s.e.v.e.n.t.e.e.n

"Lo apain Claudya, Jess?" tanya Niki saat Claudya sudah dibawa Magenta ke UKS.

Jessica menggigiti kukunya karena merasa takut. "Gue sama sekali nggak nyentuh dia."

Jessica bilang tak menyentuh Claudya, tetapi hampir semua orang di kelas tak memercayainya. Mereka tahu lokasi Claudya jatuh tidak jauh dari lokasi Jessica berdiri. Dan semua orang juga menyaksikan ketika Magenta menyalahkan Jessica. Mereka pasti beranggapan Jessica adalah dalang yang menyebabkan Claudya tiba-tiba pingsan.

"Terus kenapa Magenta nyalahin lo?" tanya Audrey geram.

"Gue cuma bilang sama Magenta kalau dia nggak pantes sama Claudya. Cewek itu nggak terima dan tiba-tiba gebrak meja. Abis itu dia berdiri, berjalan mau keluar dan tiba-tiba aja pingsan."

Jessica mulai terisak. Niki sigap mengusap punggung Jessica untuk menenangkannya.

"Lo nangis?"

Audrey dengan polos bertanya. Sudah hampir tiga tahun kenal Jessica baru kali ini Audrey melihat sahabatnya menangis.

"Gue nggak percaya Magenta bisa bentak gue kayak gitu. Sakit banget."

Jessica menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Perasaannya hancur. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, lalu diinjak-injak. Sudah nurunin harga diri buat minta Magenta jadi pacar, malah ditolak, sekarang dituduh bikin anak orang pingsan.

"Udah, Jess." Niki menepuk-nepuk pundak Jessica yang naik turun karena terisak.

"Gue bakal kasih pelajaran yang setimpal buat tuh cewek!" ucap Jessica mantap.

***

Magenta masuk ke kelas untuk mengambil barang-barang milik Claudya. Cewek itu sudah siuman dan ia minta menelepon sopirnya agar menjemput. Magenta sudah menawarkan untuk mengantarnya, tetapi Ckaudya bersikukuh menolak dan malah membentak Magenta.

"Gimana keadaan Claudya?" tanya Dion saat Magenta melewati mejanya.

"Udah siuman. Mau balik sekarang." Magenta menjawab lesu. Pikirannya sedang kacau karena kondisi Claudya yang memburuk akibat kecanduan obat tidur.

"Emang bener, ya, Jessica yang bikin dia pingsan?" Dion penasaran dengan kejadian sebenarnya.

"Enggak. Claudya emang lagi sakit."

"Terus kenapa lo bentak Jessica?" tanya Dion.

"Dia jelek-jelekin Claudya."

"Dan lo nggak terima?"

Magenta mengangguk.

"Ajaib. Lo beneran udah cinta mati sama Claudya!"

"Kalau Jessica nggak mancing emosi Claudya tadi, dia juga nggak akan pingsan. Dia bakal tetep tidur di meja. Gue kesel aja, kok, bisa ada orang yang omongannya nggak bisa di-filter."

Dion mencoba melihat situasi bukan hanya dari sudut pandang Magenta. Ia juga mencoba memahami situasi Jessica yang sedang marah karena mengetahui Magenta menyukai Claudya.

"Tapi, lo nggak bisa sepenuhnya marah juga, Ta. Bayangin lo suka sama orang, tapi orang itu nggak suka sama lo. Lo pasti marah, kan?"

"Gue bakal marah, tapi nggak nyampe hina orang! Lagipula urusan hati nggak bisa dipaksa, Yon."

"Iya, gue ngerti, Ta. Tapi, nggak semua orang karakternya kayak lo. Ada juga orang yang temperamen, emosian ... "

"Lo sebenernya belain siapa, Yon? Belain Jessica?"

"Nggak, gue ... "

"Lo suka sama Jessica?"

Dion diam. Ia tak bisa membantah, tapi tak mau mengiyakan juga.

Magenta langsung berlalu begitu saja ke mejanya dan mengambil tas Claudya. Ia juga mencari kotak nasi yang biasa Claudya simpan di kolong meja. Namun, tangannya malah menemukan sesuatu yang lain. Wadah kecil berisi beberapa butir obat. Magenta langsung menyembunyikannya di saku celana. Jangan sampai orang lain melihat ini. Bisa-bisa Claudya dianggap memakai narkoba.

Cowok itu kembali ke UKS. Sopir Claudya ternyata sudah sampai. Lelaki tua itu memapah Claudya keluar.

"Ini tas Claudya, Pak."

"Terima kasih udah diambilin. Maaf ya karena ngerepotin terus."

"Nggak pa-pa, Pak." Magenta menatap mata Claudya yang sayu. "Semoga lekas sembuh Claudya."

Claudya tak memiliki tenaga untuk menanggapi Magenta. Cewek itu sudah risih pada kepedulian Magenta. Cewek itu benci pada perasaan Magenta yang membuat semuanya menjadi rumit.

***

"Yah, ini apa?"

Magenta sedang berada di ruang kerja ayahnya. Cowok itu menyerahkan obat yang ditemukannya di kolong meja Claudya.

"Obat tidur, diazepam. Kamu dapet ini dari mana?" tanya ayahnya.

"Punya temenku."

"Temenmu mengonsumsi ini?"

"Iya, Yah. Tadi pingsan di kelas."

"Wah, ini bahaya, Genta."

"Bahaya gimana, Yah?"

"Obat ini rentang terapinya sempit soalnya bekerja langsung di saraf pusat. Nggak boleh sembarangan juga minumnya harus pake resep dokter yang lengkap."

"Terus?"

"Terus bisa menyebabkan overdosis kalau nggak pake resep. Obat ini kan diminum biar bisa ngobatin insomnia, kalau misal diminumnya nggak sesuai resep dokter bisa-bisa tidur terus nggak bangun lagi."

Indra, ayah Magenta adalah seorang psikolog. Ia mempelajari berbagai jenis obat yang berhubungan dengan orang depresi, salah satunya hipnotik. Ia sudah hapal di luar kepala efek samping dan risiko terbesar mengonsumsi obat tidur.

"Temanmu ini ada tanda-tanda lagi depresi nggak?" tanya Indra. Magenta yang sedang bengong langsung terperanjat.

"Akhir-akhir ini dia sering melamun."

"Terus?"

"Agak sensitif."

"Pernah nyakitin dirinya sendiri?"

"Aku pernah ngelihat dia jambak rambutnya kenceng banget."

Indra diam sejenak. "Lain kali bawa temanmu ke rumah, ya?"

"Ngapain?"

"Ayah kau meriksa kondisinya sudah separah apa."

Magenta berpikir. "Tapi, Yah, dia nggak suka Magenta mengusik hidupnya lagi.

"Dekati pelan-pelan."

Magenta mengangguk. Tidak ada salahnya ia mencoba.

***

Magenta menatap langit-langit kamarnya. Ia memikirkan ucapan Jessica tadi siang. Bagaimana bisa cewek itu tahu kalau ia menyukai Claudya?

Magenta langsung meraih ponsel dan menelpon Dion. Panggilannya langsung dijawab dengan deheman di seberang sana.

"Yon, lo bilang ke Jessica kalau gue suka sama Claudya?"

"Nggak."

"Terus siapa yang bilang? Yang tahu cuma lo."

"Yakin cuma gue?"

Magenta memikirkan lagi pada siapa ia menceritakan Claudya. Ah, Rian!

"Kayaknya Rian yang bilang."

"Sepupu lo?"

"Hm."

"Gue pernah lihat Rian sama Claudya duduk di pinggir lapangan sepak bola waktu kita main sampe sore."

"Serius lo? Bukannya Claudya pulang karena nggak ada les?"

"Dia ada di jajaran kursi paling belakang sama Rian."

"Apa Rian suka juga sama Claudya?"

"Tanyain ke orangnya."

Magenta mengiyakan. Ia akan menutup telepon, tapi Dion malah menyuruhnya untuk mendengarkan cowok itu.

"Gue minta maaf soal yang tadi siang."

"Gue juga. Lagi khilaf."

"Gue emang suka sama Jessica. Gue nggak bilang karena gue tahu dia suka sama lo."

"Iya, gue tahu. Sekarang lo bisa deketin dia, karena lo tahu gue nggak suka dia."

"Ta, tapi Jessica nggak sejahat itu. Dia cuma nggak rela lo sama Claudya."

"Iya."

"Maaf, ya, Ta. Gue harap persahabatan kita nggak rusak cuma gara-gara masalah ini."

Magenta langsung menutup telepon. Bagaimana bisa seorang Dion yang biasa ribut dengan Jessica malah berakhir menyukai cewek itu?

Ah, cinta memang tak pernah butuh alasan.

Magenta mengirim pesan pada sepupunya agar besok menemuinya di rumah. Ia ingin tahu alasan Rian memberi tahu Claudya masalah perasaannya.

***

[1027 kata]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top