E.l.e.v.e.n

Mading ramai dikunjungi. Para murid kelas sepuluh mungkin masih asing dengan fenomena ini. Beberapa dari mereka mewawancarai kakak kelasnya. Mereka bertanya-tanya, kiranya siapa pemilik inisal Dya? Mengapa hampir seluruh penghuni sekolah sangat penasaran dengan lukisan terbarunya?

"Kak, kenapa nggak ada yang kenal sama si Dya?" Siswi kelas sepuluh lagi-lagi bertanya pada kakak kelas yang baru saja melihat lukisan itu.

"Dia nggak pernah mengekspos dirinya ke publik. Kata ketua redaksi, sih, lukisan dia selalu ditaruh di depan pintu ruangan redaksi."

Untungnya kakak kelas yang satu ini baik hati dan tidak mudah risih karena siswi yang imut itu terus bertanya.

"Hebat banget bisa nyembunyiin identitas sedemikian rapat," gumamnya. "Oh, iya Kakak kelas berapa?"

"Dua belas."

"Lukisan ini muncul sejak kapan?"

"Pas gue kelas sepuluh semester kedua."

"Ah, berarti yang punya lukisan juga kelas dua belas?"

Kakak kelasnya mengedikkan bahu. Kemudian, ia melenggang pergi meninggalkan adik kelasnya yang masih belum puas mewawancarainya.

"Kok, gue nggak asing sama gambar ini," ucap Ketos SMA Tunas Bangsa. Rian namanya. Cowok most wanted SMA Taruna Bangsa yang penuh wibawa.

"Lo pernah lihat?" Teman di sebelahnya bertanya.

"Bentar gue inget-inget dulu."

Rian menaruh telunjuknya di dagu, berpikir. Ia seperti tak asing dengan bangunan bergaya Eropa itu. Kira-kira di mana ia pernah melihatnya?

"Ah, sial, gimana bisa gue sampe melupakannya?!" Rian memekik membuat seluruh orang yang berkerumun menoleh ke arahnya. Ia tertawa terbahak-bahak. "Gue inget orang ini."

"Suara lo kecilin, Rian." Temannya menarik tangan Rian menjauhi barisan orang yang masih terkagum-kagum oleh lukisan di mading. Oh, atau sekarang terkagum-kagum dengan suara Rian?

"Lo ngapain narik gue?"

"Lo emang seneng banget, ya, jadi pusat perhatian?"

Rian cuma nyengir tak berdosa. Sedari tadi ia nangkring di situ saja sudah banyak mata para cewek yang juling karena melihat terus ke arahnya. Apalagi kalau ia berteriak sambil tertawa, leher mereka bisa patah karena menoleh terus.

"Jadi, lo liat gambar itu di mana?"

Rian menceritakan kejadian hari minggu kemarin. Ketika ia berjalan-jalan di area kafe yang letaknya tak jauh dari toko alat lukis. Saat itu ia hanya iseng memotret lalu lalang kendaraan, para pejalan kaki, pedagang di pinggir jalan, dan banyak lagi momen yang bagus untuk diabadikan oleh kameranya. Rian adalah seorang fotografer amatir. Beberapa hasil fotonya sering ia pamerkan juga di mading.

Saat itu ia tak sengaja melihat tiga orang--satu lelaki tua, satu perempuan yang umurnya sebaya dengannya, dan satu lagi anak kecil--sedang menikmati hidangan mereka. Ia menyaksikan mereka tertawa lepas dari luar kafe. Beruntung kafe itu memiliki kaca besar yang kinclong, hingga Rian bisa melihat mereka dengan jelas.

Tangannya tergerak untuk mengabadikan momen membahagiakan mereka. Satu jepretan foto dengan hasil yang begitu memuaskan. Kamera polaroidnya langsung mencetak gambar. Ia tersenyum melihat hasilnya.

Rian sangat penasaran dengan cewek yang umurnya sebaya dengannya, karena Rian yakin ia pernah melihatnya di suatu tempat. Ia melangkahkan kakinya memasuki kafe bernuansa Eropa itu. Tali kameranya digantungkan di leher, tangan kirinya membawa foto cewek itu.

"Hai," sapanya saat ia menghampiri tempat cewek itu duduk.

"Ha-i?" Cewek itu kebingungan.

"Gue tahu gue nggak sopan karena memotret tanpa izin." Rian menaruh foto yang baru diambilnya di atas meja. "Gue cuma merasa momen itu perlu diabadikan."

Cewek itu memerhatikan fotonya lama sekali. Tiba-tiba ia meneteskan air mata. "Pak, aku kelihatan bahagia di foto ini," ucapnya pada lelaki tua di hadapannya.

"Non, Bapak harap Non selalu bahagia." Lelaki tua itu pun menangis haru.

"Boleh gue simpen fotonya?" tanya cewek itu pada Rian.

"Oh, tentu."

"Thanks."

"Ya. Gue boleh nanya?"

"Ya?"

"Apa kita pernah ketemu?"

"Ya. Gue tahu lo adalah Ketos di sekolah gue."

"Nama lo?"

Bel masuk berbunyi nyaring ke seluruh penjuru sekolah, menghentikan cerita panjang Rian.

"Jadi, namanya siapa?" tanya teman Rian yang sedari tadi menyimak.

"Nanti, ah, lo nggak inget ada ulangan kimia?"

Mereka berdua lari terbirit-birit. Satu per satu kerumunan membubarkan diri. Suara berisik di area mading langsung senyap.

***

Hari jumat Claudya tak ada jadwal les. Maka dari itu ia sengaja memperlambat jam pulangnya. Ia ingin berjalan-jalan dulu di area sekolah yang lumayan sepi. Claudya jarang menikmati waktunya di luar kelas. Ia terlalu sering di kelas atau mengbiskan waktu istirahat untuk membaca komik di perpustakaan. Ia hampir tidak pernah makan di kantin. Kecuali kalau kepepet banget karena ia lupa membawa bekalnya dari rumah.

Beberapa ekstrakulikuler yang aktif hari jumat yaitu sepak bola, paduan suara, voli, dan catur. Selama menyusuri koridor, Claudya mengintip beberapa kelas. Beberapa murid masih betah di kelas. Ada yang masih mengerjakan tugas, ada yang sedang mengobrol, ada yang masih piket.

Pandangannya jatuh pada mading di sisi kanannya. Ia menghentikan langkah dan menatap sebuah lukisan lama sekali. Senyumnya tiba-tiba saja terbit, membuat wajahnya berseri.

"Benar kata Agnes, lukisannya memang membawa kebahagiaan." Claudya menoleh, mendapati wajah Magenta yang bercucuran keringat. "Gue baru sekarang lihat lo senyum."

Claudya tak menganggapi. Ia kembali fokus pada lukisan itu. Sedangkan Magenta berjalan mendekat. Kini mereka berdiri bersisian.

"Gue ingin berterima kasih pada orang yang melukis ini karena sudah menebar kebahagiaan di sekolah hari ini."

Lagi, Claudya hanya diam.

"Kenapa lo belum pulang?"

"Gak ada jadwal les."

Magenta tersenyum, akhirnya ia mendapat sahutan dari Claudya. Pembicaraan ini jadi tak searah. Ada timbal balik sekarang. Dan Magenta tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang langka ini.

"Mau gue ajak jalan-jalan keliling sekolah?"

Claudya menatap Magenta. "Nggak perlu. Lo kayaknya butuh mandi."

Magenta langsung mengelap keringat di dahinya. "Ah, iya."

"Magenta!!!" Seseorang dari kejauhan berteriak memanggil nama cowok itu. Ia menoleh mendapati Dion sedang menghampirinya. "Main lagi. Adik kelas nantangin lo, tuh." Ketika Dion berada di dekat mereka, cowok itu langsung memerhatikan Claudya. Dion kaget sampai harus memegangi dada. Sepertinya ia merusak suasana di antara mereka.

"Gue harus menunda mandi kayaknya. Sampai jumpa hari senin," ucap Magenta sambil berlalu.

Claudya memerhatikan punggung Magenta yang kian menjauh. Tanpa sadar langkahnya mengikuti ke mana arah cowok itu pergi.

***

Pemandu sorak semakin berteriak lantang ketika Magenta berhasil mencetak gol untuk ketiga kalinya.

"Magenta!!!"

"Magenta!!!"

"Magenta!!!"

Claudya duduk di barisan penonton paling belakang. Ia tak percaya menyaksikan permainan sepak bola bisa begitu menyenangkan. Atau mungkin karena ada Magenta di sana? Cewek itu langsung menggeleng, mengenyahkan pikirannya sendiri.

Ia mengeluarkan buku gambar dan alat tulisnya. Tangannya lihai membuat sketsa cowok berperawakan tinggi yang sedang berlari menggiring bola ke arah gawang. Setelah menggambar kaos yang dikenakan cowok di gambar, terakhir ia menuliskan nomor punggung yang sama dengan yang ada di kaos milik Magenta.

Claudya melipat buku gambarnya dan memasukkan kembali ke dalam tas. Begitu melihat ke depan, tiba-tiba permainan sudah selesai dan orang-orang sudah meninggalkan lapangan. Ah, berapa lama tadi ia menggambar?

"Gambar lo bagus." Sebuah suara mengagetkan Claudya.

"Lo?" Claudya memerhatikan cowok yang kini duduk di sampingnya. "Rian?"

"Gue sekarang tahu pemilik inisial Dya."

"Hah?"

***

[1112 kata]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top