T.w.e.n.t.y-f.i.v.e
"Kepada seluruh siswa kelas dua belas harap berkumpul di aula sekarang." Ucapan Pak Andre yang berasal dari pengeras suara langsung di dengar oleh seluruh penduduk sekolah. "Sekali lagi kepada siswa kelas dua belas harap segera memasuki aula sekarang karena ada beberapa pengumuman."
Seluruh penghuni IPA 1 langsung menghentikan aktivitas masing-masing dan segera meninggalkan kelas.
"Jess," panggil Dion saat melihat cewek itu berjalan di depannya.
"Apa?" Jessica menjawab ketus.
"Lo kenapa akhir-akhir ini banyak diem? Biasanya juga ngerusuh di kelas."
Dion mempercepat langkahnya agar seirama dengan langkah Jessica. Niki dan Audrey tertinggal di belakang. Dua cewek centil itu memerhatikan cowok-cowok dari kelas sebelah dan berusaha menarik perhatian mereka.
"Males gue lihat Claudya sekarang dempetan terus sama Magenta. Padahal gue udah ngaduin mereka pacaran ke ibu Claudya tapi tetep aja Claudya nggak jera sama ancaman ibunya."
Jessica tiba-tiba menghentikan langkah, sadar kalau baru saja ia keceplosan. Dion pun turut berhenti.
"Lo ... apa?"
"Nggak, lupain aja omongan gue barusan."
"Jadi lo ngaduin Claudya ke ibunya kalau mereka deket supaya ibunya makin ngekang Claudya?"
Dion tentu tahu masalah Claudya sekilas dari curhatan Magenta kemarin-kemarin. Cowok itu tak percaya di balik keterpurukan Claudya selama ini ada Jessica yang mengambil peran menjadi antagonis. Dion merasa kesal karena selama ini ia menyukai perempuan yang hatinya bisa setega itu.
"Gue ngomong berdasarkan fakta."
"Lo tahu, Jess, akibat dari provokasi lo ke orang tua Claudya? Claudya depresi!" Usai mengatakan itu, Dion langsung menutup mulutnya. Ah, bagaimana bisa dia juga ikut keceplosan?
Jessica diam sejenak. "Ah ... jadi Claudya sarkas dan suka pingsan, lalu tiba-tiba teriak nggak jelas itu karena dia gila?"
"Jess, pelanin suara lo!" Dion menegurnya. Di koridor ini banyak sekali siswa yang berjalan ke arah aula. Dion takut berita ini akan menjadi perbincangan penduduk sekolah.
"Woy, minta perhatiannya!" Jessica langsung menjadi pusat perhatian begitu suara menggelegarnya mengudara. "Kalian tahu pelukis berinisial Dya, kan? Cewek sarkas itu ternyata mengidap depresi. Bagaimana mungkin kalian begitu kagum sama orang gila seperti dia?"
Semua orang mulai berbisik-bisik. Tak jauh dari tempat Jessica ada Magenta dan Claudya yang berjalan beriringan. Tentu keduanya juga mendengar teriakan Jessica. Magenta hendak menghampiri Jessica dan menegur cewek itu, tetapi secepat kilat Claudya mencekal tangan Magenta untuk mencegahnya memerkeruh suasana.
"Clau, dia udah keterlaluan." Magenta mencoba lepas dari cekalan Claudya.
"Kalau lo ke sana, semua orang akan percaya kalau gue depresi. Gue cuma tinggal bersikap biasa aja biar mereka yang nyangka Jessica lagi mengada-ngada."
Semenjak melakukan konseling selama beberapa hari dengan ayahnya, ada beberapa tingkah Claudya yang berubah. Salah satunya ia menjadi lebih tenang dan mulai bisa mengatur emosi. Justru sekarang Magenta yang berubah jadi sensitif kalau ada omongan nggak enak menyangkut Claudya.
"Oke."
Claudya melepaskan cekalannya pada Magenta. "Maaf," lirih Claudya.
"Untuk?"
"Gue selalu ngerepotin lo."
"Siapa bilang lo ngerepotin? Gue suka bantu lo."
"Makasih."
"Santai, Claudya."
Magenta dan Claudya berjalan mendahului Jessica dan Dion yang masih berdebat. Saat melintas, Jessica melihat wajah Claudya sangat tenang dan itu membuatnya semakin geram. Ia merasa sedang dipermalukan.
"Jess, lo sadar sama apa yang lo omongin barusan?" tanya Dion dengan penuh amarah.
"Seratus persen sadar."
"Ternyata gue emang salah menilai lo. Gue pikir lo nggak bakal sejahat ini. Gue nyesel, bener-bener nyesel karena naruh perasaan ke lo."
Mata Jessica membulat. "Apa lo bilang, Yon?"
"Gue suka sama lo."
Jessica mencoba mencerna kalimat yang barusan dikatakan Dion. Ia sungguh tak bisa memercayainya.
***
Bising masih tercipta di ruangan luas ini, bahkan ketika beberapa orang mahasiswa sudah mengintruksikan para siswa untuk diam. Kedatangan mereka ke SMA Taruna Bangsa untuk memperkenalkan almamaternya yang sedang membuka pendaftaran untuk melakukan tes beasiswa. Mungkin pengumuman ini terlalu cepat. Hampir semua siswa masih ingin bermain-main dan tak mau ambil pusing soal melanjutkan sekolah. Karena bahkan ujian pun belum ada yang dimulai satu pun. Mereka baru menjalani masa kelas dua belas selama empat bulan. Wajar jika penjelasan kakak-kakak di sana tak didengar.
Berbeda dengan Magenta, cowok itu sangat antusias dengan program beasiswa ini.
"Lo mau ikutan, Ta?" tanya Claudya sesaat setelah Magenta mengajukan banyak sekali pertanyaan pada kakak-kakak di depan sana.
"Hm. Gue mau ambil kedokteran."
"Sungguh?"
"Hm. Kayaknya keren jadi dokter."
Claudya menyangkal kalimat Magenta barusan. "Nggak keren."
"Mereka bisa menolong orang lewat profesinya. Mereka punya seragam kebanggaan. Mereka sering dipuji karen kemampuannya."
Sepertinya Claudya tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Lo nggak sedang membujuk gue buat nuruti permintaan kedua orang gue, kan, Genta?" tanya Claudya
"Enggak, gue ngomong sesuai dengan apa yang gue perhatikan selama ini."
"Oh."
"Memang menurut lo profesi dokter itu nggak bagus?"
"Hm."
"Kenapa memangnya?"
"Nggak suka aja."
Claudya mulai bersikap dingin lagi pada Magenta. Cowok itu jadi merasa bersalah karena membahas topik yang sensitif bagi Claudya. Namun, ia hanya penasaran kenapa Claudya bisa sebenci itu pada profesi dokter.
"Ya, kan, harus ada alasannya."
"Menurut gue, orang yang ngambil jurusan kedokteran banyak yang sombong. Mereka merasa paling unggul dari siapapun. Ketika mereka sudah menjadi dokter sikap angkuh itu malah makin menjadi-jadi. Oke, mungkin gue nggak bisa menyamaratakan kalau mereka memang cuma pengin pujian, tapi kenyataannya selain karena uang mereka juga suka pujian masyarakat."
"Ini yang lo lihat dari keluarga lo?"
"Hm. Bahkan Kakek gue menjadikan profesinya sebagai ladang bisnis. Dia mendirikan rumah sakit besar dan lo sendiri pasti tahulah profit-nya sebesar apa."
"Ah, begitu."
"Gue lebih suka ngelukis."
"Jadi mau ambil jurusan seni rupa?"
"Hm."
Magenta menyerahkan satu lembar brosur yang tadi dibagikan para mahasiswa.
"Di situ ada jurusan seni rupa. Lo nggak salah kalau mau coba peruntungan di sana."
"Oke, gue mau pertimbangkan."
Para mahasiswa sudah selesai memberi pengarahan. Semua siswa langsung mengembuskan napas lega karena sedari tadi sudah tak tahan duduk di aula. Mereka langsung keroyokan menuju pintu masuk dan menuju kantin untuk menyerbu makanan. Kebetulan jam istirahat kedua sudah berdengung sejak tadi.
"Lo mau ikut ke kantin?" tanya Magenta.
"Gue bawa bekel."
"Yaudah bawa bekel lo, kita makan di kantin."
"Tapi ..."
"Ayo, Claudya."
Mau tak mau cewek itu menuruti permintaan Magenta. Entah mengapa sekarang ia jadi terbiasa berinteraksi dengan cowok itu. Ia sudah tak lagi membencinya. Malah sekarang Claudya ingin selalu berada di dekatnya. Karena ia merasa aman dan nyaman setiap kali Magenta ada di sisinya.
***
[1019 kata]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top