E.i.g.h.t
Hal pertama yang Claudya lihat saat membuka mata adalah wajah lelah Magenta yang memaksakan tersenyum.
"Lo udah bangun? Gimana kepalanya masih pusing nggak? Masih ngerasa lemes?" Pertanyaan Magenta yang berbondong membuat Claudya memutar bola mata.
"Berhenti bersikap sok peduli, Magenta."
Ucapan Claudya begitu menohok. Padahal jauh dalam lubuk hatinya ia merasa beruntung. Tenyata masih ada orang baik yang bersedia menolongnya.
Magenta tak menjawab ucapan menyakitkan Claudya. Cowok itu malah mengambil gelas berisi air putih hangat dan menyuruh Claudya meminumnya.
"Gue nggak haus," tolak Claudya.
Magenta menaruh kembali air itu di meja.
"Lo mau makan roti apa bubur?" tanya Magenta saat memberikan nampan berisi semangkuk bubur yang masih hangat dan satu bungkus roti. Tadi ia baru memesannya dari kantin saat ia makan siang. Dion menyuruhnya untuk mengisi perut. Karena katanya, jatuh cinta boleh asal jangan nahan laper karena nunggu orang yang dicintai siuman.
"Gue nggak laper."
"Untuk kali ini gue maksa lo buat makan."
"Lo siapa berani ngatur-ngatur gue?" Oke, Claudya tahu ia sudah sangat keterlaluan. Ia berniat untuk segera enyah dari UKS dan tak lagi berbicara dengan Magenta. Karena rasa bersalah kini mulai muncul dalam benaknya.
"Gue mau ke kelas."
Claudya mencabut infus di tangannya dan turun dari brankar. Rasa pening di kepalanya masih terasa membuat ia oleng dan akan ambruk lagi di lantai. Beruntung tangan Magenta refleks menahan tubuhnya.
"Lo masih lemes. Kali ini aja turutin gue. Makan dulu. Ntar gue anter lo pulang, abis itu gue janji nggak bakal ngatur-ngatur lo lagi."
Claudya menyepakati usulan Magenta. Cowok itu hendak menyuapi Claudya. Namun, tangan Claudya dengan cepat mengambil sendoknya.
"Gue bisa makan sendiri."
"Oke."
Claudya menghabiskan bubur itu dengan susah payah. Setelahnya ia meminum obat yang diberikan Magenta.
"Dokter yang masang infus mana?" tanya Claudya. Claudya hanya ingin memastikan jika dokter itu tak menemukan kejanggalan pada saat memeriksanya.
"Jadwalnya udah selesai, baru aja pulang."
"Lo punya nomer hapenya?"
"Kenapa?"
Claudya tentu saja tak bisa memberitahukan rahasianya. Ia tak mungkin membeberkan kalau tadi ia pingsan karena efek samping obat tidur semalam ditambah lelah berlari.
"Gak usah banyak tanya bisa? Lo tinggal ngasih gue nomernya."
Magenta meraih ponsel milik Claudya yanh berada di atas nakas dan mengetikan dua belas digit angka. Secepat kilat Claudya merebut ponselnya dan menelpon dokter itu.
"Hallo." Suara di sana menyapa lebih dulu.
"Ini Claudya. Apapun hasil diagnosis dokter pada saya pagi tadi, tolong jangan beritahukan pada Mama," pinta Claudya.
"Kenapa?"
"Saya mohon."
Claudya langsung mematikan sambungan telepon.
"Lo nyembunyiin apa?" tanya Magenta.
"Lo bisa nggak ikut campur dalam urusan gue? Berhenti bersikap sok peduli. Karena gue sama sekali nggak suka!"
***
Malam terlalu sunyi untuk dinikmati seorang diri. Tidak ada gemerlapan bintang sebagai penghias. Tidak ada cahaya bulan sebagai penerang. Serupa hati Claudya yang kosong dan senyap. Hanya ada embusan angin yang dinginnya nyaris membuat tubuh Claudya mati rasa.
Netranya memandang langit tanpa berkedip, seolah-olah ia sedang berbicara pada langit gelap itu. Menceritakan apa yang saat ini tengah ia rasa.
Ia tak begitu sedih ketika ibunya memarahi Claudya habis-habisan. Namun, entah mengapa saat membentak Magenta, ia ingin menangis. Ketika cowok itu menatapnya penuh dengan rasa khawatir. Ketika Magenta dengan lembut mempertanyakan kondisinya. Ketika cowok itu menawarkan untuk mengantarnya pulang. Mengapa Claudya malah mengatakan hal-hal yang melukai hati Magenta? Mengapa Claudya tidak mengucapkan terima kasih? Mengapa ia malah menyuruh Magenta menyingkir dari hidupnya?
Claudya tak tahu tindakannya itu benar atau salah. Di satu sisi ia sangat berterima kasih karena di antara teman sekelasnya yang banyak, cuma Magenta yang bersedia menemaninya. Namun, di sisi lain ia benci pada tindakan Magenta. Seolah-olah Claudya adalah perempuan lemah yang mengemis belas kasihan. Claudya membenci ketika ada orang yang mengetahui titik terlemahnya. Karena selama ini ia selalu berusaha menunjukkan kesempurnaannya. Ia takut beberapa orang dapat menemukan cela dalam dirinya.
Andai ia tidak terlahir dari rahim ibunya, mungkin kehidupannya tidak akan seperti ini. Jika ia dilahirkam dari keluarga miskin tetapi harmonis dan penuh kasih sayang, mungkin Claudya tak akan semenderita ini.
Dari atas balkon, Claudya melihat mobil ibunya baru saja memasuki garasi. Ia melihat arloji di tangan kirinya, pukul 00.20. Tak lama kemudian mobil ayahnya juga sampai di rumah. Claudya bergegas masuk ke kamar dan menyembunyikan diri di dalam selimut. Bisa bahaya jika ia ketahuan belum tidur.
Satu lagi yang Claudya benci karena terlahir di rumah megah ini; ia tak bisa bersama kedua orang tuanya setiap hari dan ia merasa tidak dicintai oleh keduanya.
***
Pelajaran terakhir yaitu bahasa inggris. Dari sekian banyak mata pelajaran di sekolah, Dion paling nggak suka sama pelajaran ini. Apalagi sama gurunya, Miss Elly, yang kalau ngomong bahasa inggris cepat banget. Dion sama sekali nggak menangkap kata yang diucapkan guru cantik itu, jadi gimana dia bisa menerjemahkannya ke dalam bahasa indonesia?
Berbeda dengan Dion, Jessica paling menyukai pelajaran ini. Ia fasih berbahasa inggris karena di rumah ayahnya sering berkomunikasi dengan bahasa itu. Namun, kalau urusan mencari ide pokok dan sejenisnya di soal ujian nanti, Jessica tetap mendapat nilai rendah. Entahlah, dia selalu terkecoh saat mengerjakan soal.
Kali ini tugas yang diberikan Miss Elly adalah membuat artikel berbahasa inggris. Ia menyuruh Magenta agar membuat kelompok belajar. Satu kelompok beranggotakan empat orang. Setelah memberi tugas, guru cantik nan modis itu mengakhiri kelas.
Jessica langsung gercep memanggil Magenta. "Ta, sekelompok bareng gue, ya?"
Magenta tak merespon. Cowok itu sibuk membuat bagan untuk memasukkan nama-nama kelompok kelasnya.
Dion celingukan. Ia mencari siswa pintar berbahasa inggris. Oh, tentu saja antara Robert dan Jessica, mereka kan keturunan bule. Namun, Dion berpikir lagi. Bagian tersulit dari tugas ini menyusun kalimat artikelnya. Kalau untuk menerjemahkan google translate juga bisa. Matanya langsung menatap Agnes dengan binar bahagia. Nah, itu dia ketua redaksi mading yang pinter ngolah kata.
"Nes, kita bareng, kan?" tanya Robert, "gue, lo, Icha, tinggal nyari satu lagi."
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Secepat kilat Dion langsung menghampiri meja mereka. "Satunya gue."
"Ogah kalo dia. Numpang nama doang di kertas tugas nantinya," tolah Robert mentah-mentah.
"Gue bisa nyari fakta-fakta akurat buat artikelnya," sanggah Dion.
Kelas saat ini ribut karena mereka berebut teman kelompok. Akhirnya Magenta mengusulkan ide briliannya.
"Gimana kalau kita berhitung aja satu sampai delapan terus ulang lagi, nanti yang nyebut nomor yang sama sekelompok."
"Gue nggak mau, gue mau sama Agnes," kata Robert. Huh, bucin kelas atas memang sudah tak bisa dipisahkan dari orang yang disukanya.
"Ini biar adil, yang pinter nggak sekelompok sama yang pinter lagi. Biar merata."
"Gue setuju sama usulan Magenta," ujar Agnes.
"Yang lain gimana?"
Sekolompok orang yang terbelakang tentu saja berteriak setuju.
Claudya pun setuju-setuju saja. Kalau berhitung begini, ia tidak mungkin sekelompok dengan Magenta.
Mereka mulai menghitung dan Magenta sudah menuliskan nama-namanya di bagan yang tadi ia buat.
Dion berhasil satu kelompok dengan Robert, incarannya. Jessica pun bahagia karena satu kelompok dengan Magenta. Sedangkan, Claudya bersikap biasa saja saat tahu satu kelompok dengan Agnes. Claudya malah meminta tugas bagiannya pada Agnes, karena ia tidak bisa kerja kelompok. Ia harus les. Agnes memberinya tugas untuk menyalin artikelnya saja pada kertas polio. Karena cewek itu tahu tulisan Claudya sangat bagus dan rapi.
Sepulang sekolah, beberapa kelompok menjadwalkan untuk kerja kelompok di kafe, sekolah, dan ada juga yang di rumah. Kelompok Claudya memilih kafe sebagai tempat berdiskusi. Agnes merekomendasikan kafe di belakaang sekolah ini karena suasananya yang tenang dan nyaman.
Claudya sudah memasuki mobil untuk pergi ke tempat les. Pak Tarno melihat wajah Claudya sangat murung. Beliau bertanya, "Non, kenapa?"
"Aku mau nongkrong juga di kafe bareng mereka," kata Claudya. Ia memerhatikan Agnes dan teman sekelompoknya sedang berjalan menuju ke tempat itu.
"Nanti sama Bapak aja, ya, hari minggu," ajak Pak Tarno.
"Beneran?"
"Iya, nanti Bapak ajak si Bungsu. Biar Bapak yang bilang sama Tuan. Nanti pasti diizinkan."
Senyum Claudya terbit mendengar ajakan Pak Tarno.
***
[1274 kata]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top