O.n.e

Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring melenyapkan kesunyian di meja makan. Ketiga manusia yang duduk di sana fokus pada hidangan lezat di hadapan mereka dan ada tak ada satu pun yang berniat memulai percakapan.

Claudya buru-buru melahap sandwich di piringnya. Ia berdiri, hendak mengambil tas di kamar lalu berangkat ke sekolah. Namun, sang ibu menghentikannya. "Kami belum selesai makan, Clau."

Oke, mungkin Claudya memang tak sopan karena menyudahi sarapannya lebih dulu. Namun, ayolah, siapa yang akan betah duduk bersama mereka dan terdiam dalam suasana mencekam ini?

Terpaksa Claudya kembali duduk di tempatnya. Tangan kanannya ia gunakan untuk menopang dagu, sedangkan tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja.

Natasya, sang ibu, memerhatikan Claudya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sesuatu yang berbeda dari putrinya mengganggu wanita cantik itu. "Pipimu sekarang berisi, Clau," komentarnya.

"Iya," jawab Claudya singkat. Pipinya memang berisi karena selama liburan sekolah kegiatannya hanya membaca komik, menonton televisi, ngemil, dan tidur.

"Berat badanmu naik berapa kilo?" tanya Natasya lagi.

"Nggak tahu."

"Nanti sore kamu ke klinik Mama. Kamu harus diet." Claudya langsung melotot mendengar titah ibunya. Ia melipat kedua tangannya di dada. Wajahnya memerah menahan kesal. Bukan sekali-dua kali ibunya seperti ini. Claudya bahkan sudah bosan dijejali sayuran setiap kali ada beberapa lemak terlihat di area tubuhnya.

Natasya memang seorang dokter kecantikan. Ia memiliki klinik kecantikan di daerah Jakarta Selatan. Sebagai orang yang peduli pada kesempurnaan fisik, Natasya menganggap kecantikan harus dirawat sedemikian rupa. Menjaga pola makan, makan makanan bergizi seimbang, tidur teratur, dan hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan benar-benar harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Claudya ibunya tidak salah karena menyuruh Claudya menjaga tubuhnya. Namun, kadang Claudya merasa kesal karena beliau menekannya terlalu berlebihan.

"Segitu ganggunya pipi aku, Ma?" tanya Claudya. Suaranya sedikit naik karena amarah mulai menguasai dirinya. Pagi-pagi begini ibunya sudah mengacaukan mood Claudya. Padahal hari ini adalah hari pertama Claudya masuk sekolah. Ia ingin semuanya berjalan sesuai harapannya.

"Semua orang ingin tubuhnya ideal, Clau. Kamu lihat pasien-pasien Mama bahkan mau membuang uangnya demi tampil cantik."

"Punya pipi berisi juga nggak mengurangi kecantikan, kok, Ma. Cantik itu nggak melulu soal fisik, Ma." Claudya bosan membicarakan hal yang sama berulang-ulang. Ibunya tetap keras kepala.

"Iya, memang pipi berisi nggak mengurangi kecantikan, tapi mulut orang-orang usil tetap saja nggak bisa dibungkam. Mereka pasti akan mengomentari kekurangan kita. Meskipun kekurangan itu cuma secuil."

Natasya sering dipuji karena parasnya yang menarik dan tubuhnya yang ideal. Meski sudah pernah melahirkan, tidak ada lemak yang bertumpuk di area perutnya. Natasya sangat peduli pada bentuk tubuhnya. Setelah melahirkan, ia fokus pada program diet. Ia terlalu takut dikritik, dibilang ibu menyusui tak bisa rawat dirilah, ibu menyusui gendutlah, atau ibu menyusui kulitnya akan kendur dan cepat menua. Menurutnya kritikan itu menyakitkan. Alih-alih membuatnya termotivasi, Natasya malah akan terpuruk. Beliau tidak mau hal itu terjadi pada Claudya. Maka dari itu, ia menyuruh Claudya memperlihatkan segala hal-hal baik agar orang lain tak menemukan cela dalam diri putrinya.

"Itu urusan mereka. Mereka punya mulut, punya kebebasan berpendapat. Aku nggak bisa nutup mulut-mulut mereka, aku cuma tinggal nutup kedua kuping, kok."

"Tapi, Clau ...."

"Apa kalian tidak bisa sehari saja tidak berdebat?" Suara berat Herlambang, ayah Claudya, menginterupsi perdebatan antara Claudya dan ibunya.

"Aku cuma mau Clau mengurangi lemak di pipinya. Itu saja. Putrimu ini yang keras kepala." Natasya membela diri.

Claudya memutar bola mata. Selalu saja begitu. Semua kesalahan akan dilimpahkan pada Claudya. Padahal gadis itu tahu semuanya bermula dari ucapan ibunya. Kali ini Claudya bungkam. Semakin ia bicara, ibunya akan semakin menekannya.

"Rukunlah kalian, masa ibu dan anak berdebat terus." Herlambang sudah menyelesaikan sarapannya. Kini ia memerhatikan Claudya. "Oh iya, Clau, Papa lupa mau bilang sesuatu." Ayahnya menggeser piring yang telah kosong dan mengeluarkan beberapa berkas dari tas kerjanya. "Kamu pilih universitas mana yang cocok buatmu. Semuanya sudah terakreditasi A dan jurusan kedokteran di sana sudah menghasilkan lulusan-lulusan terbaik. Papa merekomendasikan di universitas yang ini." Papanya menunjuk salah satu berkas.

Claudya membaca nama-nama universitas tersebut dan seketika mengernyitkan dahi. "Ini di luar negeri semua, Pa?" tanya Claudya.

"Iya."

"Aku nggak yakin bisa masuk di salah satunya," ucap Claudya. Ia menggigit bibir bawahnya, gelisah.

"Kenapa nggak yakin? Nilaimu semester kemarin bagus. Kamu bahkan bisa menggeser posisi temanmu yang dari kelas satu meraih ranking pertama. Itu artinya kamu mampu masuk salah satu universitas ini."

"Eng, tapi, Pa ...."

"Nanti Papa carikan guru les terbaik yang bisa bimbing kamu." Papanya berdiri dan mengambil tas kerjanya. "Sudah, ya, pagi ini ada operasi."

Berbeda dengan profesi Natasya, Herlambang berprofesi sebagai dokter bedah. Semasa sekolahnya ia dijuluki kutu buku, karena kegemarannya membaca dan menggali ilmu. Claudya kagum dengan ayahnya. Namun, ia juga kadang kesal. Sama seperti sang ibu, ayahnya pun sering menyuruh Claudya menuruti perkataannya. Lelaki itu selalu menekan Claudya untuk belajar, belajar, dan belajar. Ia ingin Claudya menjadi dokter sama seperti dirinya.

"Ma, aku nggak mau jadi dokter." Claudya mengadu pada ibunya meski tahu itu adalah tindakan sia-sia. Ibunya pasti mendukung semua rencana ayahnya.

"Memang kenapa? Itu pekerjaan yang mulia," jawab Natasya.

"Aku tahu Papa sama Mama cuma mau membuktikan ke orang-orang."

"Membuktikan apa maksud kamu, Clau?"

"Mama mau keluarga Papa memuji pencapaian kalian karena telah berhasil mendidik aku sampai sukses. Ma, kesuksesan seseorang nggak melulu dilihat dari profesi dan uang yang banyak."

"Kenyataannya uang menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang, Clau. Coba kamu lihat dulu Mama direndahkan oleh Nenek karena Mama hanya seorang anak dari keluarga biasa dan kuliah dengan mengandalkan beasiswa. Mereka merendahkan keluarga Mama yang tidak sesuai standar mereka. Bandingkan sekarang ketika Mama sudah mencapai segalanya, Nenek baru bisa menerima Mama."

"Ma, tapi menjadi dokter bukan cita-citaku."

"Turuti perkataan ayahmu."

Singkat, padat, jelas. Claudya sudah tak bisa lagi membantah. Jika diibaratkan, hidup Claudya itu seperti pertunjukan sirkus. Kedua orang tuanya adalah penjinak sekaligus pelatih, sedangkan Claudya adalah binatang yang dipaksa membuat penonton terhibur. Selama tujuh belas tahun ia menghirup oksigen di bumi, tak pernah sekali pun ia menikmati hidupnya. Kedua orang tuanya memegang kendali atas hidupnya. Ia hanya bisa mengikuti alur saja. Terus saja begitu. Sampai ia sendiri merasa lelah.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 06.30, sedangkan mobil Claudya malah terjebak macet. Pak Tarno yang merupakan sopir pribadi Claudya sejak kecil sudah berdecak kesal. Lelaki tua itu tak henti-hentinya menekan klakson guna membuat pengendara di depannya bergerak.

"Non, kita bisa terlambat," ucapnya. Ia melihat wajah Claudya murung. Seketika ia merasa bersalah karena mungkin tak bisa sampai di sekolah tepat waktu.

"Nggak pa-pa, toh hari ini nggak ada jadwal belajar, Pak," jawab Claudya. Gadis itu masih memandang ke luar, menyaksikan kendaraan yang berbaris dan maju sedikit-sedikit.

"Di depan kayaknya ada kecelakaan, Non."

"Hm."

Begitu Claudya menjawab, tiba-tiba seluruh pengendara saling membunyikan klakson. Rupanya kecelakaan di depan sudah berhasil dikendalikan polisi. Pak Tarno lega, karena ia tak akan terlambat mengantar Claudya.

Claudya masih diam, ia tak memedulikan suara bising di luar. Isi kepalanya jauh lebih berisik. Claudya sedang memikirkan cara untuk menolak keinginan ayahnya. Bagaimana pun ia tak ingin kuliah di luar negeri, apalagi harus mengambil jurusan kedokteran. Faktor utama yang membuat ia ragu adalah fakta bahwa ia berbeda dengan ayahnya. Ia tidak memiliki ambisi untuk meraih nilai tertinggi di setiap mata pelajaran. Ia juga tak ada niatan untuk menjadi dokter.

"Non, kenapa murung?" tanya Pak Tarno.

"Nggak pa-pa."

Pak Tarno sangat mengerti apa yang dirasakan Claudya. Ia menemani Claudya sejak kecil. Ia tahu seluk-beluk keluarga Herlambang yang menyimpan banyak rahasia. Namun, ia tak bisa membantu apa-apa, selain menyemangati Claudya.

"Kadangkala kita tidak memiliki pilihan, Non. Sekuat apa pun kita menolak dan ingin berhenti saja, hidup ini tak bisa berhenti begitu saja. Waktu terus berjalan. Mau tidak mau kita tetap harus mengikuti alurnya. Jangan sedih lagi, Non, Bapak jadi ikut sedih."

"Iya, Pak."

Alur kehidupan itu sungguh rumit. Namun, tetap harus dijalani. Oke, Claudya paham. Namun, bolehkah ia berhenti sebentar saja?

***

[1302 kata]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top