Bagian 7

Verlita menghempaskan tasnya di atas ranjang setelah sebelumnya menggeletakkan kopernya sembarangan di pintu kamar. Sepagi ini ia telah berlarian dengan waktu agar bisa mengejar penerbangan pagi demi bisa menuruti setan kecil yang telah menerornya semalam.

Ya, pagi ini, bahkan saat hari bahkan belum beranjak siang ia sudah tiba di apartemennya. Gadis pembuat onar itu sudah sukses membuatnya kalang kabut. Semalam setelah gadis itu mematikan panggilannya, mau tak mau Verlita segera mencari penerbangan paling pagi yang masih bisa ia dapatkan. Benar-benar merepotkan.

Verlita bahkan tak bisa menelan makanan apapun di atas pesawat. Hanya air mineral yang masuk kerongkongannya sejak pagi. Mulutnya tak berselera untuk menelan makanan meskipun ia lapar. Pagi tadi begitu bangun sebelum Subuh, ia terpaksa memberi tahu Radith jika ia harus segera kembali ke Jakarta. Hal yang tentu saja membuat pria itu tersenyum penuh kemenangan. Semua ucapannya terbukti. Terbukti bahwa dirinya memang benar-benar tak mementingkan suaminya di atas pekerjaan dan urusan pribadinya. Mau tak mau Verlita mengakui hal itu.

Lima belas menit kemudian bel apartemennya berbunyi. Makanan yang ia pesan saat ia dalam perjalanan menuju apartemen sudah menunggu untuk ia nikmati. Setelah menikmati sarapan sekaligus makan siang, ia bergegas meraih tasnya lalu melesat meninggalkan apartemen menuju salah satu pusat perbelanjaan. Satu hal yang akan ia lakukan, membelikan kado untuk gadis pembuat onar itu.

Untung saja hari ini ia tidak disibukkan dengan urusan pekerjaan. Kemarin, sebelum ia berangkat ke Malang, ia sudah memerintahkan anak buahnya untuk menghandle pekerjaannya untuk dua hari ke depan. Namun siapa sangka, ia hanya menghabiskan waktu sehari semalam saja di Malang dan akhirnya kembali lagi ke tempat ini.

Puas berkeliling dan mendapatkan apa yang dicari, Verlita akhirnya memutuskan pulang. Hari sudah semakin sore dan tubuhnya juga belum beristirahat seharian ini. Nanti malam ia harus menghadiri pesta ulang tahun gadis pembuat onar itu. Sweet Seventeen, itulah yang gadis itu agung-agungkan. Hal yang membuatnya harus menuruti keinginan konyol melebihi kepentingannya sendiri untuk menyelesaikan permasalahannya dengan Radith.

Pukul tujuh malam, Verlita menginjakkan kaki di rumah besar bergaya mediterania itu. Halaman samping rumah terlihat riuh. Verlita tak langsung bergabung dengan keriuhan itu. Ia memasuki ruang tamu yang terlihat sepi karena pesta ulang tahun hanya mengambil tempat di halaman samping rumah saja.

Tanpa canggung Verlita melangkah semakin dalam memasuki rumah hingga akhirnya suara berat berwibawa yang sudah begitu ia hafal terdengar di telinganya. Adhyaksa Moersjid terlihat berbicara dengan nada tegas pada putri tunggalnya. Sepertinya pria itu sedang tidak ingin dibantah.

"Selamat malam. Pestanya masih belum berakhir kan?" sapa Verlita dengan nada ceria, sengaja mengagetkan ayah dan anak itu dengan kedatangannya yang begitu tiba-tiba. Sontak saja sosok yang semula beradu argumen itu menghentikan kegiatan mereka lalu menoleh ke sumber suara.

"Tante!" jerit Sherin, gadis berambut sepunggung itu lalu berderap menubrukkan tubuh kepadanya. "Akhirnya Tante datang juga. Aku pikir Tante enggak bakalan datang." Gadis itu entah kenapa memelankan suaranya sambil menunduk malu.

"Papa sudah bilang, kan kalau Tante Verli pasti datang. Kamu yang kurang bersabar." Adhyaksa menghampiri anaknya yang masih memeluk Verlita erat.

"Dia bahkan berencana akan membubarkan pesta satu jam lagi jika kamu tidak datang juga," sindir pria itu pada putrinya yang seketika mendapatkan pelototan tajam dari sang putri.

"Selamat ulang tahun ya, Sher. Semoga kamu selalu berbahagia dan semua keinginan kamu terkabul," ucap Verlita tulus sambil mendaratkan kecupan di kedua pipi gadis yang masih memeluknya itu. Tangan kanannya terangkat menunjukkan paper bag berisi kado yang ia bawakan untuk Sherin. "Semoga kamu suka ya." Verlita menambahi kalimatnya lalu menyerahkan paper bag itu kepada Sherin.

"Makasih banyak, Tante. Boleh aku lihat isinya kan?" tanya Sherin penasaran.

Gelengan seketika Verlita berikan. "Ada waktu untuk membuka kado. Sekarang lebih baik kamu bergabung dengan teman-teman kamu. Pasti mereka kebingungan cariin kamu."

Dengan bibir berdecak, Sherin akhirnya berlalu dari hadapan Verlita meskipun raut bahagia di wajah gadis itu tak bisa ditutupi. Gadis itu berlari kecil menuju halaman samping rumah, bergabung kembali dalam keriuhan pesta ulang tahunnya.

"Aku pikir kamu tidak akan datang." Suara Adhyaksa mengalihkan pandangan Verlita yang mengikuti langkah Sherin. "Aku dari tadi kebingungan membujuknya. Syukurlah aku tak harus membohonginya

"Anakmu itu menerorku semalam. Dia mengancamku. Kalian benar-benar cocok," cibir Verlita.

"Itulah yang disebut buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Senyum jumawa terlihat di wajah pria yang masih terlihat gagah di usianya yang tak lagi muda itu. Garis halus terlihat di sudut mata saat pria itu tersenyum ataupun tertawa.

"Kamu sebaiknya lebih banyak memberikan waktumu untuk dia. Dia sudah beranjak remaja, biar tidak terus menerus menerorku. Aku juga punya kesibukan sendiri, Mas. Aku bahkan merasa malu pada Radith. Kemarin aku berusaha memperbaiki semuanya. Namun hari ini aku justru pergi lagi meninggalkan dirinya." Verlita mengeluh menumpahkan semua isi hatinya. Pria inilah yamg selalu menjadi tempat sampah dari semua masalah yang telah ia buat. Tempat teraman saat semua orang di luar sana menunjuknya dengan tatapan penghakiman. Pria inilah yang selalu jadi sandarannya di saat badai terbesar menghantam rumah tangganya. Bahkan di saat Radith enggan menerimanya, pria ini selalu merentangkan tangan menunggu kedatangannya pulang.

"Aku selalu ada di sisinya. Kamu tahu sendiri, aku lebih rela meninggalkan pekerjaanku demi bisa mengantar atau menjemputnya ke sekolah. Aku juga selalu ikut serta di semua kegiatannya. Tapi, memang hal itu tidak akan cukup jika tidak ada sosok ibu yang mendampinginya." Tatapan pria itu terlihat menerawang.

"Kamu harus benar-benar serius memikirkan pendamping hidupmu, Mas. Biar ada yang mengurusmu, mengurus Sherin. Kalian tidak bisa hidup seperti ini terus. Sudah delapan tahun berlalu sejak kepergian Mbak Ratna. Di atas sana, dia pasti mengharapkan kalian hidup layak dan bahagia." Verlita tidak hanya mengenal pria ini satu atau dua tahun saja. Namun lebih dari itu. Bahkan sejak beberapa bulan setelah pernikahannya dengan Radith terjadi sekitar sembilan tahun lalu.

Pria inilah yang membantunya saat ia baru saja menginjakkan kaki di ibu kota. Kematian sang istri yang begitu mendadak beberapa bulan setelah mengenal pria itu membuat Verlita perlahan menjadi semakin dekat. Efek membalas budi baik pria itu, ia sering kali menemani putri tunggal Adhyaksa. Verlita tak begitu menyukai anak-anak, ia tak bisa mengasuh gadis kecil yang saat itu baru duduk di kelas tiga sekolah dasar itu. Ia hanya melakukan apa yang ia tahu. Berteman. Ia hanya mencoba berteman dengan gadis mungil itu.

"Hidup kami cukup layak. Kamu bisa lihat sendiri," ucap Adhyaksa sambil merentangkan tangan mengedarkan pandangan ke sekeliling rumahnya yang luas.

"Bukan tentang uang yang kamu punya yang sedang kita bicarakan, Mas," balas Verlita kesal. Ia berjalan meninggalkan pria itu lalu menghampiri sofa dan menghempaskan diri di sana. Adhyaksa mengikuti di belakangnya.

"Tapi tentang kebutuhan batin kalian berdua," lanjut Verlita. Ia lalu meraih sebuah muffin yang tersaji di hadapannya.

"Kalau itu, aku menunggu kamu menjadi janda, Ver."

###

Nia Andhika
12122021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top