T.w.e.n.t.y

"Lo ada jadwal les?" tanya Magenta.

"Ada. Tapi gue nggak bisa les dalam kondisi kayak gini." Claudya mengusap air mata yang masih ada di pipinya. Ia memijit pelipisnya pelan mencoba menghilangkan pusing yang tiba-tiba menyerangnya. Hidungnya pun memerah akibat terlalu lama menangis.

"Kalau gue ajak ke suatu tempat, lo mau?"

"Ke mana?"

"Rumah gue."

Pikiran Claudya langsung menjurus ke hal-hal yang negatif. "Ngapain?"

"Gue kenalin sama bokap. Dia psikolog. Mungkin lo butuh masukan darinya."

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Claudya setuju. Tidak ada salahnya ia konsultasi pada ahlinya langsung. Syukur-syukur bila ia diberi masukan sekaligus jalan keluar dari masalahnya.

"Sekarang?" tanya Claudya.

"Belum bel pulang."

"Ya bolos."

"Kabur maksudnya?" Claudya mengangguk, tapi Magenta malah tertawa. "Gue nggak tahu cara kaburnya, nggak pernah soalnya."

"Loncat ... gerbang?" Claudya mencoba memikirkan cara agar keluar dari sekolah saat bel pulang belum dibunyikan. Kalau di film-film, sih, siswa nakal biasanya melompati pagar agar bisa keluar. Namun, SMA Taruna Bangsa memiliki pagar yang menjulang. Ia sangsi bisa melewatinya. Apalagi ia memakai rok yang pendek dan lumayan ketat, bisa robek kalau harus dipaksakan melewati pagar.

Magenta pun tak yakin bisa melompati pagar yang tinggi itu. Ia juga tak mungkin membawa serta motornya. Kalau sampai kabur tanpa motor mau bagaimana sampai di rumah? Jalan kaki, naik angkot, naik gojek? Tidak mungkin. Saat ini saja ia tak membawa dompet dan ponsel karena ia tinggalkan di kelas.

"Ada cara lain?" tanya Magenta.

"Apa gue pura-pura sakit lagi?"

Claudya menatap Magenta dengan wajah serius. Sedangkan yang ditatap kini malah tak kuasa menahan tawa.

"Lo mau dibopong gue lagi? Berat, Clau."

Usai mengucapkan itu, sebuah buku komik melayang dari tangan Claudya dan mendarat tepat di dada Magenta.

"Oh, jadi ekspresi lo kayak gitu kalau lagi kesel?"

Claudya langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan karena malu.

"Sekarang lo lagi malu-malu?" Magenta masih merayu Claudya. Cowok itu gemas dengan tingkah Claudya saat ini. Ia yakin 180 derajat sikap Claudya sangat bertolak belakang dengan yang ditampilkannya kemarin-kemarin.

"Magenta, gue malu!" Claudya masih menutupi wajahnya yang mungkin sekarang semerah kepiting rebus.

"Gue harap lo nggak perlu menyembunyikan rasa sakit lo lagi di depan gue, Clau."

"Hm?"

"Aslinya lo itu pemalu nggak angkuh, kan? Lo malu-malu meong. Meong ...." Magenta menirukan gaya kucing dan bersuara seperti kucing sungguhan. Hal itu membuat perut Claudya merasa tergelitik dan tak bisa menahan tawa. Entah mengapa Magenta pintar sekali mencairkan suasana.

***

Claudya dan Magenta sampai di rumah milik Magenta tanpa harus melompati pagar. Mereka hanya bersembunyi di perpustakaan hingga bel pulang berbunyi.

"Bokap lo mana?" Claudya memerhatikan sekeliling rumah Magenta yang sepi. Ruangan luas ini didominasi oleh lukisan naturalis, serta barang-barang antik. Claudya sempat terkagum-kagum oleh lukisan yang menurutnya bernyawa; menggambarkan betapa pelukisnya amat menyukai keindahan alam.

"Belum pulang kayaknya." Magenta menuju dapur untuk menyiapkan minuman. "Lo mau minum apa?"

"Apa aja."

"Lebih suka jus tomat atau ...."

"Alpukat." Claudya langsung memotong ucapan Magenta.

"Sayangnya di kulkas gue cuma ada tomat sama mangga."

"Yaudah air putih aja." Magenta hampir saja tertawa mendengarnya.

"Ini kalau nggak salah gunung Bromo, kan, ya?" Claudya menatap satu lukisan yang menjadi bintangnya di ruangan ini.

"Hm. Lo udah pernah ke sana?"

"Belum. Mau, sih, kalau ada yang ngajak."

"Nanti liburan akhir tahun gue ajak."

Magenta mempersilakan Claudya duduk. Ia sudah membawa air putih pesanan Claudya dan beberapa aneka cemilan. Niatnya ia ingin mengobrol santai di kursi. Namun, sepertinya Claudya tak tertarik dengan cemilan itu. Ia malah berkeliling melihat-lihat jajaran lukisan di dinding.

"Gua nggak yakin bisa ikut kalau pun di ajak." Claudya beralih ke lukisan di sebelah lukisan gunung Bromo. "Kalau ini gunung apa?" tanya Claudya penasaran.

"Tangkuban Perahu."

"Oh, ini lo yang lukis semua?"

"Bokap gue."

"Saat ketemu lo waktu di toko itu, gue kira lo juga suka lukis."

"Gue cuma pengagum lukisan doang."

"Hm."

Claudya memerhatikan satu per satu lukisan. Hingga langkahnya sekarang berada tepat di pangkal tangga yang akan menghubungkannya dengan lantai dua.

"Di lantai dua ada banyak lukisan juga?"

"Lo penasaran?"

Claudya mengangguk tanda jawaban.

"Naik aja."

Kaki jenjangnya menapaki tangga satu per satu. Magenta membuntuti di belakang Claudya. Pandangan cowok itu tak lepas dari rambut Claudya yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Menggemaskan.

Di lantai dua lukisan air terjun mendominasi. Claudya takjub dengan apa yang dilihatnya.

"Ini kamar lo?" Tatapannya terfokus pada satu ruangan yang berjarak tak jauh dari ujung tangga.

"Itu ruang kerja bokap. Yang ujung kamar gue." Magenta menunjuk pintu berwarna putih gading di ujung.

"Di kamar lo ada lukisan apa?"

"Harus banget gue jawab atau lo mau langsung lihat?"

"Boleh?"

"Tentu." Bukan Magenta yang menjawab itu. Seseorang yang sedang menaiki tangga yang menyahut. Dari postur tubunya yang tinggi dan wajahnya yang Claudya tebak sudah berkepala empat, Claudya yakin itu adalah ayah Magenta. "Lihat aja, biar ini anak rada malu kalau kamarnya ternyata berantakan parah." Lelaki itu terkikik.

"Ayah!" Magenta mulai malu-malu dibilang seperti itu.

"Ini teman yang kamu ceritain itu? Cantik banget ternyata." Ayahnya memuji Claudya dan membuat cewek itu tersipu malu.

"Kenalin, Clau, ini Ayah gue."

Claudya langsung menyalami tangan ayah Magenta. "Salam kenal, Om. Namaku Claudya."

"Kamu suka lukisan juga?" tanya ayah Magenta.

"Iya, Om. Tapi, nggak menggeluti satu aliran kayak Om. Aku random, sih."

"Wah, lebih bagus random. Jadi bisa segalanya."

"Kamu nggak cerita ke Ayah kalau temanmu suka ngelukis. Kalau tahu dari dulu, sih, Ayah bakal ajak ngelukis bareng."

Magenta menggaruk belakang kepalanya karena pertanyaan yang satu ini. "Hehe, ini kan udah tahu, ya tinggal ajak aja, Yah."

"Claudya mau Om ajak jalan-jalan buat ngelukis gunung?"

"Memang harus jalan-jalan dulu?" tanya Claudya.

"Iya, dong. Kalau cuma lihat dari gambar, kesannya nggak nyata."

"Aku nggak tahu bisa apa nggak. Papa suka nggak ngasih izin pergi jauh-jauh."

"Ah, begitu. Nanti kita coba bilang pelan-pelan sama Papamu, ya." Ayah Magenta memerhatikan gerak-gerik Claudya yang tiba-tiba berubah saat membicarakan Papanya. Ia yakin memang Claudya memiliki masalah dengan orang tuanya. "Ya sudah, sana katanya mau lihat lukisan di kamar Magenta. Om mau selesain kerjaan dulu."

"Iya, Om."

Selanjutnya Ayah Magenta masuk ke ruang kerjanya. Sedangkan Claudya mengikuti langkah Magenta.

"Lo kalau bicara soal lukisan emang bisa secerewet itu, ya?" tanya Magenta.

"Hm. Gue suka ngelukis dan suka lukisan."

Begitu Magenta membuka kamarnya, Claudya langsung terkesima. Banyak foto-foto polaroid yang ditempel di dinding kamar Magenta. Hampir semuanya didominasi oleh foto alam yang sama persis dengan lukisan di lantai utama.

"Ini foto lo yang ngambil?"

"Hm. Kalau bokap suka mengabadikannya di lukisan, gue lebih suka mengabadikannya dengan kamera."

"Bagus banget."

Satu foto yang membuat Claudya terpaku. Foto tiga orang sedang berada di sebuah kafe bergaya Eropa. Foto yang sama yang diberikan Rian padanya.

"Lo dapet dari mana?" tanya Claudya.

"Rian."

"Oh."

"Gue paling suka ekspresi lo yang bahagia seperti ini, Clau."

"Gue juga suka ekspresi ini. Gue juga rindu merasakan kebahagiaan."

***

[1127 kata]

Aku nulis apaan, dah? *Tepok jidat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top