T.w.en.t.y-N.i.n.e

Tidak ada seorang ibu yang rela kehilangan anaknya. Semua orang tua ingin buah hati mereka yang dikandung selama sembilan bulan, dilahirkan dengan susah payah, dan dibesarkan penuh kasih sayang menjadi anak yang akan sukses di masa mendatang. Natasya menginginkan kebahagiaan untuk Claudya. Bagaimana pun kondisi keluarganya ia benar-benar ingin Claudya hidup layak dan dicintai semua orang. Hanya saja mungkin caranya mendidik Claudya salah, sehingga putrinya harus menanggung segala beban sendirian.

Natasya sungguh menyesal. Ia menyesal telah mengekang Claudya hanya untuk kepentingan pribadinya. Ia pikir kesempurnaan akan membuat hidup seseorang lebih baik. Nyatanya ia sadar, tidak ada orang yang benar-benar bisa sempurna secara fisik dan hal lainnya. Manusia diciptakan dengan segala keterbatasan. Seharusnya ia tahu itu sejak awal.

Dalam beberapa saat, Natasya menatap wajah putrinya sembari bersusah payah menahan air matanya agar tak lagi tumpah. Ia menggenggam tangan Claudya yang dingin, memberikan kehangatan. Memorinya tiba-tiba membawa Natasya ke waktu di mana ia baru saja bertaruh nyawa untuk membantu Claudya melihat dunia. Rasa sakit yang dirasanya tak pernah sebanding dengan sukacita saat melihat wajah Claudya untuk pertama kali. Ketika ia mendengar suara Claudya yang menangis, betapa ia bersyukur karena Tuhan telah memberi keluarga mereka anugerah yang tak terkira. Ia bahagia, sangat bahagia.

Di hari-hari berikutnya dunianya tak lagi terasa hampa. Gelak tawa Claudya selalu menghiasi harinya. Sampai pada suatu waktu segalanya harus berhenti di situ. Ketika ambisi mengalahkan kebahagiaan yang selama ini menghiasi hidupnya. Andai waktu bisa diulang, Natasya ingin menemani Claudya setiap hari, bercerita tentang banyak hal, dan tidur sambil membelai wajah putrinya. Namun, tentu saja tidak ada waktu yang bergerak mundur. Hanya tinggal penyesalan yang tersisa dari segala tindakan yang salah.

"Mama minta maaf, Sayang," lirih Natasya sembari menciumi tangan Claudya. "Mama menyesal. Mama sayang sama Claudya. Kamu harus bangun."

Natasya sungguh berharap putrinya dapat membuka mata agar ia bisa memiliki kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Ia ingin memulai semuanya dari awal. Persetan dengan segala harapan keluarga suaminya yang menginginkan Claudya menjadi sempurna seperti yang mereka harapkan. Natasya sudah tak akan memaksakan Claudya menjadi seperti itu. Untuk saat ini Natasya ingin Claudya menjalani hidupnya sesuai dengan yang putrinya inginkan.

"Bangun, Sayang."

Natasnya hampir putus asa. Ia menunduk, membiarkan air matanya menetes di tangan Claudya.

"Ma ..."

Di sela isakannya, sayup-sayup Natasya mendengar gumaman lirih Claudya. Secepat kilat ia menatap wajah putrinya. Mata yang semula menutup, kini terbuka dan menatap manik miliknya.

"Ma-ma ..."

"Sayang." Natasya membelai kepala Claudya lembut. "Terima kasih sudah mau bertahan."

Ia menekan bel di samping tempat tidur Claudya. Sebentar lagi dokter akan datang untuk memeriksa.

"Ma, aku bermimpi," ucap Claudya dengan suara yang amat pelan. Natasya sampai mendekatkan telinganya ke wajah Claudya.

"Kamu bilang apa?"

Tangan Claudya bergerak melepas alat bantu pernapasan yang terpasang menutupi mulut dan hidungnya.

"Aku bermimpi. Aku melihat Mama, Papa, dan aku pergi ke suatu taman yang banyak sekali bunga. Aku melihat kita bahagia di sana."

Natasya menangis mendengar mimpi Claudya. Ia langsung memeluk tubuh putrinya erat.

"Setelah ini kita akan bahagia."

Dokter tiba didampingi dua perawat. Lalu, Natasya diminta untuk sedikit menjauh karena dokter harus memeriksanya. Herlambang pun datang tak lama kemudian dan langsung merengkuh Natasya ke dalam pelukannya.

"Semua sudah baik-baik saja," ucap Herlambang seraya menepuk pelan punggung Natasya.

***

Setelah mendengar kabar bahwa Claudya sudah siuman, Magenta kembali datang ke rumah sakit. Kali ini ia tak membawa Dion. Ia datang sendiri dengan membawa banyak sekali harapan. Ketika ia melihat Claudya, ia ingin semuanya udah membaik. Sungguh, ia ingin setelah berbagai hal yang menimpa Claudya, gadis itu dapat menikmati hidupnya.

Magenta melihat kedua orang tua Claudya sedang duduk di samping tempat tidur Claudya. Ia tak berniat mengacaukan suasana, maka dari itu ia sengaja berdiri di balik tembok dekat pintu masuk. Bukan maksud menguping, ia hanya menunggu pembicaraan itu selesai agar ia bisa menemui Claudya.

"Papa menyesal. Papa tahu tindakan Papa sudah membuat kamu tertekan dan sakit. Papa minta maaf." Herlambang menggenggam tangan Claudya. Sedangkan Claudya kini sudah mulai terisak. "Papa sangat takut ketika kamu tiba-tiba tak sadarkan diri. Berbagai kemungkinan terburuk melintas di kepala Papa dan itu membuat hati Papa sakit. Papa nggak mau kehilangan kamu, Clau. Papa sayang sama Claudya.

"Kita selalu memaksa kamu menjadi seperti apa yang kita ingin tanpa memikirkan bagaimana perasaan kamu. Tapi, kamu harus tahu bahwa niat Papa sama Mama cuma agar kamu dapat hidup lebih baik di masa mendatang.

"Papa sungguh minta maaf, Claudya. Papa memukul kamu. Papa hilang kendali saat itu."

Claudya balik menggenggam tangan ayahnya. "Aku nggak membenci Papa. Aku tahu niat Papa baik. Tapi, saat itu aku marah karena Papa tak pernah sekali pun mendengarkan aku." Claudya menghela napas berat. "Aku salah karena bertindak di luar batas. Itu semua juga di luar kendaliku. Aku hanya ingin baik-baik saja di saat Papa tak peduli padaku. Sekarang aku sudah memaafkan Papa."

Natasya memalingkan wajahnya dari Claudya. Bagaimana mungkin ia dan suaminya bisa menyakiti hati Claudya yang lembut itu?

"Mama juga nggak usah minta maaf. Aku nggak pernah benci sama Mama." Caudya beralih menyentuh tangan Natasya dan mengusapnya lembut. "Mama jangan nangis lagi. Aku sakit melihatnya."

Natasya melihat ketulusan dari mata Claudya. Ia langsung mencium kening putrinya dan tersenyum.

"Kamu anak Mama yang paling cantik dan paling baik."

Claudya balas tersenyum. Ia tak pernah menyangka tindakan spontannya menelan pil tidur hari itu akan membuatnya merasakan kehangatan ini lagi. Ia tak pernah menyesal telah melakukan itu. Ia rela tubuhnya merasakan sakit. Asalkan ia mendapat akhir yang bahagia seperti saat ini, ia tak keberatan.

"Aku akan menuruti Papa dan Mama, asalkan kalian juga mau mendengarkan aku. Aku mau melukis. Aku tidak mau dipaksa les, tapi aku akan belajar sungguh-sungguh mulai sekarang. Aku akan mencoba untuk menjadi dokter."

"Jangan dulu membahas itu, Clau. Kita bisa bicarakan nanti," ucap Natasya.

"Papa nggak akan memaksa kamu lagi. Kamu berhak menentukan apa yang kamu inginkan mulai sekarang. Jadi, pikirkan lagi nanti."

Claudya mengangguk. "Aku ingin kita pergi ke taman."

"Iya, kamu harus sembuh dulu."

Magenta tak sadar meneteskan air mata mendengar percakapan mereka. Segala harapan yang ia minta pada Tuhan pada akhirnya terkabulkan. Semoga setelah ini, kehidupan Claudya benar-benar berubah menjadi lebih baik.

Magenta menyeka air matanya. Lalu, ia mengetuk pintu, membuat semua orang yang berada dalam ruangan terfokus padanya.

"Selamat sore, Om, Tante, Claudya."

"Ah, Magenta sudah ke sini rupanya. Tolong ajak Claudya ngobrol, ya. Kami mau keluar dulu."

Natasya sengaja menarik tangan Herlambang agar keluar.

"Iya, Tante."

Magenta menghampiri Claudya. Ia duduk di kursi yang tadi digunakan oleh Natasya.

"Lo udah baik-baik aja?" tanya Magenta.

"Jauh lebih baik."

Magenta tersenyum mendengarnya.

"Thanks, Genta."

"Untuk?"

"Karena pernah membuat gue percaya bahwa kehidupan memang akan berubah jika waktunya sudah tepat. Sekarang ucapan lo memang terbukti."

"Gue harap lo selalu bahagia, Claudya."

***

[1109 kata]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top