S.i.x.t.e.e.n
Matahari menyembul menyudahi malam panjang Claudya. Cewek itu terbangun dengan kondisi yang amat kacau. Kepalanya terasa berat. Ia berkali-kali memijat pelipis untuk menghilangkan pusing. Tubuhnya lemas, bahkan untuk berjalan ke kamar mandi saja ia tak sanggup. Claudya memaksakan berjalan dengan cara merayap pada tembok.
Claudya menatap dirinya di cermin. Wajah penuh kesedihan itu lagi. Ia muak terhadap keadaan yang membuatnya sekacau ini. Claudya menyalakan shower, membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya. Isak tangis yang sedari malam ia tahan tumpah seketika. Air matanya kembali dibasuh oleh dingin air dari atas sana.
Claudya sudah tak bisa membayangkan apa yang akan ia lalui setelah ini. Ia hanya ingin terus tertidur, menghilangkan segala pikiran negatif dan mengistirahatkan otaknya yang terus dipaksa berpikir.
Setelah membiarkan air dingin itu membasahi tubuhnya, Claudya menggigil. Ia langsung meraih handuk yang tergantung dan keluar. Rasa pusing yang menderanya ia abaikan sejenak.
Claudya bergegas memakai seragam, membubuhkan bedak tipis-tipis pada wajahnya agar tak terlalu pucat, dan memoleskan sedikit pelembab bibir. Kemudian, ia keluar dari kamarnya yang ternyata sudah tak terkunci lagi. Claudya akan melewatkan sarapannya. Kedua orang tuanya pun sepertinya masih berada di kamar mereka. Ini kesempatan bagi Claudya untuk pergi lebih dulu dan tak perlu bertatap muka dengan kedua orang tuanya.
Pak Tarno sedang memanaskan mobil. Begitu melihat Claudya sudah keluar, lelaki tua itu langsung membukakan pintu.
"Non udah sarapan?" tanya Pak Tarno.
"Belum."
"Mau mampir ke suatu tempat?"
"Nggak usah, Pak. Biar nanti sarapan di kantin aja."
Pak Tarno tak bertanya lagi. Ia takut mood Claudya semakin memburuk. Pak Tarno melajukan mobilnya dalam kecepatan sedang. Lalu lalang kendaraan belum padat karena masih cukup pagi.
Sesampainya di sekolah, Claudya malah bertemu dengan perusak mood sesungguhnya. Magenta baru saja turun dari motor.
Magenta memerhatikan Claudya yang keluar dari mobil. Ia ingin sekali menanyakan bagaimana keadaan cewek itu. Namun, ia mengurungkan niatnya. Ia sadar, semua masalah berawal dari Magenta. Maka sebisa mungkin cowok itu tak akan menambah masalah baru.
Claudya mampir ke kantin dahulu. Ia memesan soto ayam dan susu hangat. Saat ia membawa nampan dan mencari tempat duduk, seseorang memanggil namanya untuk mendekat.
"Claudya!"
Mata Claudya membulat sempurna. Bagaimana mungkin ia bertemu dengan Rian dalam keadaan yang seperti ini?
Claudya ingin menghindar, tapi ia malah akan terlihat aneh. Untuk apa dia menghindari Rian? Claudya justru ingin bertanya perihal alasan Rian tak membocorkan identitasnya saat itu. Dengan langkah pelan akhirnya Claudya sampai di meja yang Rian duduki. Ia ikut duduk di depan Rian dan langsung menyantap sarapannya.
"Ternyata ada yang bocorin identitas lo duluan," ucap Rian memulai pembicaraan.
"Iya. Kenapa bukan lo yang membocorkannya?"
"Gue menghargai privasi orang."
"And?"
"Dan gue nggak suka kalau lo lebih terkenal dari gue."
Claudya menaikkan sebelah alisnya. "Lo nggak mau tersaingi?" tanya Claudya.
"Maybe ... yes."
"Santai. Lo masih dipuja banyak kaum hawa."
"Lo juga banyak dipuja kaum adam."
Claudya malah menanggapi dengan menaikkan bahunya tak acuh.
"Sayang banget semua orang terlalu takut buat mendekati lo. Kecuali temen sebangku lo itu yang terus aja jagain lo dari jauh udah kayak bodyguard aja."
"Magenta?"
"Hm."
"Apa yang lo tahu tentang dia?"
"Dia sepupu gue. Dia suka cerita banyak tentang lo. Gue nggak terlalu menyimak waktu itu, tapi saat tahu wujud Claudya secantik ini gue jadi takjub. But, gue nggak bisa kalau harus nikung sepupu gue sendiri."
"Maksudnya?"
"Magenta suka sama lo."
"Hah?"
***
Audrey sampai di kelas dengan napas terengah-engah. Pagi-pagi begini keadaan sudah membuatnya harus berlari. Ia membawa info penting untuk sahabatny.
"Jess!" Belum juga duduk tenang di kursinya, Audrey sudah menepuk-nepuk pundak Jessica.
"Lo kenapa?"
"Gue ada info."
"Tarik napas dulu, tenang, kalem." Jessica mencoba meneneangkan Audrey yang seperti habis dikejar setan.
"Lo tahu Magenta sepupuan sama Rian?"
"Kata siapa lo?"
"Gue tadi abis sarapan di kantin dan gue nguping pembicaraan Rian sama Claudya."
Audrey menceritakan secara detail pembicaraan antara Ketos dan teman sekelasnya. Tak dikurangi dan tak dilebihkan.
"Dan lo tahu? Ternyata Magenta emang suka sama Claudya!" Audrey memekik membuat Jessica mau tak mau harus membungkam mulut Audrey dengan tangan.
"Pelanin suara lo." Audrey melepaskan tangan Jessica.
"Jess, ini ancaman buat lo."
"Gue bakal ngungkapin perasaan gue sama Magenta sekarang."
Bel masuk sudah berbunyi, seluruh murid bersiap di tempatnya masing-masing. Claudya menjadi siswi terakhir yang masuk kelas. Di belakangnya Pak Firman, guru kesenian menyusul masuk.
Jessica memerhatikan Magenta di belakang sana. Lalu, pandangannya beralij pada Claudya yang sedang menelungkupkan wajah di antara lipatan tangan. Pokoknya Jessica harus bisa menyingkirkan Claudya dari sisi Magenta.
Waktu berlalu begitu saja, Jessica sama sekali tak menyerap pelajaran yang disampaikan Pak Firman. Bel pergantian pelajaran sudah berbunyi lagi.
"Mohon perhatian. Kepada para guru dan staff tata usaha dimohon berkumpul di ruang rapat. Terima kasih." Sebuah pengumuman dari pengeras suara membuat seluruh murid bersorak.
"Yes, jamkos."
Jam kosong adalah saat yang paling dinanti oleh mereka. Kelas terpecah beberapa kelompok. Kelompok drakor seperti biasa sudah mojok menyalakan laptop dan anteng menonton. Kelompok rebahan sudah mulai mencari tempat nyaman untuk tidur.
Jessica menghampiri meja Magenta.
"Ta, gue mau ngomong."
Magenta cuma menoleh sekilas. Kemudian, cowok itu kembali fokus pada ponselnya.
"Ta, bisa keluar dulu?"
"Ngomong aja, Jess!"
"Gue suka sama lo."
Magenta kaget dengan pengakuan Jessica yang terkesan blak-blakan. Untungnya semua murid sedang sibuk dengan kegiatannya jadi tidak ada yang mendengar ucapan Jessica. Cewek di sampingnya pun sedang tertidur. Magenta yakin Claudya tak mendengarkan.
"Maksud lo ngomong kayak gini?"
"Gue mau lo jadi pacar gue."
"Jess, gue hargain keberanian lo buat bilang ini. Tapi, gue sama sekali nggak bisa mewujudkan keinginan lo."
"Gue mau lo jadi milik gue, Ta."
"Gue suka cewek lain."
"Apa kelebihan Claudya daripada gue? Dia cuma cewek pendiem yang kerjaannya tidur di kelas. Dia sok sempurna, dia cuma mau pamer, dan dia sama sekali nggak cocok buat lo."
Sayup-sayup Claudya mendengar namanya disebut. Claudya mengangkat wajahnya menatap Jessica yang sedang menahan amarah. Kepala Claudya sakit luar biasa dan pandangannya tiba-tiba mengabur.
"Lo nggak boleh ngomong kayak gitu, Jess."
"Cewek kayak Claudya nggak pantes buat lo, Magenta!"
Claudya menggebrak meja dan bangkit dari duduknya. Ia tak menjawab hinaan Jessica. Cewek itu langsung berjalan keluar kelas. Namun, baru beberapa langkah tubuhnya terasa lemas dan ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya ambruk di lantai. Kepalanya bertambah sakit dan ia kehilangan kesadaran.
Ini bukan kali pertama Claudya pingsan. Magenta sudah pernah membawa Claudya ke UKS. Kali ini pun cowok itu langsung membopong Claudya lagi.
Sampai di UKS dokter yang dulu memeriksa Claudya berdecak saat Magenta meletakkan tubuh Claudya di brankar.
"Kebiasaannya ini anak, duh." Dokter itu memeriksa denyut nadi Claudya yang lemah.
"Memang Claudya ini sakit apa, Dok?" tanya Magenta penasaran.
"Dia nggak ngasih tahu kamu?"
"Dia orangnya nggak pernah cerita."
"Ah, yasudah kamu tanya dia nanti kalau udah sadar."
"Dia nggak bakal ngasih tahu. Saya bisa jaga rahasianya."
Dokter itu menimbang-nimbang apakah harus memberi tahu Magenta atau tidak.
"Dok, biar saya bantu Claudya." Magenta terus membujuk.
"Dia sering mengonsumsi obat tidur."
Magenta tercengang. Seberat itukah masalah Claudya sampai harus mengonsumsi obat tidur untuk melupakannya?
***
[1149 kata]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top