!" Suara Aisha tergelak.

"Ya, karena itulah cengap-cengap gue!"

"Udah tau gitu, makanya makan secukupnya aja!" Eyrin menimpali dengan mimik skeptis.

"Yakali, sekali-kali ketemu desert ala London, sayang gak dihabisin, Rin! Lo coba, gimana?"

"Nggak nafsu kok gue!"

"Hilih! Cincong! Karena lo baru bangkit dari kubur aja! Gile! Gimana kagetnya coba tuh si Macan?" kata Niel mengingat pertemuan tak terduga Eyrin dan Tiger. Mata Niel melotot hiperbolis ke arah keponakan Utama yang sedang membungkuk sambil menumpukan wajah pada handle koper miliknya. Mereka sekarang sedang menunggu keberangkatan di bandara untuk pulang ke Indonesia. Begitu tahu apa yang terjadi pada Eyrin, dan wanita ini sampai ke hotel dengan selamat, Utama memutuskan untuk mengambil penerbangan pagi ini juga.

"Pasti syok berat dong ketemu lo yang hidup kembali!" timpal Niel lagi. "Lo nggak pasang mimik mendelik horror gitu? Biar disangka lo tuh cuma hantu?"

"Apa-an sih lo Niel!" seru Aisha sengklek. Aryan yang duduk di sebelahnya ikut melotot jenaka. Ia hanya mendengarkan tanpa memberi pendapat. Menurutnya, Eyrin lebih tahu apa yang terbaik untuknya.

"Mas Bokiiir, Suketi bangkit, Mas! Kenapa kau menduakan aku, Mas!" pungkas Niel melengking memperagakan karakter Suzana.

"Brengsek lo!" Eyrin mencebik geram seraya menepuk pundak Niel diikuti tawa sahabat dekat Aisha itu. "Lagian selera Suzana bukan Bokir kali!"

"Terus-terus? Nah tuh lo tau! Emang cocok 'kan? Harusnya Lo akting gitu kemarin, Rin!" Kekehan Niel masih menggema saat tendangan asal dari kaki Eyrin hampir mendarat ke lututnya.

"Ayo-ayo!" Utama tiba dari salah satu gerai dan langsung bergegas begitu panggilan keberangkatan menggema dari penjuru bandara.

Rombongan itu mengikuti langkah Mustika dan Utama dengan gegas. Sementara hati Eyrin sedikit teremas. Sepuluh menit kemudian, mereka sudah duduk di kursi penumpang yang menjaga mereka ketika mengudara. Netra Eyrin menatap jauh keluar jendela pesawat seolah sedang menyapa seseorang di bawah sana. "Selamat tinggal, lagi, Ger."

Sementara itu, di markas Rubic Gengster.

"Bos. Kami berhasil!"

Mendengar seruan itu, Tiger langsung menatap antusias. "Give me!"

Sebuah benda pipih ia terima. "Ponsel ini baru mereka retas untuk bisa membuka akses kuncinya."

Dengan rasa tak sabar, pria berperawakan tinggi itu menekan layar untuk memeriksa isinya. "Datanya masih ada?"

"Masih, Bos."

Netra Tiger berbinar tak sabar seraya mengutak-atik isi Android itu.

"Kalian sudah urus mereka?"

"Sudah, Bos! Mereka ada di bawah sekarang."

"Aku serahkan mereka pada kalian. Have fun!" ujarnya tak bernafsu untuk hal melibas lawan karena tertutup dengan rasa penasaran mengenai isi ponsel milik Eyrin yang berhasil anggota gengnya dapatkan setelah menelusuri jejak satu pria yang kemarin adu laga dan menculik Eyrin sampai tiba-tiba malah ketahuan geng mereka.

Pria itu menuju ke Maps untuk melihat perjalanan ke mana saja Eyrin selama ini. Sambil mengubrak-abrik isinya, matanya memicing sarat arti.

***

Tubuh Eyrin terhempas ke ranjang dengan ringan begitu selesai membersihkan diri. Dari bandara, Utama dan Mustika membawanya ke rumah mereka. Sementara Niel, Aisha dan Aryan pulang dijemput mobil DuMed untuk diantar ke rumah masing-masing. Ingatannya tentang Tiger masih menari-nari dalam bayangan matanya saat terpejam. Namun, ia harus kembali pada dirinya sebelum kembali bertemu pria masa lalunya itu kemarin. Ada yang harus ia perjuangkan sejak dulu hingga sekarang. Karena itu, Eyrin tak boleh lagi berharap, apalagi terlena seperti kemarin.

Kesadaran Eyrin perlahan menurun karena lelah. Bahkan setelah satu jam berlalu pun, ia masih tak sadar saat suara pintu terbuka keras diikuti sedikit guncangan pada ranjangnya.

"Bu!" Seorang bocah laki-laki melompat dan langsung memeluk Eyrin.

Wanita itu terhenyak dan langsung tersadar siapa yang tiba.

"Gal. I miss you so bad!" Suara wanita itu serak seraya mengacak-ngacak rambut bocah yang kini sedang terkekeh menunjukkan gigi taringnya yang sudah tanggal satu. "Kamu dari mana?"

"Main baseball sama anak komplek di lapangan. Nggak tau kalau Ibu sudah pulang. Ibu pulang lebih cepat?"

"Ya, Ibu merindukan kesayanganku ini!"

"Aku percaya." Bocah itu tergelak. "Bu, besok, boleh aku nggak ke sekolah?"

Kening Eyrin otomatis berkerut mendengar permintaan tiba-tibabocah kesayangannya itu. "Why?"

"Ck! Ayo dong kita jalan bareng. Ibu sudah beberapa hari meninggalkanku." Wajah bocah yang hampir genap delapan tahun itu mencebik protes.

"Itu bisa kita lakukan di weekend, Gal."

"Aku mau secepatnya, Bu." Anak itu mencebik manja.

"Hhm. Pasti ada sesuatu yang nggak beres di sekolah. Tell me, any something wrong?"

"Nothing." Bocah itu menggeleng yakin. Namun ekspresi itu tentu saja dapat Eyrin baca mengandung makna berbeda.

"Okay, Ibu tanya Bu Maya aja kalau gitu."

Bibir putra Eyrin mengerucut, bocah itu sudah tahu apa yang akan dilakukan ibunya. Namun ia tak gentar dengan keinginannya. Eyrin sedang menuju Whattaps Grup di ponsel khusus untuk media Nanggala belajar saat putranya itu duduk sambil menimang-nimang bola baseball dengan ekspresi tanpa dosa.

Tak lama, netra Eyrin menatapnya setelah menarik napas. "Ini masalahnya?" Bocah itu tak menjawab apapun selain dengan gesture santai seolah ia adalah bocah tidur yang berada di antara bangau si pengantar bayi.

"Ibu bisa kok, Gal."

"Tapi Gala nggak mau."

"Why? Kamu malu punya orang tua sepertiku?"

"Bukan!" protes bocah berambut cepak itu.

"Ibu, dengan senang hati hadir ke sekolahmu. Kita akan jadi tim solid di family gathering sekolahmu. Lagipula, teman-temanmu juga tak semua ayahnya bisa hadir. Ibu yakin itu. Dengar, Boy. Para Bapak-bapak itu, juga bekerja demi memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Jadi, ya, wajar mereka nggak bisa hadir di saat jam kerja seperti ini."

"Please, Bu. Aku nggak punya nafsu untuk hadir acara itu," rengek putranya yang seketika itu juga membuat hati Eyrin tercubit. Kalimat itu, entah bagaimana menyadarkannya tentang satu hal di masa lalu. "Aku sudah bilang Bu Maya, Ibu lagi nggak di sini."

"Ouh, jadi kau tak senang ibu kembali?"

"Bukaan. Cuma lebih baik kalau Bu Maya nggak tahu Ibu sudah pulang."

Otak Eyrin berpikir sejenak. Ia bisa saja meminta Gentala mendampingi Nanggala di sekolahnya besok. Namun ...

"Ibu nggak usah minta ke Papa Gentala." Eyrin melirik kaget. Bocah ini seolah bisa membaca pikirannya. "Papa Gentala nggak bisa."

"Kamu sudah bilang ke dia?"

"Tadi pagi, dia ke sini."

"Serius? Terus?"

"Papa Gentala yang antar aku ke sekolah."

"Dia tahu agenda sekolahmu?"

"Eu-eum." Nanggala menggeleng. "Tapi kami berbincang kalau dalam beberapa hari ini Papa Gentala punya jadwal padat di rumah sakit. Makanya pagi tadi dia sempetin jemput dan antar aku ke sekolah."

"Artinya, kamu sudah tahu agenda ini sebelum bertemu Papa Gentala?"

Nanggala tak menjawab selain lirikan manja yang selalu membuat hati Eyrin terenyuh.

"Mba, dipanggil Bapak." Ketukan di pintu diikuti suara Mba Santi memotong perbincangan ibu dan anak itu.

"Kita belum sepakat. Nanti kita sambug lagi, okay?" Eyrin bangkit seraya mengelus puncak kepala Gala dan menuju pintu. Bocah itu ikut bangkit dan melangkah di belakang ibunya.

Di ruang keluarga, sudah ada Utama dan Mustika yang sedang minum teh bersama.

"Eyaang!"

"Gal!" Suara dua orang tua itu bersama.

"Halo, Reman! Eyang punya hadiah tuh buat kamu. Coba lihat!" ucap Utama setelah memeluk putra Eyrin itu.

"Oya?" Mata Gala berbinar seraya berlari mengikuti langkah Mba Santi ke ruang belakang, tempat yang dikatakan eyangnya itu.

"Ya, Om?" Tinggal Eyrin yang mengambil duduk di samping Mustika.

"Om mau bicara tentang kemarin." Suara Utama membuka perbincangan. Sungguh, sangat pengertian sekali sosok pemimpin Duta Media Utama sekaligus investor Rumah Sakit Duta Medical Utama ini. Eyrin tahu benar, Utama sengaja tak banyak membahas hal ini kemarin demi memberinya waktu tenang.

"Ya, Om. Eyrin juga nggak bisa nduga akan ketemu dengannya di sana."

"Kamu mbok ya lebih hati-hati. Jangan sembrono kalau apa-apa itu, Rin. Untung selamat, kalau ndak?"

"Iya, Om. Maaf."

"Wes dadi Om mene toh?"

"Hooh, auto. Kan udah di Indonesia," kelakar Eyrin menimpali dengan tawa geli diikuti gelengan Mustika.

"Om, serahkan semua ke kamu, Rin. Pikirkan baik-baik. Memang Om dan Tantemu yang bersikeras menyuruhmu untuk mengambil beasiswa itu ke London. Tapi ... mengingat kemarin, Om dan Tante nggak bisa maksa kamu. Kami hanya bisa bantu memberi jalan. Tapi keputusan, terserah gimana nyaman kamu aja sekarang."

"Eyrin mau mundur, Om." Tanpa ragu Eyrin langsung menjawab tegas.

"Kamu yakin?" tanya Mustika sedikit tak percaya. Secepat itu keponakan yang sudah mereka anggap seperti putri sendiri ini mengambil keputusan.

"Atau kamu bisa tinggal dekat Oman. Dia tinggal dengan kakaknya bukan?"

"Ya, Eyrin sempat ketemu malam itu."

"Kawasan tinggal mereka termasuk area aman."

"Ya, untungnya malam itu Eyrin ketemu beliau. Sopir taksi itu ternyata kenal Pak Oman. Dia yang bantu calling. Ketemu. Langsung dibawa ke rumah Pak Oman untuk sementara. Kalau langsung ke Roundhouse, bisa-bisa ketahuan geng mereka."

"Menurut kamu gimana tempatnya?"

"Ya ... nyaman. Seperti tradisi Indonesia mandah ke manca negara." Eyrin tergelak.

"Kenapa memangnya?" sambung Mustika penasaran.

"Masuk flat mereka, kayak masuk rumah manca negara tapi budaya Indonesia."

"Yaiya, wong namanya yang nempatin wong Indonesia," pungkas Utama pula diikuti gelak Eyrin. "Gimana memangnya?"

"Ya ... khas Indonesia pokoknya. Budaya kayak ngumpulin karet gelang, baju bekas ya masih bisa digunakan jadi kain lap, cabe berkotak-kotak yang mau dimasukkan ke kulkas, masih terjaga asri membumi pertiwi di rumah mereka. Itu yang membuat Eyrin yakin benar yang tinggal di situ tulen Indonesia-nya," gelak Eyrin tambah semangat. "Tapi, damai kok rumahnya."

"Syukurlah." Kekehan Utama sedikit mengiringi. "Nah, itu, udah ketemu jalan. Lagipula, Tiger nggak tahu 'kan niatmu ke sana itu mau kuliah? Atau ... apa kamu sempat bilang ke dia kemarin?" Eyrin menggeleng.

"Jangan terburu-buru, Rin. Pikirkan matang-matang. Kamu bisa kuliah di sana tanpa diketahui laki-laki itu. Nanti Om Tama bisa minta Pak Ginanjar—"

"Ini sudah final, Tant, Om," potong Eyrin cepat membuat Mustika dan Utama sedikit menarik napas berat.

"Ya sudah kalau begitu. Mungkin memang waktunya yang belum tepat. Nanti kita cari info lain. Kamu bisa kuliah lagi di negara lain mungkin?"

"Lihat nanti aja, Om. Saat ini, di break dulu aja deh."

"Ya sudah. Mana baiknya."

Eyrin naik ke kamar di lantai dua tempat ia sering tidur saat menginap di sini. Saat ia pergi pun, Nanggala dititipkan di sini. Mba Santi yang ditugaskan Utama menjaga Nanggala ketika bocah itu di sini. Eyrin menarik napas berat. Meski ia harus kembali mengorek masa lalu, tapi di sini ia patut bersyukur. Besar dalam fake family yang baru ia tahu setelah dewasa. Harta orang tuanya dibawa lari ibu tirinya bersama selingkuhannya. Sampai karena itu, Eyrin tak punya apa-apa. Namun bertemu Utama dan Mustika membuatnya seperti kembali punya rumah untuk pulang. Tuhan memang penuh kejutan. Entah yang akan datang nanti, kejutan apa yang akan Eyrin terima lagi?

Eyrin baru saja duduk di tepi ranjang saat suara panggilan dari ponsel Nanggala berdering. Segera ia menatap layar, dari nomor baru. Wanita itu hanya menunggu tanpa mengjawab. Ia memang paling malas menerima telepon dari nomor baru, apalagi yang tak ia kenal. Sampai akhirnya, dering berakhir dan panggilan tak berulang, Ia menaruh kembali benda itu dan menganggap panggilan itu bukanlah panggilan penting. Sementara di seberang sana, seorang pria sedang menggigit bibir bawahnya dengan dingin. Otaknya menimbang sesuatu seraya memutar benda pipih di tangan yang baru ia gunakan untuk memanggil tapi tak mendapat jawaban. Pria itu menuju ke Whattsup, dan kembali memastikan gambar profil yang tadi ia tuju. Gambar seorang bocah kecil sedang berlari di lapangan baseball.  Dahi pria itu berkedut. Apa ia salah menyimpan nomor?

.

.

.

Salah kagak sih? Wkwkwkwkwk

lanjut?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top