E.i.g.h.t.e.e.n
"Non, kita udah sampe," ucap Pak Tarno. Lelaki tua itu menoleh ke belakang, mendapati Claudya masih tertidur pulas. Ia tak tega membangunkan Claudya. Jadi, Pak Tarno memilih untuk menunggu gadis itu bangun.
Sekarang masih pukul 14.00. Seharusnya Pak Tarno menjemputnya satu jam lagi. Namun, karena insiden tak terduga, lelaki tua itu harus bergegas ke sekolah menjemput Claudya yang ternyata terbaring lemah di UKS. Beliau sempat menanyakan keadaan Claudya pada dokter yang bertugas di UKS, tetapi dokter tersebut tidak mau memberitahu keadaan Claudya sebenarnya. Dokter itu malah menyuruh Pak Tarno agar memerhatikan Claudya. Dokter bilang akan lebih baik jika Claudya selalu memiliki teman untuk berbagi cerita.
Pak Tarno sangat hapal tabiat Claudya. Majikannya itu tak terlalu suka berteman. Karena memiliki teman atau tidak, ia tetap merasa kesepian. Ia tak bisa bermain bersama temannya karena waktu miliknya sudah diatur sedemikian rupa oleh kedua orang tuanya. Cewek itu terlalu dikekang, sampai tak memiliki waktu untuk memikirkan dirinya sendiri. Kejadian ini bukan pertama kalinya. Saat SMP, Claudya sering pingsan karena kelelahan. Namun, anehnya Claudya selalu melarang Pak Tarno mengadu pada kedua orang tuanya.
Waktu berjalan cepat. Tak terasa sudah pukul 16.00. Claudya terbangun dan langsung memerhatikan sekelilingnya.
"Udah sampe?" tanya Claudya.
Pak Tarno yang sedang memainkan ponsel langsung menoleh ke arah Claudya. Lelaki tua itu tersenyum karena sepertinya keadaan Claudya sekarang sudah membaik.
"Udah, Non."
Claudya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Seketika matanya membulat. "Pak Tarno kok nggak bangunin aku?" Claudya sadar telah tertidur cukup lama. Ia merasa bersalah karena harus membiarkan Pak Tarno menunggunya.
"Nggak apa-apa. Non mau masuk sekarang?"
Claudya mengangguk.
"Laper," ucap Claudya. Ia memegangi perutnya yang berbunyi dan baru sadar kalau tadi siang ia belum sempat makan siang.
"Mau makan di rumah atau Bapak anter nyari makanan enak?" tanya Pak Tarno.
"Di rumah aja. Aku mau nyuruh Bibi masakin ramen."
"Jangan makan mie." Pak Tarno mengingatkan, tetapi Claudya malah menggelengkan kepala. Kalau sudah begini pasti Claudya kekeh mau makan mie.
"Sekali aja, Pak. Mumpung nggak ada siapa-siapa di rumah."
Akhirnya Pak Tarno menyerah. Ia keluar mobil, lalu membukakan pintu untuk Claudya. Ia berniat memberikan bantuan barangkali Claudya masih lemas untuk sekadar berjalan. Namun, ternyata cewek itu sudah berjalan memimpin. Dari langkahnya yang cepat, Pak Tarno yakin Claudya sudah kembali seperti sediakala.
Begitu masuk rumah, Claudya langsung duduk di meja makan dan meminta asisten rumah tangganya membuatkan ramen untuknya dan Pak Tarno.
"Makan sama aku, Pak."
Kalau sudah diminta menemani Claudya makan, Pak Tarno tidak bisa menolak. Jujur saja, lelaki tua itu juga menahan lapar sejak tadi siang.
"Non, kenapa udah pulang?" Asisten rumah tangganya mengantarkan ramen yang sudah dimasak.
"Iya, kangen ramen buatan bibi."
Claudya langsung menyantap ramennya dengan lahap. Asisten rumah tangganya tersenyum. Selain Pak Tarno, wanita ini juga hapal tabiat Claudya yang sering menyembunyikan masalah. Ia tahu keadaan Claudya pasti memburuk akibat semalam mengonsumsi obat tidur. Dirinya serba salah. Di satu sisi ingin memberi tahu kedua orang tua Claudya agar mereka bisa menghentikan kebiasaan Claudya itu. Di sisi lain, ia kasihan karena orang tuanya pasti akan menghukum Claudya jika tahu anaknya sering mengonsumsi obat-obatan. Bagaimana pun Claudya memiliki alasan mengonsumsi obat itu. Ia pasti butuh mengistirahatkan pikiranya.
***
Herlambang pulang lebih awal karena hari ini tidak ada jadwal operasi. Sedangkan Natasya harus lembur. Tadinya Herlambang akan mengajak istri dan anaknya makan di luar. Ini sebagai permintaan maaf karena ia telah berlaku kasar pada Claudya beberapa hari yang lalu.
Begitu sampai di rumah, Herlambang langsung membersihkan diri. Kemudian, ia bergegas ke dapur dan akan memasak makanan kesukaan Claudya.
"Bi, belum masak, kan?"
"Belum, Tuan."
Herlambang langsung mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kulkas.
"Tadi Claudya pulang jam berapa?" tanya Herlambang sambil mencincang daging ayam.
"Seperti biasa, jam tujuh."
Asisten rumah tangganya sudah diajak bersekongkol oleh Pak Tarno. Lelaki tua itu mengantisipasi supaya Claudya tidak terkena marah karena bolos pelajaran dan bolos les.
"Sekarang lagi ngapain dia?"
"Mungkin lagi mandi."
Herlambang tak bertanya lagi. Hari ini, ia akan memberikan Claudya kabar gembira. Pagi tadi, Herlambang mendapat informasi bahwa ada universitas di luar negeri yang menawarkan beasiswa untuk kuliah kedokteran. Ia ingin Claudya mengikuti tesnya.
Sebenarnya, Herlambang tak keberatan jika harus membiayai pendidikan Claudya, semahal apapun itu. Ia cuma ingin tahu kemampuan Claudya sudah sampai di mana. Maka dari itu, ia ingin Claudya mencoba peruntungan dengan mengikuti seleksi beasiswa ini.
Nasi gorengnya sudah siap. Herlambang membuka celemek yang terpasang di tubuhnya.
"Mau saya antarkan, Tuan? Atau panggil Non ke sini?" tanya asisten tumah tangganya.
"Saya antar sendiri ke kamarnya."
Asisten rumah tangganya langsung panik. Ia baru ingat belum memberitahu Claudya kalau ayahnya sudah pulang. Bagaimana jika di kamar Claudya sedang meminum obat tidur seperti kemarin-kemarin? Bagaimana bila Claudya kepergok oleh ayahnya?
Belum sempat asisten rumah tangga itu mencegah Herlambang, lelaki itu sudah berjalan menuju kamar Claudya.
Herlambang langsung membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Pintu kamar Claudya tak terkunci.
"Claudya, Papa bawakan nasi gor...." Perkataan Herlambang terputus saat matanya melihat Claudya sedang duduk sambil melukis di kanvas.
Claudya terperanjat saat pintu kamar tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok yang paling ia takuti.
"Papa?"
"Jadi, nilai jelek kamu kemarin bukan disengaja? Kamu emang males belajar dan memilih melukis, hah?" bentak Herlambang. Saat ini emosinya sudah mendidih dan siap ia luapkan pada Claudya. Herlambang menaruh nampan berisi nasi goreng buatannya dan mengambil palet lukis yang sedang dipegang Claudya. Ia membantingnya, hingga cat air di cekungan palet itu tercecer di lantai.
Herlambang tak pernah menyukai kegiatan melukis. Karena itu tindakan membuang-buang waktu. Ia sudah mengingatkan Claudya berkali-kali. Namun, Claudya masih saja membangkang. Maka, jangan salahkan Herlambang kalau kali ini ia bertindak di luar batas.
"Kamu mau melukis? Mau jadi pelukis? Kubur saja mimpimu itu. Papa nggak pernah setuju!"
Herlambang meraih kanvas yang baru setengah dilukis oleh Claudya. Ia membantingnya juga di lantai sampai rusak. Bahu Claudya langsung naik turun karena terisak.
"Apa untungnya jadi pelukis, hah?" Claudya tak menjawab. "Kamu nggak tahu usaha Papa buat bikin kamu jadi dokter? Kamu harus jadi dokter, Claudya! Kamu harus membuktikan pada semua orang bahwa kamu kompeten!"
"Pa, aku nggak mau jadi dokter!"
"Lalu, untuk apa Papa berjuang sampe sejauh ini? Papa udah bisa jadi Direktur rumah sakit, kamu harus meneruskannya. Buat kakek sama nenek bangga. Buat mereka supaya bisa menerima Mama karena Mama mampu mendidik kamu seperti yang mereka harapkan."
"Pa, ini hidup aku. Aku mau melakukan apa yang aku suka."
"Claudya! Hidupmu ada di tangan Papa. Kamu harus menurut!"
"Pa?"
"Diam!"
Herlambang membentak Claudya lagi. Kali ini tubuh Claudya merosot di lantai. Ia memeluk lututnya sambil terisak. Tangannya bergetar dan keringat dingin membuatnya kebas.
Herlambang langsung keluar kamar dan membanting pintu. Semua alat lukis Claudya hancur tercecer di lantai. Namun, ada yang lebih parah hancurnya, yaitu hati Claudya.
***
[1108 kata]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top