T.h.i.r.t.y

Claudya refleks memejamkan mata saat hangat cahaya mentari menerpanya ketika ia baru saja keluar dari mobil. Ia memerhatikan bangunan menjulang di hadapannya. Ah, sudah berapa minggu ia tak menginjakkan kaki di sini?

"Pak Tarno, nanti jangan jemput," ucap Claudya.

"Kenapa, Non?"

"Mau konseling dulu sama ayahnya Magenta."

"Konseling sama ayahnya atau kencan sama anaknya?" gurau Pak Tarno.

Claudya terkekeh mendengarnya. "Konseling, Pak, serius!"

Pak Tarno mengacungkan jari jempolnya. "Oke, Non. Bapak jadi bisa ngajak Bungsu jalan-jalan nanti sore."

"Yaudah aku masuk," pamit Claudya.

Selanjutnya Claudya masuk dengan perasaan yang jauh lebih lega dari sebelumnya. Tidak ada lagi beban yang memberatkan pundaknya. Ia sudah memegang kendali atas hidupnya. Sekarang ia sudah bisa melakukan apapun yang ia inginkan.

Kelas masih lumayan kosong. Claudya langsung duduk di tempatnya. Ia mengeluarkan komik keluaran terbaru yang mungkin diterbitkan saat ia sedang dirawat. Saat Claudya ke toko buku kemarin, ternyata komik itu sudah hampir kehabisan.

Ketika asyik membaca, tiba-tiba seseorang mengetuk-ngetuk meja Claudya. Sontak cewek itu mendongak.

"Boleh gue duduk?" tanya Jessica.

Claudya mengernyitkan dahi. Ia merasa heran pada sikap Jessica. Biasanya juga kalau cewek itu mau duduk di bangku orang langsung aja duduk. Ngapain sekarang minta izin segala?

"Hm."

Jessica akhirnya duduk di tempat Magenta. Ia sedang mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan seluruh penyesalannya pada Claudya.

Claudya memerhatikan tangan Jessica yang bertaut di meja. Terlihat jelas bahwa Jessica gugup. Namun, kenapa?

"Gue ... gue mau minta maaf," ucap Jessica sembari menundukkan kepalanya karena takut melihat netra Claudya.

"Untuk?"

"Gue yang memprovokasi dokter Natasya biar selalu marahin lo. Gue cerita semua kejelekan lo yang sepenuhnya nggak benar."

"Oh itu. Apa alesan lo lakuin itu?"

"Hm, gue cuma nggak suka lo deket sama Magenta."

"Yakin cuma itu?"

"Dan ... gue sebenernya nggak suka lo sejak ospek dulu. Lo selalu mendapat pujian dari semua orang karena kesempurnaan lo itu."

"Gue hargain keberanian lo buat jujur sekarang. Tapi, gue juga nggak bisa melupakan setiap tindakan lo ke gue."

"Gue harus gimana supaya lo bisa maafin gue?"

"Nggak harus ngelakuin apa-apa. Bersikap biasa aja seperti sebelumnya. Karena meskipun lo saat ini minta maaf, gue nggak mungkin bersimpati dan mengajak lo temenan apalagi sampai ngelepas Magenta demi lo." Claudya tahu ucapannya yang sarkas pasti membuat Jessica sakit. Namun, ia tak bisa berpura-pura memafkan padahal dalam lubuk hatinya ia masih menyimpan rasa benci.

"Lo cinta sama Magenta?" tanya Jessica tiba-tiba.

"Entah, gue nggak tahu apa artinya itu. Gue cuma ingin berada di sekitarnya karena gue nyaman."

Jessica memalingkan wajah. Susah payah ia menahan air matanya agar tak keluar. Setelah tahu perasaan Claudya juga sama dengan perasan Magenta, mungkin inilah akhirnya; ia harus merelakan Magenta agar mereka bahagia.

Jessica berdiri dan berjalan perlahan ke bangkunya. Satu hal yang ia petik hikmahnya dari kenyataan ini bahwa hati seseorang tak mungkin dapat ia ubah sesuai kehendaknya. Perasaan Magenta sungguh tak dapat ia taklukan.

***

Claudya sudah menyelesaikan konselingnya dengan Indra. Saat ini ia berdiri di depan kamar Magenta. Hatinya ragu-ragu, apakah harus mengetuk kamar Magenta atau menunggunya keluar?

Setelah lama mematung, seseorang dari dalam kamar membuka pintu itu. Mata Claudya membulat. Sedangkan Magenta tak kaget sama sekali ketika melihat Claudya. Malah, ia tersenyum dan mengajak Claudya masuk.

"Lo udah berapa lama berdiri?" tanya Magenta. Cowok itu mengeluarkan beberapa alat lukis milik ayahnya. Mereka berencana untuk melukis sore ini.

"Baru."

Magenta mengangguk-ngangguk. "Sekarang lo mau lukis apa?"

"Foto keluarga gue," jawab Claudya mantap.

"Ah, oke. Selagi lo melukis, gue mau belajar."

"Loh, katanya mau ngelukis bareng?" Claudya jadi bingung dengan sikap Magenta.

"Kan lo sendiri tahu talenta gue cuma di bidang fotografi."

"Oh iya. Yaudah selamat belajar."

Claudya langsung mengambil kanvas dan memulai ritualnya mencampurkan cat warna di benda itu untuk membentuk sesuatu yang disebut lukisan.

"Lo jadi ngambil kedokteran?" tanya Claudya di sela-sela kegiatannya.

"Jadi. Kenapa? Lo mau pindah haluan ke kedokteran?"

"Setelah gue pikir-pikir lagi, gue memang satu-satunya pewaris Papa. Kalau misal gue nggak ambil kedokteran, siapa yang bakal ngurus rumah sakit keluarga gue? Kayaknya gue emang harus jadi dokter."

"Serius alesan lo cuma itu?"

"Memang apalagi?"

"Barangkali lo mah tiap hari bareng gue."

Mendengar celotehan Magenta, Claudya langsung melemparkan kuas yang dipegangnya. "Ngawur lo."

"Claudya, kuas lo ada catnya."

Posisi Magenta saat ini adalah telungkup dengan beberapa buku berserakan di kasur. Otomatis kuas Claudya menempel dengan spreinya. Meninggalkan banyak bercak biru di sana.

"O-ow, maaf, Genta." Claudya langsung ke kamar mandi dan membasahi handuk kec Magenta. Handuk itu ia gunakan untuk menghapus cat yang menempel di sprei. Namun, sia-sia saja karena cat itu permanen.

"Udah nggak papa, tinggal ganti sprei."

Claudya mengambil satu buku tebal di kasur. "Lo baca ini apa nggak pusing?" tanya Claudya.

"Enggak. Bacanya bertahap nggak sekaligus satu buku."

Claudya mengangguk paham. "Ajarin gue." Cewek itu duduk di samping Magenta dan mulai membuka halaman pertama.

"Lo mau belajar apa melukis sebenarnya?" Magenta kini bingung.

"Belajar."

"Tumben."

"Ayo, biar kita bisa masuk kedokteran bareng."

Magenta terkekeh. Lalu, ia menyuruh Claudya membaca itu dan menanyakannya apabila ada kalimat yang tidak ia mengerti.

Magenta amat senang karena perubahan Claudya semakin terlihat. Ia menyaksikan setiap ekspresi Claudya yang dipenuhi dengan kegembiraan. Memang begitulah seharusnya Claudya hidup. Claudya harus bisa bahagia.

"Genta?"

Magenta tersentak. "Hm?"

"Ngelamun? Gue tanya ini." Claudya menunjuk salah satu bagan yang tidak ia mengerti. Magenta dengan sabar menjelaskan dengan bahasa sesederhana mungkin.

Claudya melanjutkan lagi membaca. Magenta memerhatikan wajahnya dari samping. Bagaimana bisa orang tua Claudya menuntut Claudya untuk hidup sempurna? Padahal dalam diri Claudya kesempurnaan itu sudah terlihat jelas. Claudya memiliki paras yang cantik dan hati yang luar biasa baik. Segala sarkasmenya hanyalah sebuah benteng yang ia bangun agar semua orang segan padanya. Dan Magenta sudah berhasil merobohkan benteng itu. Kini, Claudya sudah menjadi dirinya sendiri. Perempuan yang hobi melukis dan memiliki semangat tinggi.

"Claudya?" panggil Magenta.

"Hm?"

"Apa yang lo rasakan saat ini?"

Mendengar pertanyaan Magenta, Claudya menaruh bukunya dan menatap cowok itu seraya tersenyum.

"Gue bahagia. Akhirnya setelah lebih dari tujuh belas tahun dirantai oleh kedua orangtua gue, gue bisa bebas. Gue bisa melakukan hal-hal yang gue sukai. Sekarang gue memegang kendali penuh atas hidup gue," jelas Claudya. Ia terlalu antusias menjelaskan bagaimana rasa bahagianya saat ini.

"Bukan itu maksud gue."

"Lalu?"

"Bagaimana perasaan lo ke gue?"

Deg!

Jantung Claudya hampir melompat dari tempatnya.

"Maksudnya?"

"Gue suka sama lo. Dan gue ingin tahu perasaan lo ke gue gimana?"

Claudya diam sejenak. "Gue nggak tahu. Ini pertama kalinya gue bisa deket sama seseorang dalam waktu yang cukul lama. Gue nyaman lo ada di sekitar gue. Tapi, gue nggak bisa menyimpulkan kalau itu perasaan suka."

"Ah, begitu."

"Gue harap lo mau menunggu lagi beberapa waktu buat memastikan perasaan gue."

"Tentu."

***

-The End-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top