T.w.e.n.t.y-o.n.e
Indra keluar dari ruang kerjanya tepat pukul 18.00 untuk menunaikan sholat maghrib. Bersamaan dengan itu Claudya dan Magenta juga keluar dari kamar. Lelaki itu memerhatikan sekilas gurat ketakutan di wajah Claudya. Tangan Magenta menarik tangan Claudya untuk mengikuti langkahnya yang cepat. Claudya jadi merasa terseret-seret. Belum lagi napasnya mulai putus-putus.
"Yah, mau anter Claudya dulu," kata Magenta terburu-buru.
Indra langsung menghadang Magenta, membuat anak lelakinya menubruk dada ayahnya dan Claudya juga menubruk punggung Magenta.
"Aw!" Claudya meringis. Cewek itu menyentuh hidungnya yang merasa ngilu akibat bertabrakan dengan tulang punggung Magenta.
"Ayah!" Magenta kesal. Di saat terburu-buru seperti ini ayahnya malah mengajak bermain tubruk-tubrukan.
"Kalian bisa tenang? Nggak baik pulang dalam keadaan kayak gini," ucap Indra.
"Claudya mesti sampai di rumah jam tujuh, Yah."
"Lalu?"
Magenta memandang Claudya sekilas. "Kalau telat dia bisa dimarahi."
Indra mengangguk paham. "Tunggu Ayah sholat dulu. Nanti ayah anter."
"Tapi, Yah ..."
"Tunggu, Genta. Dengar?" Indra menegaskan.
"Iya."
Claudya menyenggol lengan Magenta. Cewek itu merasa terintimidasi oleh ayahnya Magenta.
"Tunggu, ya, Clau. Bentar, kok." Magenta menenangkan. Mau tak mau Claudya menurut saja.
Indra tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua. Ia tahu Claudya sedang berada di kondisi seperti apa saat ini. Panik. Takut. Sudah dipastikan hukuman dari orang-orang di rumahnya pastilah membuat jera. Itu sebabnya Claudya akan bereaksi seperti itu. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa Magenta juga ikut-ikutan panik? Indra tak mengerti itu. Menurut prediksinya Magenta menyukai Claudya. Pasti Magenta tak mau terjadi sesuatu pada Claudya.
Indra berwudhu dan menunaikan sholat, sedangkan Claudya dan Magenta menunggu dengan perasaan was-was. Berkali-kali Claudya mengetuk-ngetukan tangannya di meja. Kakinya juga bergerak terus di bawah sana menimbulkan bunyi tuk-tuk dengan tempo yang cepat.
"Santai, Clau, Ayah pasti bisa ngelindungi kamu seandainya emang kamu dikasih hukuman."
"Gue terlalu takut. Kedua orang tua gue pasti pulang cepet hari ini karena weekend. Seandainya mereka tahu gue nggak les, tapi pulangnya lambat, bisa-bisa gue dikurung di kamar seharian."
"Separah itu?"
"Hm."
Baru kali ini Claudya menceritakan sisi lain dari kedua orang tuanya kepada orang lain. Entah mengapa ia percaya pada Magenta. Ia yakin Magenta juga tidak sedang berpura-pura berempati. Magenta terlihat tulus.
Setelah beberapa menit menunggu dengan perasaan campur aduk, akhirnya ayah Magenta sudah bersiap mengantar Claudya.
"Kamu mau ikut, Genta?" tanya Indra.
"Iya. Aku belum tahu rumah Claudya."
"Lets go!"
Claudya mengikuti langkah Magenta. Mereka menaiki mobil ayah Magenta. Sesekali Indra mencuri pandang pada Claudya, memerhatikan perubahan ekspresinya. Tampaknya cewek itu mulai tenang.
"Kalian belum makan?"
"Belum, Yah."
Indra mencari restoran cepat saji dan akan membeli makanan dengan cara drive thru agar efisien.
"Kamu mau pesan apa, Clau?" Sembari menunggu antrian, Magenta menanyakan keinginan Claudya.
"Kalian aja yang makan." Claudya menolak. "Aku nanti makan di rumah saja."
"Kenapa?" Ayah Magenta bertanya. Perubahan ekspresi Claudya berubah lagi. Cemas dan takut. Sudah dipastikan ada yang mengganggu cewek itu.
"Anu, aku nggak boleh makan makanan cepat saji." Claudya akhirnya menjelaskan. "Mama ingin aku memiliki tubuh sehat, ideal, dan nggak menimbun lemak berlebihan. Sejak kecil aku nggak pernah makan makanan seperti ini. Kalau ke sekolah juga aku dibuatkan bekal sama Bibi atas perintah Mama."
"Ah, begitu. Bagus, dong, pola makan memang harus dijaga biar sehat. Jangan seperti Magenta, dia golongan omnivora apa saja pasti dimakan." Indra mencoba mencairkan lagi suasana.
Usai memesan makanam, mereka kembali melanjutkan perjalanan ke rumah Claudya. Kali ini mereka bungkam. Sejak Claudya menceritakan Mamanya tadi, Magenta enggan lagi menanyakan tentang kehidupan Claudya. Ia tak suka melihat Claudya memasang wajah sedih.
***
Mobil Indra terparkir di rumah megah bak istana milik Claudya. Magenta nyaris tak bisa menutup mulut saking takjubnya dengan kemewahan rumah ini.
"Rumah lo gede banget, Clau," komentar Magenta.
"Dari luar emang kelihatan gede, dalemnya bikin sesak," jawab Claudya. Memang kenyataannya seperti itu. Claudya seperti dicekik di dalam rumah itu sampai kehabisan napas.
Claudya turun dari mobil Magenta. Bersamaan dengan itu, seorang wanita menghampiri Claudya. Itu asisten rumah tangganya. Beliau membisikkan sesuatu pada Claudya.
"Nyonya sama Tuan belum pulang."
Claudya mengembuskan napas lega. Selanjutnya mereka beralih memandang Magenta dan ayahnya bergantian. "Mau mampir?"
"Nggak usah, Clau, biar lo istirahat aja," jawab Magenta.
"Gue belom capek, masih mau ngobrol sama lo."
"Masih ada besok, Claudya."
Claudya tampak kecewa. "Oke."
"Kami pamit, ya," ucap ayah Magenta.
Claudya melambaikan tangan saat mobil Magenta meninggalkan halaman rumahnya.
Di dalam mobil Magenta tak sabar mendengar pendapat ayahnya tentang Claudya.
"Gimana, Yah?" tanya Magenta.
"Belum parah banget. Masih bisa diobati oleh terapi ringan. Cuma kebiasaan minum obat tidurnya aja kayaknya yang perlu usaha keras."
"Berarti masih harus diajak ke rumah?"
"Hm."
"Yes!"
"Kamu suka dia?"
"Ayah emang psikolog hebat." Magenta tertawa.
"Jadi, alasan Claudya depresi ini karena kekangan orang tuanya, Ta?"
"Iya. Dia diatur terus sama Mama Papanya. Apapun perintah mereka, Claudya harus nurut. Aku jadi kasihan, Yah."
"Ayah juga nggak tega."
"Tapi, Yah, dulu Claudya kayak yang enjoy banget sama hidupnya. Emang sih di kelas kelihatan pendiem, tapi dia rajin dan kecantikannya itu bikin orang-orang bilang kalau Claudya itu sempurna."
"Termasuk kamu?"
"Aku suka dia sebelum dan sesudah tahu karakter aslinya. Nggak tahu kalau yang lain. Mungkin kalo mereka tahu Claudya depresi, mereka malah akan membully-nya."
"Iya, kebanyakan orang depresi yang sembuh akan kembali depresi akibat hujatan masyarakat. Seakan-akan penyakit depresi ini adalah hal yang memalukan."
"Ayah mau bantu Claudya sampai sembuh total, kan?"
"Iya, Ayah usahakan."
Magenta tersenyum. Cowok itu sangat beruntung memiliki ayah yang sangat pengertian. Meski ayahnya sibuk karena harus mengurus pekerjaannya dan mengurus Magenta, tapi ia tak pernah mengeluh.
Sejak kecil, Magenta hanya memiliki ayah sebagai sandarannya. Ibunya telah meninggal ketika Magenta berumur dua tahun akibat penyakit kanker payudara. Sejak saat itu, ayahnya lah yang memenuhi kebutuhan Magenta. Magenta tumbuh tanpa sosok ibu, tapi ia tak pernah kekurangan kasih sayang. Ayahnya bisa menjadi ayah sekaligus ibu untuknya. Ayahnya yang terbaik.
"Makasih, Ayah."
"Kamu kalau bersikap manis kayak gini bikin gemas, Ayah jadi pengin cium pipimu."
"Ayah! Ini Magenta udah remaja, loh, bukan bayi Ayah lagi yang mesti digendong-gendong sambil masak."
Ayahnya tertawa terbahak-bahak. "Kamu tetap bayi Ayah."
"Ayah, please!"
"Oke, anak Ayah sudah remaja, udah puber, dan lagi jatuh cinta. Iya, Ayah ngerti."
Selama perjalanan menuju rumah, takk henti-hentinya mereka saling melempar candaan. Magenta bahagia, meski hanya memiliki satu orang yang menopang hidupnya. Beginilah keluarga semestinya, saling menjaga dan menyayangi.
***
[1043 kata]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top