PIM : Satu

Haloha. Ada yang suka bakar-bakar nggak? 😅😂 ayo dong ramaikan di sini biar semangatku kebakar nulis kisar Eyrin dan Tiger. 😂 Bakaran kalian jadi kode buat aku cepat update. Wkwkwkw. Hehe








Bakar, bakar 😂Kasi love dulu buat kisah ini di sini ❤❤❤



P
I
M

London in Stories



❤❤❤

"Kamu serius, bisa sendiri, Rin?" Utama yang berdiri di samping Mustika-istrinya-menatap keponakannya sedikit was-was. Dari Marmara London Hotel, mereka baru saja tiba di Bloomsbury Theater and Studio.

"Siapa bilang sendiri sih, Om. Eh, Uncle! 'Kan sama Pak Oman. Ya 'kan, Sir?" Eyrin menoleh pada sopir yang duduk di kemudi dengan semringah. Sejujurnya, ia tak enak menganggu tim kerja dari DuMed yang sengaja ke sini untuk liputan, juga pasangan yang kali ini sengaja quality time.

"Yoi!" Oman, lelaki lebih muda dari Utama mengacungkan jempol.

"Sukses, ya, Sha, Mas Aryan, Niel." Tangan Eyrin melambai hendak kembali naik ke kursi di samping Oman.

"Kamu juga." Suara Aisha, ikut melambai tangan dengan senyum semangat.

"Sayang deh lo nggak liat orkes berdenging, Rin!" kata Niel dengan mulut maju dan gestur kemayu.

Eyrin tergelak. "Biarin! Itung-itung gue ngurangin pengeluaran Om Tama beli karcis."

"Syukurlah sadar diri," timpal Niel ceplos. Namun yang diledek tak ambil pusing malah memelet lidah lucu.

"Itulah manisnya aku. Pengertian, perhatian. Nabung setengah mati terus ngabisinnya setengah sadar." Kalimat Eyrin mengundang gelak tawa semua yang di sana.

"Haha. Yang terakhir gue setuju. Tapi yang manis kagak! Blagu! Emang lo manis?" sambut Niel mencibir geli.

"Oiya. Eyrin kan manisnya alami. Tanpa aspartam!"

"Manisnya alami. Tropicana dong lo!"

"Kemakan iklan mah lu Niel! Akui aja napa."

"Hilih-" Mulut Niel kian memerot.

"Apaan aspartam?" Aryan menikung suara Niel yang hendak bersuara lagi. Padahal ia sudah mengerti tapi hanya ingin menganggu perdebatan Niel dan Eyrin saja.

"Tanpa pemanis buataaan. Sama kayak Aisha." Alis Eyrin bergerak turun naik jenaka juga menggoda Aryan. "Kita sama ya 'kan Sha?" Aisha yang digoda mengulum senyum.

"Iyalah yang anak apoteker, bahasanya farmasi!" seru Aisha geli.

"Mas Aryan, apa lagi? Mumpung ke luar negeri nih!" seru Eyrin menggoda dengan alisnya.

"Apanya?" Aryan pura-pura tak paham kalau kalimat Eyrin tertuju tentang dia yang menyukai Aisha.

"Oh. Mas Aryan mah tenang aja. Jodoh mah nggak ke mana. Tapi saingan yang ada di mana-mana. Haha." Untuk kalimat yang ini Niel dan Eyrin tergelak kompak bahkan sama-sama mendadak melakukan tos dengan siku.

"Udah, udah, deh. Berangkat sana gih. Kabarin kalau nanti nggak ketemu Mr. Ginanjar. Tapi tadi Om udah kontak lagi kok. Sebenarnya masih lama janji waktu temunya. Tapi terserah kamu. Mungkin bisa kamu manfaatin untuk lihat-lihat lingkungan UCL."

"Okay, Uncle ...." Jempol Eyrin mengacung bersama kerlingan jenaka.

"Hilih sok manis!" sungut Niel menggoda.

"Emang maannis. Tanpa aspartaaam." Suara Eyrin dibuat mendayu diikuti tangan yang melambai. Lalu gegas menyalami Utama dan Mustika. Berlanjut ke Aryan dan Aisha yang terkekeh melihat Niel yang mendelik karena Eyrin mengecohnya saat hendak bersalaman.

"Belagu lu, Rin!" gerutu Niel geram.

"Haha." Ia pun menutup pintu mobil seraya membaca doa.

Mobil melaju di bawah kemudi Oman meninggalkan rombongan Utama dari Duta Media Utama Jakarta.

Sepanjang perjalanan, mata Eyrin dimanjakan dengan pejalan kaki di jalur khusus, lalu menangkap bus kota berwarna merah tingkat dua, berbeda dengan di Indonesia.


Bangunan tua yang etnik terlihat amat terawat berjajar di sisi kanan kiri jalan. Meski tua tapi tetap saja terkesan estetika dan berwibawa. Seulas senyum di wajah Eyrin tak sadar tertarik samar. Ia bagai sedang memasuki kota di mana petualangan Harry Potter dimulai.

Mulutnya spontan memekik kalimatullah saat rem terinjak mendadak.

"Ada apa, Pak Oman?" tanyanya pada Oman yang sudah lama tinggal di London sebagai guide turis asal Indonesia dan disewa Teuku Utama selama mereka di sini.

"Ada yang menyeberang mendadak, Miss."

Sopir turun melihat kondisi korban diikuti Eyrin yang cemas. Sempat dikerumuni massa, Eyrin dan Oman membantu seorang wanita untuk naik ke mobil dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat.

Korban langsung mereka larikan ke IGD demi mendapatkan pengobatan.

"I'm so sorry, Madam. For this insident," ucap Oman pada korbannya. Wanita sepantaran berusia hampir empat puluh tahun usai mendapat pertolongan.

"Don't worry, Sir. I'm in hurry," tukas wanita yang mengaku namanya Eva.

"Kita antar beliau, Pak Oman?" tanya Eyrin menoleh pada guide sekaligus sopirnya hari ini.

"Katanya dia sudah menghubungi kerabat yang akan menyusul ke sini, Miss. Kita tunggu sebentar, ya."

"Did your husband come here?" Mata Eyrin berganti menoleh pada Eva.

"No. My Sister. I don't have a husband anymore. He dead two years a go."

"Ou. I'm so sorry to hear that." Ekspresi wajah Eyrin berubah keruh.

"Don't worry." Eva tersenyum cukup ramah.

Oman memberi kartu namanya untuk antisipasi jika nanti terjadi apa-apa lagi. Wanita itu menolak dan berkata kalau luka di lutut dan tangannya akan segera pulih.

"Take it, Madam. Maybe you will need it one day." Eyrin yang sejak tadi ikut menunggui mengerling dengan lirikan jenaka menggoda Oman. Pria itu masih single di usia yang tak lagi muda.

Wanita berambut sebahu itu terlihat rikuh dan akhirnya menerima kartu nama milik Oman.

Setengah jam kemudian kakak Eva tiba dan mereka pamit lebih dulu setelah Oman dan Eyrin kembali meminta maaf.

Oman mengajak Eyrin kembali ke mobil untuk pergi setelah membayar administrasi. Begitu langkah keduanya berkertak melewati koridor menuju drop zone, mata Eyrin terpaku saking terpana saat menyadari sesuatu.

Dari balik dinding kaca yang megah, terlihat magnolia tengah mekar di halaman depan sana. Hal yang tadi tak disadari Eyrin saat tiba ke sini karena fokus pada Eva.

"Pak Oman. Itu magnolia bukan?" tanya Eyrin memastikan. Oman mengikuti arah pandang mata Eyrin yang terpukau keindahan mekar bunga magnolia pink di luar.

"Iya. Di halaman dalam juga ada. Kalau nggak salah sering mekar di musim panas seperti ini. Bukan di musim semi aja. Ciri khas rumah sakit ini. Lumayan unik sih." Oman manggut-manggut kecil tak begitu tertarik.

Berbeda dengan Eyrin, spontan merasakan perasaan aneh dalam dirinya yang langsung bergejolak.

"Pak Oman, keliling bentar yuk. Anggap aja guide juga sesi yang ini." Tanpa mendengar Oman setuju wanita itu melaju.

Wajah Oman berkedut bingung diikuti gelak Eyrin. "Bentaran doang. Anggap aja temani saya bacpakeran! Hi hi."

"Miss-" Oman terkinjat dan terpaksa mengekor karena Eyrin sudah menjauh. "Miss!"

"Bentaran aja koook!" seru Eyrin sedikit jauh di depan Oman.

"Memangnya ada apa, Miss?" tanya Oman heran melihat tingkah wanita ramah yang terbilang cepat akrab dengannya sejak kemarin.

Eyrin tak menjawab tapi kakinya gegas. Netranya mengedar seiring langkah yang kian masuk lantas malah terperangah. Plang-plang yang ada di setiap pintu bangsal menuliskan 'Magnolia' dengan berbeda angka saja. Lalu saat kaki mencapai bagian tengah rumah sakit, jejeran pohon magnolia menyambutnya dengan tarian bunga pink yang terembus sarayu halus.


Di sekelilingnya ada banyak tumbuhan hijau tertata rapi di antara rumput menambah kesan nature yang damai. Bagian ini seolah sengaja dibuat beratapkan langit agar mendapatkan pencahayaan yang memadai.

Dahi Eyrin berkerut tipis sama persis dengan gumpalan keheranan di hatinya yang tak mau menipis. Langkahnya terus berkeliling. Lalu ia kembali dibuat tergemap saat melihat area khusus yang di-design mirip playground. Dari situ Eyrin bisa menebak kalau ini adalah poli anak.

Berpindah ke sisi kanan bangunan, ada kolam renang air panas serta gym.

"Waw!" Eyrin berdecak hebat dengan bola mata antusias.

Masih tak percaya dengan kebetulan ini, batin Eyrin yang cukup terkejut tapi juga bersorak suka dengan konsep rumah sakit ini bergumam di hati.

Mengapa konsep rumah sakit ini terasa familiar di benaknya? Bagai ia sedang menemukan wujud fisik dari sesuatu di masa lalu.

Instalasi farmasi yang cukup besar dan letaknya dekat apotek di bagian depan tak jauh dari lobi beserta kursi tunggu yang empuk. Bagian itu, dipagari dengan beberapa tumbuhan hijau-kali ini sintetis-yang mungkin dibuat agar pengunjung tak terlalu jenuh mengantre. Hal ini tentu juga akan berefek untuk apoteker, perawat, juga pengunjung agar lebih mudah dalam prosedur mendapatkan obat.

Menurut pengamatan Eyrin, rumah sakit ini lebih mirip mall. Membuat siapa saja merasa betah karena nyaman. Ia penasaran dengan fasilitas dan design yang ada di bangsal inap. Namun jika dilihat dari bagian lobi yang diisi furnitur apik juga cantik, bisa dibayangkan bagian kamar pasti tak kalah ciamik.

"Ck, Miss ini. Jangan cepet-cepet. Pak Oman 'kan ngos-ngosan ngejarnya." Oman mendekat dengan sedikit tersengal karena mengejar tamunya.

"Ciee, masih ngerti bahasa ngos-ngosan." Mata Eyrin melirik menggoda. "Ya nggak usah dikejar, Pak. Emangnya saya bola," kelakar Eyrin.

"Ck! Miss ini. Yuk ah. Waktu kita udah kemakan banyak ini. Harusnya kita udah sampai University College London. Nanti Mister Utama khawatir. Kalau kita kelamaan entar nanyain!" tekan Oman mengingatkan.

"Iya, iya. Let's go." Alis Eyrin terangkat lucu diikuti gelengan sumbang Oman. Tak habis pikir dengan tingkah wanita itu.

Setelah naik ke mobil, dan melewati pintu kedatangan di bagian depan. Netra Eyrin sengaja menatap plang besar dekat pagar yang tadi tak sempat ia perhatikan.

"Periculum In Mora Hospital"

Denyut jantung Eyrin bagai dipompa lebih keras seketika itu juga. Mengakibatkan darahnya seolah mengantarkan sengatan aliran listrik ke seluruh tubuhnya yang tiba-tiba panas. Lantas secepat kilat batinnya sangat, sungguh, ingin tahu bagaimana sejarah rumah sakit ini berdiri?

Siapa pemiliknya? Mengapa di-design seperti ini dengan nama Periculum in Mora?

"Pak Oman. Siapa pemilik rumah sakit ini?" tanya Eyrin menggali informasi dengan rasa ingin tahu yang menggebu. Meski tak mengira ada kaitan dengan seseorang di masa lalu. Namun tetap saja rasa penasarannya bagai hendak melampaui akal.

"Siapa, ya? Saya juga kurang tahu tepat sih kalau yang ini. Tapi kabarnya, keluarga mereka punya perusahaan farmasi. Belum terlalu lama didirikan kok ini."

Informasi itu membuat denyut jantung Eyrin kian menjadi-jadi.

"Baru?"

"Ya, ada beberapa tahun beroperasi."

"Nama keluarga pemiliknya Pak Oman tahu?"

"Hehe. Enggak, Miss. Saya 'kan cuma hafal sepantaran jalan, dan tempat-tempat yang biasa dikunjungi turis-turis kalau berkunjung ke sini. Seperti, zoo, gedung teater, museum. Oh, oh. Wait. Tapi ... seingatnya, kalau nggak salah sih ya, rumah sakit itu dijaga oleh kelompok gengster atau apa gitu. Gengster yang bertato rubic."

"Rubic?" Eyrin mengernyit.

"Ya. Mungkin ciri khas mereka."

"Cube maksud Pak Oman?" ulang Eyrin lagi memastikan.

"Iya. Rubic 'kan namanya? Mainan bentuk kotak untuk asah otak yang warna warni itu loh." Oman menoleh diikuti kekehan kecil.

"I-iya. Iya bener." Karakter Eyrin yang suka bergurau kali ini terlihat pasi dan gelisah. Ludah kosong pun tertelan di kerongkongan tanpa sadar.

Rubic. Kata itu terngiang-ngiang di benak Eyrin yang makin berdebar saat pecahan puzzle satu demi satu dalam dadanya menyatu. Eyrin percaya, tak ada kebetulan dalam konsep rencana Tuhan.

"Tapi ... ah, mana mungkin!" pekiknya menggeleng kecil membantah pikirannya sendiri.
.
.
.
Tbc


Jangan lupa tinggalkan voteman sebanyak-banyaknya,ya . 🤗


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top